Mohon tunggu...
djoko st
djoko st Mohon Tunggu... bloger

bloger yang gemar bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

'Give A Tariff A Chance' dan 'All You Need Is A Fair Trade'

13 April 2025   23:35 Diperbarui: 13 April 2025   22:49 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DUNIA mungkin tak akan pernah siap untuk menyaksikan Paul McCartney – salah seorang dedengkot the Beatles – berdebat di World Economic Forum soal tarif baja Tiongkok. Tapi, andai the Beatles masih eksis hingga hari ini, barangkali justru itulah yang bakal terjadi. Dan dunia akan menonton dengan penuh suka-cita.

Di tengah suhu geopolitik yang makin memanas antara dua raksasa ekonomi dunia, AS dan Tiongkok, bayangkan juga John Lennon – andai masih hidup – menulis lagu berjudul Imagine 2.0, yang sebagian liriknya berbunyi: Imagine there's no tariff / It isn’t hard to do / No steel wars to kill or die for / And no Huawei too. Sungguh dahsyat.

Bukan cuma sebuah band

Kita sama-sama tau, Beatles bukan cuma sebuah band, mereka adalah institusi budaya global, dan kalau mereka mampu bertahan hingga era digital, mungkin mereka akan menjadi soft power paling dahsyat di jagad ini melampaui CNN atau TikTok.

Seperti ditegaskan Joseph Nye, pakar politik dan hubungan internasional, soft power adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan melalui daya tarik, bukan lewat pemaksaan. 

Dalam konteks perang dagang, soft power menjadi alat negosiasi alternatif. Bayangkan saja, saat AS hendak menaikkan tarif impor semikonduktor dari Tiongkok, Xi Jinping tinggal memainkan Hey Jude versi  Hànyǔ (汉语)  dan penguasa Gedung Putih pun luluh hatinya.

Mungkin terlalu berlebihan, tapi jangan sekali kali meremehkan kekuatan budaya. Kajian yang pernah dilakukan oleh Harvard Business School (2022) menunjukkan bahwa persepsi publik terhadap negara lain dapat berubah secara signifikan hanya dengan paparan film, musik, dan budaya pop dari negara tersebut.

Maka tak mengherankan jika Tiongkok sejak 2010-an getol memproduksi boyband, dari TFBOYS hingga WayV, sebagai tandingan kultural terhadap arus global pop Barat.

Tapi, kembali ke Beatles, keempat personel band ini bukan hanya terkait dengan budaya pop. Mereka adalah metafora dari revolusi. Kalau dulu revolusi mereka tentang cinta dan perdamaian, kini, kalau band ini masih eksis, bisa jadi mereka akan bicara soal hak pekerja global, kemiskinan digital, atau diskriminasi logaritma TikTok.

Paul mungkin akan menulis lagu baru berjudul Global Supply Chain Blues, tentang bagaimana pabrik gitar di Guangzhou tutup karena tarif Trump. Ringo, sebagai dramer paling underrated, bisa membuat solo album bertajuk Beat the Tariff.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun