Mohon tunggu...
Kompasiana Cibinong
Kompasiana Cibinong Mohon Tunggu... Guru - Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Pembangunan Berlandaskan Kebudayaan

12 Juli 2019   09:01 Diperbarui: 12 Juli 2019   09:10 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila kebetulan panen pun petani tidak mukti, petani tetap tinggal daki. Muhun, jerih payah dan tetes keringat petani di sawah, ladang, dan lautan tidak berujung dengan kesejahteraan dan kemuliaan. Petani tetap menjadi Marhaen yang tertindas oleh sistem yang tidak berpihak pada rakyat semesta. 

Saban panen, petani mesti memberikan hasilnya pada para tengkulak. Karena tengkulaklah yang datang jadi 'malaikat penolong' kala petani mengalamiusum werit bin paceklik. Di masa-masa sulit dan sangat dibutuhkan negara malah absen. Negara sering hadir dan berkunjung pada para petani ketika ritual lima tahunan dalam pesta demokrasi.

Urbanisasi

Karena lahan pekerjaan di desa sulit didapatkan dan harapan hidup untuk sejahtera sangat kecil peluang, maka perpindahan penduduk dari desa ke kota jadi pilihan. Tentus saja kota-kota besar dan pulau Jawa jadi buruan. Alhasil, laju urbanisasi tak terkendali. Yang namanya mengadu peruntungan tentu sangat bergantung dengan kekuatan dan kekayaan modal. Modal sosial dan modal material berjalin-kelindan berjalan beriringan. 

Bagi warga yang mengandalkan nekat doang, gerbang kegagalan dan kemelaratan terbuka lebar. Inilah salah satu sebab kompleksitas masalah penduduk menumpuk di perkotaan. Sebab ledakan pendudukan bergerak cepat dan tak terelakkan. Efek negatif yang langsung dirasakan adalah sejuta masalah, melonjaknya jumlah dan modus kriminalitas, serta penyakit sosial kian melesat dan membengkak.

Celakanya, dalam mengurai masalah itu kita pun cenderung tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana bisa mengurai masalah, data kependudukan pun berantakan. Strategi yang dijalankannya pun kerap serampangan dan tidak berkelanjutan. Misal, beberapa Pemkot kerap mengadakan razia KTP pada saat arus balik lebaran. Tapi itu hanya efektif berjalan sehari dua hari doang, selanjutnya, dengan alasan tidak ada dana, program itu jumud di tengah jalan.


Demokrasi

Fenomena itu makin parah karena kita mengalami krisis kepemimpinan. Kehilangan anutan yang terjadi dari level terendah hingga pejabat eksekutif. Kita miskin teladan pemimpin yang berkarisma, dapat diandalkan, dan jadi kebanggan. Memang, munculnya Joko Widodo yang mengelola Surakarta jadi secercah fajar harapan anyar. Tapi itu kan hanya di level lokal (Jawa) dan satu dari ribuan pemimpin yang mengelola negeri ini.

Demokrasi yang dipilih untuk menjalankan roda pemerintahan pun pada realitasnya malah tumpang tindih dan tak sesuai dengan amanat konstitusi. Kita sepakat dengan demokrasi presidensial, akan tetapi kenyataan di lapangan yang berkuasa dan lebih bertaji justru demokrasi parlementer. 

Kebijakan negara alias pemerintah, kerap tersandera atau malah menghamba kepada para elite politik yang manggung di bilangan Senayan. Padahal, presiden kita diberikan anamah oleh sebagian besar rakyat. Tapi presiden tidak memanfaatkan atau memberdayakan amanah itu dengan bulat. Presiden kerap kompromistis dengan para elitis.

Ini mengindikasikan pemimpin kita lebih anteng menyibukkan diri dengan barisan koalisi dan mengadakan kompromi dengan para oposisi. Maka yang terjadi politik pencitraan ditingkatkan, sedangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat terlupakan. Akibatnya, negara berisik dengan kegaduhan politik, supremasi hukum tergadaikan karena tajam ke bawah tumpul ke atas, dan pembangunan ekonomi morat-marit. Dengan kata lain tidak ada "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun