DUNIA mungkin tak akan pernah siap untuk menyaksikan Paul McCartney – salah seorang dedengkot the Beatles – berdebat di World Economic Forum soal tarif baja Tiongkok. Tapi, andai the Beatles masih eksis hingga hari ini, barangkali justru itulah yang bakal terjadi. Dan dunia akan menonton dengan penuh suka-cita.
Di tengah suhu geopolitik yang makin memanas antara dua raksasa ekonomi dunia, AS dan Tiongkok, bayangkan juga John Lennon – andai masih hidup – menulis lagu berjudul Imagine 2.0, yang sebagian liriknya berbunyi: Imagine there's no tariff / It isn’t hard to do / No steel wars to kill or die for / And no Huawei too. Sungguh dahsyat.
Bukan cuma sebuah band
Kita sama-sama tau, Beatles bukan cuma sebuah band, mereka adalah institusi budaya global, dan kalau mereka mampu bertahan hingga era digital, mungkin mereka akan menjadi soft power paling dahsyat di jagad ini melampaui CNN atau TikTok.
Seperti ditegaskan Joseph Nye, pakar politik dan hubungan internasional, soft power adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan melalui daya tarik, bukan lewat pemaksaan.
Dalam konteks perang dagang, soft power menjadi alat negosiasi alternatif. Bayangkan saja, saat AS hendak menaikkan tarif impor semikonduktor dari Tiongkok, Xi Jinping tinggal memainkan Hey Jude versi Hànyǔ (汉语) dan penguasa Gedung Putih pun luluh hatinya.
Mungkin terlalu berlebihan, tapi jangan sekali kali meremehkan kekuatan budaya. Kajian yang pernah dilakukan oleh Harvard Business School (2022) menunjukkan bahwa persepsi publik terhadap negara lain dapat berubah secara signifikan hanya dengan paparan film, musik, dan budaya pop dari negara tersebut.
Maka tak mengherankan jika Tiongkok sejak 2010-an getol memproduksi boyband, dari TFBOYS hingga WayV, sebagai tandingan kultural terhadap arus global pop Barat.
Tapi, kembali ke Beatles, keempat personel band ini bukan hanya terkait dengan budaya pop. Mereka adalah metafora dari revolusi. Kalau dulu revolusi mereka tentang cinta dan perdamaian, kini, kalau band ini masih eksis, bisa jadi mereka akan bicara soal hak pekerja global, kemiskinan digital, atau diskriminasi logaritma TikTok.
Paul mungkin akan menulis lagu baru berjudul Global Supply Chain Blues, tentang bagaimana pabrik gitar di Guangzhou tutup karena tarif Trump. Ringo, sebagai dramer paling underrated, bisa membuat solo album bertajuk Beat the Tariff.
Jangan lupakan pula George Harrison. Ia tertarik pada spiritualitas Timur. Kalau dia masih ada, mungkin dia akan menggagas konser amal bertajuk Concert for Shenzhen, menggabungkan sitar dan synthesizer dalam harmoni lintas kutub dagang antara Timur dan Barat.
Lalu, bagaimana dengan Lennon? Dia mungkin akan memilih jadi aktivis Twitter. Setiap pagi, ia akan sibuk mencuit, “Give tariff a chance” atau “All you need is fair trade.”
Tentu saja, keberadaan Beatles di era kiwari tidak akan lepas dari polarisasi politik media. CNN akan menyebut mereka duta perdamaian, sementara Fox News menuduh mereka agen sosialis Inggris.
Dan di Tiongkok? Semua karya mereka akan diblokir – lalu dibajak, dan digemari secara diam-diam, seperti halnya banyak produk budaya Barat lainnya.
Tak bisa disensor
Dalam perang dagang, taktik bisa berupa sanksi, tarif, hingga pembatasan teknologi. Akan tetapi, kekuatan musik tak bisa disensor dengan semudah itu. Lagu Yesterday, yang termuat di album Help milik Beatles tetap menyentuh, meski didengarkan dari VPN.
Menariknya, ada penelitian dari University of Southern California (2021) yang menyatakan bahwa musik dapat menurunkan bias politik dalam diskusi global. Musik membangun empati. Dan Beatles, jelas, spesialis dalam urusan empati massal.
Di tengah segala kekacauan sekarang ini, Beatles bisa menjadi pengingat bahwa globalisasi tak harus berarti dominasi satu pihak atas yang lain. Globalisasi bisa berbentuk kolaborasi, seperti Lennon dan McCartney menulis lagu bareng-bareng, meski sering tak sepakat soal akord B minor.
Sekarang bayangkan Beatles bikin konser dunia bertajuk One Belt, One Bassline. Tiketnya dijual lewat platform gabungan Amazon dan Alibaba. Konsernya disiarkan serentak di YouTube dan Bilibili. Dan damai pun turun dari langit digital.
Anak-anak muda Tiongkok menyanyikan Let It Be di subway Shanghai, sementara mahasiswa Harvard menggubah ulang Blackbird dengan lirik bernuansa kritik terhadap kapitalisme multinasional. Ironis? Justru itu adalah harmoni.
Dalam ekonomi, kita mengenal istilah keuntungan komparatif – negara berbeda memproduksi barang yang paling efisien untuk dipertukarkan. Nah, mungkin Beatles punya keuntungan komparatif dalam menyatukan umat manusia.
Apakah Beatles akan berhasil mengakhiri perang dagang? Tentu tidak. Tapi mereka mungkin bisa membuat para menteri perdagangan berdansa pelan saat Something atau Dig A Pony mengalun dalam konferensi WTO.
Mengingatkan pada nilai universal
Dunia saat ini terpolarisasi, terfragmentasi, penuh algoritma yang mempersempit empati. Beatles, dengan kejeniusan mereka, mungkin bisa sedikit menjebol tembok digital itu.
Di era di mana data adalah emas dan saham bisa hancur karena tweet, kehadiran musisi yang mampu mengingatkan kita pada nilai-nilai universal bisa jadi lebih penting daripada indeks Nikkei atau harga saham Tesla.
Kalau Beatles masih ada hari ini, mungkin mereka tak lagi merekam di studio Abbey Road, tapi di studio hibrida London-Beijing, menggunakan AI untuk menciptakan vokal Lennon dari data suara masa lalu. Ironis tapi tak mustahil.
Teknologi, politik, dan perdagangan bakal terus berubah. Tapi, seperti kata Paul McCartney: “ And in the end, the love you take is equal to the love you make.” Ini sebuah filosofi yang mungkin terdengar naif tapi sangat dibutuhkan.
Maka, di tengah perang dagang sengit, deglobalisasi, dan pemisahan rantai pasok, mari kita bayangkan sejenak ihwal bagaimana jadinya jika keempat personel Beatles masih bersama. Mungkin para pemimpin dunia akan lebih sibuk menyanyikan Come Together daripada saling serang tarif.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI