Buku karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dua professor dari Harvard University -- AS, diterbitkan pertama kali oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta tahun 2019. Tidak banyak yang mengetahui keberadaan buku ini, sampai Gubernur Anies Baswedan membahasnya belum lama ini yang disiarkan oleh sebuah TV Swasta.
Buku ini mengupas penyimpangan praktek demokrasi di berbagai negara sejak awal abad ke 20 sampai abad ke 21. Ternyata, penyimpangan itu tidak saja terjadi dengan cara kudeta, melainkan juga melalui pemilu biasa. Setelah menang pemilu, seorang penguasa mempertahankan kekuasaannya bahkan berusaha menambah masa jabatannya dengan mengubah undang-undang. Hal ini terjadi pada penguasa yang berjiwa otoriter. Karena itu diingatkan agar berhati-hati memilih calon pemimpin. Sekali terpilih yang berjiwa otoriter, maka dengan segala cara ia akan mengubah aturan main, sehingga terus berkuasa.
Ada empat Indikator Kunci Perilaku Otoriter .
Pertama, penolakan {atau komitmen lemah} atas aturan main demokratis.Misalnya, menolak menerima hasil pemilu yang kredibel
Kedua, menyangkal legitimasi lawan politik. Misalnya menyebut lawan sebagai antek asing.
Ketiga, toleransi atau anjuran kekerasan. Misalnya menyetujui kekerasan terhadap lawan yang dilakukan oleh pendukungnya.
Keempat, kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media. Contohnya, dizaman orba para penandatangan petisi 50 dicekal ke luar negeri dan dihambat untuk berperan dalam kegiatan-kegiatan penting.
Sangat mengejutkan, ternyata, Presiden AS, Donald Trump termasuk yang memiliki keempat ciri tersebut. Dan terbukti pula, pendukung-pendukung Presiden Trump membuat heboh di Gedung Kongres AS, menjelang pelantikan presiden terpilih.
Sejumlah negara yang disoroti buku ini adalah: Mesir, Turki, Pakistan, Thailand, Philipina, Argentina, Peru dan Venezuela. Sayang sekali Indonesian tidak disoroti, jadi tidak tahu apa demokrasi kita selama ini oke-oke saja atau pernah bermasalah khususnya dizaman orla dan orba.