Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gencarkan Budaya Membaca Lewat Buku Murah

1 Juni 2022   06:23 Diperbarui: 1 Juni 2022   06:26 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku-buku koleksi pribadi (Dokpri)

Ketika di Jakarta berlangsung pameran kendaraan bermotor, pers meliputnya dengan luar biasa. Artikelnya begitu fantastis, mengisi halaman utama selama berhari-hari. Fotonya sangat artistik, bukan hanya foto tunggal tetapi dalam bentuk rangkaian.

Begitu pula ketika diadakan pameran teknologi informasi. Pengunjung, menurut berita-berita tersebut, berduyun-duyun ke sana selama pameran. Jumlahnya mencapai puluhan ribu orang. Transaksi di kedua pameran itu dikabarkan mencapai lebih dari satu triliun rupiah.

Ada berbagai alasan mengapa pameran-pameran mewah seperti itu kerap kali mengundang minat masyarakat. Kemungkinan besar, pertama, karena teknologi kendaraan bermotor dan teknologi informasi terus berkembang setiap saat sehingga menimbulkan keingintahuan banyak orang. Kedua, segala momen yang menonjolkan visualisasi lebih mudah diserap oleh mata sehingga menghasilkan daya tarik.

Ironisnya, ketika diselenggarakan pameran buku, publikasi oleh pers tak banyak dilakukan. Berita yang muncul pun hanya secuil. Meskipun acara tersebut merupakan acara tahunan yang sudah berlangsung berkali-kali, tetap saja masyarakat tak banyak berminat ke sana. Padahal, harga buku jauh lebih murah daripada harga kendaraan bermotor atau perangkat teknologi informasi. Tak dimungkiri kalau buku jarang diminati karena bentuknya relatif statis dari masa ke masa.

Slogan

Lagi pula dibandingkan di mancanegara, ternyata menurut penelitian, harga buku di Indonesia tergolong mahal.  Hal ini disebabkan besarnya pungutan, seperti pajak kertas, masih sangat besar. Minat baca dan daya beli masyarakat yang masih rendah itulah yang dituding sebagai "biang keladi" minimnya penerbitan buku di Indonesia.

Namun bukan berarti masyarakat enggan membeli buku. Kalau kita berjalan-jalan ke mal atau plaza, sejumlah toko buku tak pernah sepi dari kedatangan pengunjung. Membaca buku sekaligus membeli buku, memang sudah merupakan sarapan sehari-hari buat sebagian kecil anggota masyarakat. Jadinya, slogan "buku mencerdaskan kehidupan bangsa" atau "buku adalah jendela dunia" tetap sulit tersentuh oleh kalangan bawah. Di mata mereka, buku masih tetap dianggap barang mewah.

Di antara negara-negara ASEAN saja, penerbitan buku di Indonesia masih sangat kecil. Terlebih bila diperbandingkan antara jumlah penduduk dengan jumlah penerbitan. Ketika sejumlah negara sudah mampu menghasilkan lebih dari 20.000 judul setahun, Indonesia hanya mampu menerbitkan sekitar 6.000 judul. Tentulah ini menunjukkan bahwa buku belum mendapat perhatian serius dari masyarakat. Situasi seperti ini sudah berlangsung sejak lama dan mencapai puncaknya setelah krisis berkepanjangan mulai 1997 lalu. Dipastikan penerbitan buku cetak semakin menurun di era digital.

Padahal, di era reformasi ini membeli buku relatif mudah. Kalau kita membuka situs-situs internet, banyak sekali bermunculan toko-toko buku online. Mereka menawarkan banyak produk dengan harga diskon. Layanan buku cash on delivery atau bayar di rumah, sudah populer di Indonesia sejak beberapa tahun lalu.

Untuk mengetahui toko-toko buku itu pun relatif mudah. Kita cukup membuka mesin pencari (search engine) di internet. Lalu ketik "toko buku online". Dari sederetan nama yang muncul, kita bisa mengkliknya satu per satu untuk memilih-milih buku. Kalau belum ketemu juga, kita bisa membuka situs lainnya. Cara termudah mencari buku tentu saja menulis judul atau topik buku di mesin pencari. Biasanya kita diarahkan ke 'market place'.

Kendala

Salah satu kendala yang sering dihadapi para pencinta buku adalah kehadiran buku-buku baru sulit diketahui secara cepat. Ini karena tidak adanya promosi dari para penerbit. Kecuali beberapa penerbit besar yang selalu beriklan di media cetak, yang tentu saja merupakan nilai tambah bagi produsen dan konsumen.

Meskipun begitu, adanya rubrik-rubrik resensi dan berita buku pada sejumlah media cetak secara periodik, sebenarnya sudah merupakan publikasi bagus. Beberapa tahun lalu masih ada rubrik "Pustakaloka" pada Kompas dan "Ruang Baca" pada Koran Tempo,  yang mengulas dunia perbukuan, penerbitan, dan kepengarangan secara panjang lebar, seharusnya bisa membuka mata kita tentang dunia yang masih sepi itu. Syukur-syukur, bisa mengajak masyarakat untuk membaca dan menyintai buku. Sayang kini rubrik tersebut tidak ada lagi.

Umumnya, buku dihubungkan dengan dunia intelektual. Artinya, buku dianggap merupakan bahan bacaan para sarjana atau peneliti. Namun kalau kita mencermati jenis-jenis buku, sebenarnya buku adalah milik segala lapisan masyarakat. Ditinjau dari kategori umur, ada buku anak-anak, remaja, dan dewasa. Ditinjau dari isinya, ada buku fiksi dan nonfiksi. Itu pun terbagi-bagi lagi menjadi buku referensi, buku umum, dan sebagainya.

Belum banyaknya peminat buku, menyebabkan masih langkanya penulis-penulis buku. Jangankan yang berskala internasional, yang lokal pun masih mudah dihitung jari tangan. Entah mengapa ada keengganan untuk menulis buku. Mungkin karena royalti yang diterima sangat kecil, terutama bila dibandingkan dengan menulis artikel atau fiksi di media cetak. Media-media nasional sering kali memberikan honorarium yang cukup tinggi. Sedangkan royalti buku biasanya diterima setiap enam bulan. Itu pun belum tentu beres karena sejumlah penerbit hanya "memberikan janji, bukan bukti".

Masa gelap dunia penerbitan dan kepengarangan, mungkin juga disebabkan booming buku-buku terjemahan. Ironisnya, banyak penulis lokal yang menawarkan buku sering ditolak penerbit karena dianggap "belum punya nama".  Padahal, bukan tidak mungkin karyanya menampilkan hal-hal baru yang belum pernah dijumpai sebelumnya.

Di sisi lain, yang tentu saja membanggakan, kini banyak bermunculan penerbit "nekad" yang menghasilkan karya dari gang-gang sempit di Yogyakarta. Banyak hasil karya mereka menjadi best seller di pasaran. Tak jarang pula dengan keberanian, mereka menerbitkan ulang karya-karya lama. Termasuk buku-buku yang dibreidel semasa Orde Baru berkuasa.

Berbicara dunia perbukuan, tentulah harus menyinggung banyak hal. Namun yang terpenting adalah turun tangannya pemerintah agar harga buku bisa menjadi lebih murah. Adanya buku murah memungkinkan masyarakat menjadi gemar membaca.

Tidak dimungkiri kalau Jepang bisa maju karena buku. Sehabis luluh lantak karena kalah perang pada 1945, Jepang banyak menerbitkan buku-buku terjemahan. Pemerintah dan guru, besar sekali peranannya untuk meningkatkan minat baca. Sampai sekarang, anak-anak muda Jepang hampir selalu memanfaatkan waktu luangnya dengan membaca. Ketika sedang menunggu kereta bawah tanah, mereka membaca. Di dalam kereta, mereka membaca. Buku seakan menjadi bekal pokok mereka sehari-hari yang tidak boleh terlewatkan.

Suasana cinta buku seperti itu tentu saja perlu diciptakan di Indonesia. Suatu bangsa akan maju berkat buku. Tidak salah kalau filosofi pemerintah Jepang, segera mungkin diterapkan di Indonesia. Kita perlu mengusahakan agar membaca dan menonton terintegrasi dengan baik. Kedua kegiatan harus saling mengisi dan memperkaya sekaligus bersaing secara sehat. Kita pun perlu menggalakkan budaya membaca sejak dini kepada anak-anak.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun