Hari ini usia akun Kompasiana saya tepat empat tahun. Saya membuat akun ini pada 14 Agustus 2016. Sebenarnya saya membuat akun Kompasiana karena 'kecelakaan'. Sebelum di Kompasiana, saya menulis di beberapa media cetak. Maklumlah, menjadi sumber penyambung hidup berkat honorarium.
Sekitar 2015 banyak media cetak mulai 'goyang' akibat serbuan media digital. Bayangkan, media cetak harus melewati beberapa proses sebelum sampai kepada pembaca. Ditulis, disunting, dibuat tata letak, dicetak, dan didistribusikan, begitulah singkatnya. Untuk sampai kepada pembaca, butuh waktu satu hari.
Sebaliknya media daring sangat cepat sampai kepada pembaca. Ditulis, disunting, dan ditayangkan. Bahkan cuma ditulis dan ditayangkan, sebagaimana pada blog. Jadi tidak perlu sunting-suntingan seperti pada media daring milik perusahaan media.
Pencapaian saya dalam menulis di Kompasiana lumayanlah. Selama empat tahun saya menghasilkan 679 tulisan dengan 1.094.878 pengakses atau rata-rata 1 tulisan dibaca 1.600-an orang. Bahkan tepat 680 tulisan, karena tulisan ini belum dihitung.
Dari sekian banyak tulisan, 251 dimasukkan sebagai 'artikel utama' dan 639 sebagai 'pilihan'. Nilai saya baru 13.000-an dan masuk kategori 'penjelajah'.
Dibandingkan Kompasianer lain, nilai saya termasuk kecil. Iya saya akui karena saya jarang 'blog walking' ke akun-akun lain. Saya lihat banyak Kompasianer nilainya tinggi karena rajin memberi komentar pada akun-akun lain. Akibatnya mereka balik memberi komentar.
Banyak Kompasianer juga memiliki followers dan following banyak. Mohon maaf saya kurang rajin 'blog walking', biarpun sekadar menyapa. Paling-paling saya memberikan nilai 'menarik', 'inspiratif', atau 'bermanfaat' untuk tulisan dengan topik tertentu. Atau memberi komentar untuk tulisan-tulisan yang saya anggap menarik dan unik.
Karena berawal dari penulis media cetak, maka tulisan-tulisan saya bersifat pengetahuan, keilmuan, reportase, dan opini. Hanya sedikit berdasarkan pengalaman pribadi, salah satunya tulisan ini.
Topik-topik yang saya tulis berkenaan dengan sepurmudaya (sejarah, purbakala, museum, budaya). Maklum saya berpendidikan arkeologi. Ada yang untuk menangkal hoaks, seperti Gaj Ahmada dari Arab, padahal dalam prasasti jelas tertulis Gajah Mada. Lalu tentang koin dari situs Gunung Padang yang berusia ribuan tahun, padahal berasal dari abad ke-19.