Museum Bank Indonesia terus mengembangkan diri, terlebih dikaitkan dengan generasi milenial. Sedikit demi sedikit tata pamer museum diperbaiki. Kini  sentuhan digital mencapai Klaster Kelembagaan dan Kebijakan periode 2004-2011 dan 2012-2016. Juga Klaster Arsitektur Gedung.Â
Peresmian tata pamer kedua klaster dilakukan pada Jumat sore, 2 November 2018. Selain pejabat Bank Indonesia, turut hadir pada peresmian itu perwakilan Asosiasi Museum Indonesia DKI Jakarta "Paramita Jaya", perwakilan museum, komunitas, dan mahasiswa/pelajar.
Peresmian tata pamer diawali sambutan Bapak Agusman dari Departemen Komunikasi BI. Departemen Komunikasi dalam struktur merupakan bagian yang menangani Museum BI. Setelah itu sambutan Deputi Senior BI Bapak Mirza Adityaswara.
Menurut Pak Mirza, BI berurusan dengan kebijakan dan devisa. Â Jadi museum diharapkan bisa menjadi media komunikasi yang menginformasikan setiap kebijakan yang telah dikeluarkan oleh BI. Dalam soal devisa, Pak Mirza mengatakan, umumnya dikaitkan dengan pariwisata.Â
Salah satu obyek pariwisata itu adalah museum. Nah, dengan tata pamer terbaru dan kekinian, didukung konsep serba digital dan pemandu yang andal, Museum BI akan menjadi museum tersiap, terbaik, dan menjadi kebanggaan milenial. "Museum Bank Indonesia Kebanggaan Milenial", begitulah tulisan besar pada beberapa tayangan di ruang peresmian.
Peresmian tata pamer ditandai dengan pemukulan gendang oleh Gubernur Bank Indonesia periode 2013-2018 Bapak Agus Martowardojo, Pak Mirza, dan Pak Agusman sebagai perwakilan BI. Selain itu Ibu Amurwani, Kepala Museum Kepresidenan RI Balai Kirti dan perwakilan dari Arsip Nasional RI.
Sehabis acara pembukaan, para undangan diajak para pemandu museum mengikuti jelajah museum. Karena jumlah undangan lumayan banyak, jadi dibagi dalam beberapa rombongan. Rombongan saya menuju Klaster Arsitektur Gedung terlebih dulu.
Pertama, kami diperlihatkan buku bergambar gedung. Lembarannya bisa bergerak apabila tangan kita berada di atas alat sensor. Di ruangan itu ada juga miniatur gedung BI. Contoh tiang berukir ada juga di ruangan itu. Selanjutnya kami dibawa ke ruangan untuk menonton pertunjukan masa Batavia, tentu saja dikaitkan dengan perekonomian masa itu. Mula-mula hanya ada gambar di bagian tengah, lalu di dinding bagian kiri dan kanan. Ya, ini pertunjukan video-mapping. Ruangan itu muat sekitar 30 orang.
Selanjutnya kami menuju Klaster Kelembagaan dan Kebijakan. Sentuhan teknologi juga tampak di ruangan ini. Â Berbagai informasi ada yang ditulis dalam papan informasi. Ada juga peragaan menggunakan teknologi digital.Â
Ruangan itu boleh dibilang "Instagramable", media sosial kekinian yang disukai generasi milenial. Saat itu narsis di ruangan, saat itu pula muncul di Instagram. Yah, hitung-hitung promosi cepat dan murah.
Museum dengan teknologi modern jelas mahal. Apalagi jika menggunakan teknologi tiga dimensi, video mapping, layar sentuh, fotografi, internet, dan sensor pendeteksi gerakan tubuh. Pasti butuh anggaran dalam bilangan M (ilyar).
Ironis, nasib miris masih dijumpai pada museum-museum milik pemerintah kabupaten atau pemerintah kota. Anggaran yang mereka terima untuk museum terbilang sangat kecil. Bayangkan ada museum yang cuma mendapat Rp 20 juta setahun. Cukup apa? Bagaimana mau mengejar ketinggalan dari museum-museum lain?
Yang jelas, jantungnya sebuah museum tetap koleksi beserta narasinya. Teknologi hanyalah pendukung, yang suatu saat bisa ketinggalan zaman dan rusak tanpa bisa diperbaiki. Untuk itu museum-museum 'tradisional' dengan biaya kecil tetap harus kreatif dan inovatif.
Ayo berkunjung ke Museum BI. Lokasinya mudah dicapai kok. Kalau naik kereta turun di stasiun Jakarta Kota. Kalau naik TransJakarta turun di halte Kota. Lalu jalan kaki deh, tinggal nyeberang jalan. Museum BI buka setiap hari sekitar pukul 08.00---15.00, kecuali Senin tutup yah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H