Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Arkeolog Meneliti Tinja Kuno

3 Agustus 2020   06:31 Diperbarui: 3 Agustus 2020   07:30 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fosil tinja di Museum Jorvik Viking Centre (Foto: The Guardian)

Arkeologi biasanya dihubungkan dengan benda-benda budaya seperti keramik, arca, candi, koin, dan senjata yang berasal dari masa lampau. Namun lama-kelamaan dunia arkeologi semakin berkembang. Manusia yang hidup pada masa kini, secara sadar ingin mengetahui apa yang terjadi di masa lampau. Maka obyek-obyek penelitian pun beragam.

Di Indonesia memang arkeologi belum semaju di negara-negara Barat. Di sana penelitian arkeologi sudah mengarah kepada hal-hal yang "tidak biasa".  Bayangkan, mereka pernah melakukan penelitian terhadap limbah yang dihasilkan oleh manusia.

Jelas ada kesan menjijikkan. Betapa pun ilmu arkeologi harus meningkat. Dengan itu informasi tentang tingkah laku manusia masa lampau akan terungkap sedikit demi sedikit.

Dan Roberts, kurator Museum Tinja di Inggris memegang bola kaca berisi tinja kuda (Foto: solo.tribunnews.com)
Dan Roberts, kurator Museum Tinja di Inggris memegang bola kaca berisi tinja kuda (Foto: solo.tribunnews.com)
Kotoran manusia

Sejak lama, hal yang paling sulit dilakukan para arkeolog adalah meneliti permukiman kuno. Berbicara permukiman tentu saja berbicara manusia. Berapa luas permukiman di Kerajaan Majapahit, misalnya, masih menjadi tanda tanya besar. Berbagai tafsiran dikemukakan para pakar di bidang masing-masing. Lantas kenapa Kerajaan Majapahit ditinggalkan masyarakatnya? Apakah karena Majapahit diserang kerajaan lain? Ataukah karena seluruh Majapahit terkena wabah penyakit sehingga banyak warga meninggal dunia? Kalau meninggal di manakah makam mereka? Begitulah kira-kira gambaran rentetan pertanyaan tentang kehidupan masa lampau yang ingin diketahui para arkeolog.

Banyak hal bisa diteliti berdasarkan informasi dari tinggalan masa lampau. Ilmu pengetahuan terus berkembang. Maka alat-alat pendukung penelitian pun tercipta. Bahkan karena arkeologi termasuk ilmu yang "serakah", berbagai disiplin ikut terlibat. Kalau berhubungan dengan penyakit, misalnya, arkeolog berhubungan dengan pakar paleopatologi.

Penelitian penyakit pada manusia purba di Indonesia, jarang sekali dilakukan. Mungkin karena pakar yang menguasai masalah demikian masih relatif sedikit. Dulu, salah seorang pakarnya adalah Prof. Teuku Jacob, yang dikenal sebagai pakar antropologi ragawi.

Di negara maju seperti AS, para pakar bukan hanya meneliti benda budaya kuno atau purba tapi mulai mengarah ke tinja atau kotoran manusia. Ketika mengamati sebuah situs, ditafsirkan pada abad ke-13 permukiman Cahokia di seberang Sungai Mississippi memiliki populasi penduduk cukup besar. Namun dalam 100 tahun terakhir, tempat itu ditinggalkan masyarakatnya. Apakah penyebabnya?

Itulah yang mulai diteliti para arkeolog, sebagaimana dilaporkan liputan6.com. Dicarilah kotoran-kotoran manusia yang tersisa. Dari temuan tersebut dan analisis terhadap molekul feses kuno, para ilmuwan dapat memahami perubahan iklim pada waktu itu.

Penelitian kolaborasi antara ahli iklim dan ahli arkeologi itu menganalisis endapan dari dasar danau tempat peradaban Cahokia berada. Dengan membandingkan jumlah molekul tinja pada setiap lapisan sedimen, terungkap bahwa peradaban kuno itu berubah karena iklim. Iklim tersebut menyebabkan periode kekeringan dan periode banjir. Karena banjir, masyarakat berpindah ke tempat yang lebih tinggi. Jadi ada korelasi antara manusia dengan perubahan lingkungan.

Studi tentang Cahokia juga berdasarkan sisa-sisa arkeologis seperti lubang pasak dan kayu yang terbakar. Namun kuncinya tetap jumlah molekul tinja yang telah menjadi fosil. Semakin banyak tinja dalam sedimen, berarti lebih banyak orang yang tinggal di sana pada saat itu, demikian salah satu kesimpulan itu.

Akurat.co pernah mewartakan, Dr. Andrew 'Bone' Jones menemukan koprolit terbesar yang pernah dikeluarkan oleh manusia sepanjang sejarah dunia. Berkat ia dan tim York Archaeological Trust, warga dunia pada Mei 2016 lalu bisa menyaksikan seonggok tinja purba berukuran 7 inci (17,8 sentimeter).

Didukung oleh peneliti lain, Dr. Andrew mengklaim koprolit temuannya adalah hasil ekresi seseorang dari suku bangsa Viking. Koprolit Viking terbesar tersebut kemudian dijuluki "Lloyds Bank Turd" (Kotorannya Bank Lloyds). Penampakan fosil tinja itu ada di  Museum Jorvik Viking Centre di York, Inggris. Meskipun terkesan menjijikkan, tetapi koprolit tersebut ternyata menyimpan banyak fakta menarik.

Ada lagi George Frandsen, lulusan jurusan ilmu Paleontologi. Karena sangat tergila-gila dengan fosil feses, ia melakukan penggalian koprolit di 15 negara bagian AS. Ia menyumbangkan koleksi 1.277 koprolit untuk dipamerkan di Museum South Florida di Bradenton, Florida. Namanya tercatat dalam rekor Guinness World of Records menjelang akhir 2016 lalu.

Dari ribuan koleksinya, favorit Frandsen adalah "Precious" (Yang Berharga), koprolit dengan berat mencapai 1,92 kg. Precious milik Frandsen diperkirakan berasal dari era Miosen (periode geologi yang berlangsung antara 23,03 hingga 5,332 juta tahun yang lalu). Baca lebih lengkap [DI SINI].

Koprolit Frandsen diketahui berasal dari badan seekor buaya yang diperkirakan mempunyai ukuran panjang sekitar 6 m. Itulah sebabnya Precious tersebut dinobatkan menjadi koprolit terbesar oleh Guinness World of Records.

Fosil tinja manusia dan tinja hewan (Foto: vice.com)
Fosil tinja manusia dan tinja hewan (Foto: vice.com)
Arkeologi toilet

Menurut pemerhati budaya Nunus Supardi, penelitian terhadap tinja juga pernah dilakukan di Jepang. "Saya menyebutnya Arkeologi WC/Toilet," kata Nunus. Ternyata tinja dari abad ke-8 itu mengandung beberapa virus.

Ahli bio-genetika menyebutnya penelitian arkeologi DNA. Mereka meneliti penyebaran manusia dari DNA. Dari sini para peneliti bisa tahu abad keberapa kira-kira ada sebaran virus mematikan. 

Tinggalan manusia dan budaya pernah ditemukan di Gua Pawon, Jawa Barat. Secara kronologi, temuan purba tersebut dikategorikan pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut (mesolitik). "Kalau dilihat dari temuan ekskavasinya berupa fragmen tulang binatang dan moluska, pasti yang terbaca hanya kegiatan konsumsinya yang berasal dari hewan buruan. Akan tetapi dari analisis kalkulus (plak) di gigi manusia Pawon tersebut, ditemukan juga pati (karbohidrat) dan fiber (serat tumbuhan). Data lain yang cukup menarik lagi adalah gigi manusia Pawon itu tidak ada karies (penyakit gigi), didominasi atrisi (keausan bidang permukaan gigi) karena belum dikenalnya pengolahan makanan yang dikonsumsi saat itu," demikian arkeolog Dr. Lutfi Yondri.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun