Mohon tunggu...
Kompasiana Cibinong
Kompasiana Cibinong Mohon Tunggu... Guru - Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Pembangunan Berlandaskan Kebudayaan

12 Juli 2019   09:01 Diperbarui: 12 Juli 2019   09:10 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pembangunan sebuah kota atau negara cenderung disalahartikan. Kota atau negara dikatakan tumbuh dan berkembang jika wilayah itu berdiri gedung menjulang, ramai dengan pusat perbelanjaan yang sangat besar, serta di setiap penjuru kota tersebar pabrik atau perusahaan multinasional. 

Hal itu diburu dan dikejar demi menyejajarkan dengan kota atau negara yang kadung dianggap maju, adikuasa, serta teladan pembangunan kota dan negara lainnya.

Tentu itu keliru sangka. Ada dinamika pikiran yang salah pijakan dalam menentukan arah jalan ke masa depan. Salah kaprah lumrah terjadi sebab peta jalan dalam memilih strategi pembangunan cenderung mengekor aliasikut-ikutan. 

Itulah buah dari konsep pembangunan yang tidak mempertimbangkan basis pemikiran yang berkarakter kuat, tidak memiliki ciri mandiri yang mumpuni, serta tidak melakukan studi yang ketat terhadap potensi yang dipunyai.

Indonesia hari ini mengalami kelimbungan. Konsep pembangunan negara cenderung salah jalan dan tidak tepat sasaran. Bahkan, dalam beberapa tataran, kita benar-benar tidak memiliki kemandirian. Bukan gosip atau sudah menjadi rahasia umum bahwa, arah kebijakan kita kerap dikendalikan atau disetir oleh pihak-pihak asing. 

Tragedi Freeport yang menyangkut negeri adidaya Amerika dan menyengsarakan masyarakat Papua, kasus Mesuji yang menyangkut perusahaan dari negeri tetangga tapi merugikan warga Sumatera, atau impor bawang merah ke India yang mematikan petani Cirebon, Brebes, dan sejumlah daerah di Jateng dan Jatim, makin menegaskan proyek pembangunan dalam negeri terlalu berkiblat ke luar negeri. Sedangkan kesejahteraan dan potensi dalam negeri cenderung terabaikan, bahkan termaginalkan.

Bangsa kita memang latah dan ingin serba cepat alias pragmatis. Menyaksikan kemajuan teknologi dan industri negara-negara berkembang yang cepat maju kita seperti kelimpungan. 

Melihat Cina, India, dan Jepang yang kini jadi macan Asia dan diperhitungkan negara-negara Eropa Barat dan Amerika kita dengan kemampuan alakadarnya ingin segera sejajar dari mereka. 

Pembangunan digenjot. Industri atau pabrik-pabrik didirikan di sejumlah kota di pulau Jawa. Tak peduli hibah atau hutang makin menggunung dan mesti dibayar anak-cucu kita hingga lebih dari tujuh turunan. Mantranya: pembangunan dipercepat agar sejajar dengan negara maju bisa tercapai serta citra diri sebagai pemimpin yang berhasil mudah tergapai.

Agraris

Terang saja rakyat gelagapan. Rakyat kita belum siap menerima perubahan yang sangat cepat dan dipaksakan. Industrilaisasi malah mengorbankan salah satu sumber kekayaan terbesar kita, yakni masyarakat agraris yang memberdayakan kesuburan alam. Petani kehilangan lahan garapan, sumber air mengalami kekeringan, harga pupuk terus melangit, serta saban tahun sering terjadi puso atau gagal panen.

Bila kebetulan panen pun petani tidak mukti, petani tetap tinggal daki. Muhun, jerih payah dan tetes keringat petani di sawah, ladang, dan lautan tidak berujung dengan kesejahteraan dan kemuliaan. Petani tetap menjadi Marhaen yang tertindas oleh sistem yang tidak berpihak pada rakyat semesta. 

Saban panen, petani mesti memberikan hasilnya pada para tengkulak. Karena tengkulaklah yang datang jadi 'malaikat penolong' kala petani mengalamiusum werit bin paceklik. Di masa-masa sulit dan sangat dibutuhkan negara malah absen. Negara sering hadir dan berkunjung pada para petani ketika ritual lima tahunan dalam pesta demokrasi.

Urbanisasi

Karena lahan pekerjaan di desa sulit didapatkan dan harapan hidup untuk sejahtera sangat kecil peluang, maka perpindahan penduduk dari desa ke kota jadi pilihan. Tentus saja kota-kota besar dan pulau Jawa jadi buruan. Alhasil, laju urbanisasi tak terkendali. Yang namanya mengadu peruntungan tentu sangat bergantung dengan kekuatan dan kekayaan modal. Modal sosial dan modal material berjalin-kelindan berjalan beriringan. 

Bagi warga yang mengandalkan nekat doang, gerbang kegagalan dan kemelaratan terbuka lebar. Inilah salah satu sebab kompleksitas masalah penduduk menumpuk di perkotaan. Sebab ledakan pendudukan bergerak cepat dan tak terelakkan. Efek negatif yang langsung dirasakan adalah sejuta masalah, melonjaknya jumlah dan modus kriminalitas, serta penyakit sosial kian melesat dan membengkak.

Celakanya, dalam mengurai masalah itu kita pun cenderung tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana bisa mengurai masalah, data kependudukan pun berantakan. Strategi yang dijalankannya pun kerap serampangan dan tidak berkelanjutan. Misal, beberapa Pemkot kerap mengadakan razia KTP pada saat arus balik lebaran. Tapi itu hanya efektif berjalan sehari dua hari doang, selanjutnya, dengan alasan tidak ada dana, program itu jumud di tengah jalan.

Demokrasi

Fenomena itu makin parah karena kita mengalami krisis kepemimpinan. Kehilangan anutan yang terjadi dari level terendah hingga pejabat eksekutif. Kita miskin teladan pemimpin yang berkarisma, dapat diandalkan, dan jadi kebanggan. Memang, munculnya Joko Widodo yang mengelola Surakarta jadi secercah fajar harapan anyar. Tapi itu kan hanya di level lokal (Jawa) dan satu dari ribuan pemimpin yang mengelola negeri ini.

Demokrasi yang dipilih untuk menjalankan roda pemerintahan pun pada realitasnya malah tumpang tindih dan tak sesuai dengan amanat konstitusi. Kita sepakat dengan demokrasi presidensial, akan tetapi kenyataan di lapangan yang berkuasa dan lebih bertaji justru demokrasi parlementer. 

Kebijakan negara alias pemerintah, kerap tersandera atau malah menghamba kepada para elite politik yang manggung di bilangan Senayan. Padahal, presiden kita diberikan anamah oleh sebagian besar rakyat. Tapi presiden tidak memanfaatkan atau memberdayakan amanah itu dengan bulat. Presiden kerap kompromistis dengan para elitis.

Ini mengindikasikan pemimpin kita lebih anteng menyibukkan diri dengan barisan koalisi dan mengadakan kompromi dengan para oposisi. Maka yang terjadi politik pencitraan ditingkatkan, sedangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat terlupakan. Akibatnya, negara berisik dengan kegaduhan politik, supremasi hukum tergadaikan karena tajam ke bawah tumpul ke atas, dan pembangunan ekonomi morat-marit. Dengan kata lain tidak ada "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Gegar budaya

Hilangnya rasa keadilan itu muncul karena kita tidak mengindahkan konstitusi dan memberdayakan potensi yang ada. Seperti yang dikatakan diawal tulisan. Kita cenderung tuturut munding alias ikut-ikutan. Maka, ketika ada perubahan yang serba cepat kita mengalami gegar budaya. Mudah goyah dengan segala perubahan yang datang dari seluruh luar penjuru negeri.

Kita belum siap menghadapi revolusi industri dan demokrasi yang dipaksakan. Sebab mentalitas kita untuk menghadapi itu semua belum siap betul. Apalagi jika berkaca pada tingkat pendidikan. Boro-boro bersaing dengan kekuatan ekonomi ASEAN, China, atau global, membaca, menulis, dan berhitung saja sebagian penduduk kita banyak yang tidak bisa.

Ini tentu tragedi yang mengenaskan. Sebuah ironisme yang menyakitkan. Hal seperti ini yang mesti jadi pusat perhatian sebelum memutuskan dalam mengeluarkan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Akan tetapi, meski negara di ambang kegagalan dan kehancuran, kita jangan mudah mengeluh dan menyerah. Jauhi sikap pesimistis, apalagi memutus diri untuk bersikap apatis. Pasti ada jalan untuk mengembalikan kedaulatan negara. Dalam kegelapan pasti ada titik terang sebagai pemandu menuju tujuan yang diharapkan.

Landasan budaya

Di sinilah bidang kebudayaan mesti tampil ke permukaan. Tentu saja kebudayaan itu bukan melulu lapangan kesenian yang kerap dipersepsikan dengan seni rupa, seni pertunjukkan, atau seni sastra. Itu hanya salah satu entitas dari makna kebudayaan yang dalam dan luas.

Kebudayaan ada merupakan buah dari pergulatan pemikiran masyarakat dalam menyikapi lingkungan, perubahan ruang dan waktu, serta memenuhi kebutuhan hidup yang mendasar dan sangat dibutuhkan. 

Kebudayaan ada dan terus berkembang di antara kita karena kebudayaan dalam setiap zaman mengalami inovasi dan transformasi yang tiada henti. Kebudayaan akan selalu berkembang jika kita tidak menutup diri. Dia tumbuh dan berkembang karena mau dan mampu mengikuti pergerakan zaman secara berkesinambungan.

Hanya negara atau kota yang kurang ariflah yang menafikan dimensi kebudayaan. Dan dapat dipastikan, kota atau negara yang ingkar pada kebudayaan maka kota atau negara itu terus mengalami kemorosotan di semua lintas bidang.

Tentu, Guru Besar UPI Bandung, Prof. Dr. Chaedar Alwasilah, tidak sembarangan mengatakan birokrat diIndonesia, khusunya di Jawa Barat mengidap penyakit tunabudaya. 

Saya yakin, pernyataan beliau merupakan hasil dari perenungan yang mendalam, menafsirkan data dan fakta yang ditemuka di lapangan, serta menyarikan simpulan melalui diskusi dengan pakar lintas bidang.

Mungkin para pejabat bakal berkata, konsep kebudayaan seperti apa yang hendak ditawarkan dan bisa dijalankan bagi kemakmuran bersama? Mudah saja jawabannya. Kita kembalikan saja pada salah satu nilai-nilai dan semangat Pancasila. Musyawarah untuk mencapai kemupakatan sungguh elok jika dilaksanakan dengan penuh kejujuran, tanggung jawab, dan didasarkan rasa persaudaraan di antara anak bangsa. 

Lakukanlah diskusi yang merangkul para ahli dari lintas profesi dan generasi. Tapi jangan mengedepankan ego pribadi atau kepentingan kroni. Tentu saja diskusi itu tidak akan bisa merumuskan masalah dan solusi yang sekali jadi. Diperlukan ketelitian, kesabaran, kesinambungan, dan kebersamaan.

Mangga, jika konsep kebudayaan tidak bisa cepat tersaji dengan rapi, utuh dan menyeluruh, bukan berarti strategi pembangunan hari ini serta-merta mengabaikan konsep kebudayaan. Untuk jangka pendek, akan lebih baik konsep kebudayaan yang segera diterapkan adalah sejumlah rekomendasi hasil dari konferensi, kongres, atau diskusi yang sudah diadakan pemerintah atau pihak swasta.

Sungguh disayangkan, aneka rekomendasi hasil pertemuan atau diskusi kebudayaan itu hanya memenuhi lemari arsip belaka. Dan sungguh kemubaziran jika pertemuan kebudayaan hanya mendiskusikan dan mengulang hal-hal yang klise tapi tidak ada perubahan yang signifikan dan dapat dirasakan semua elemen bangsa.     

Artikel di atas sempat dimuat di koran Radar Banten. Karya Djasepudin, seorang guru SMA Negeri 1 Cibinong Kabupaten Bogor. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun