Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rokok, Dibenci Sekaligus Dirindukan

26 September 2019   08:50 Diperbarui: 26 September 2019   17:20 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rokok (SHUTTERSTOCK)

Bicara rokok ibarat dua sisi pedang yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Penikmatnya diuber-uber terus seperti penjahat, tapi duit cukainya juga dikejar-kejar sampai ujung dunia.

Bagi penikmatnya, rokok ibarat inspirasi jutaan ide brilian ketika sedang mentok nulis skripsi atau deadline pekerjaan. Ditemani secangkir kopi pahit, rokok bisa menggerakkan jari-jari di depan keyboard komputer atau ponsel yang awalnya buntu tak ada ide sama sekali.

Para penulis, musisi, seniman, bahkan sebagian olahragawan sekalipun rokok bisa jadi teman setia untuk meningkatkan motivasi serta menciptakan karya-karya bernas. 

Pramoedya Ananta Toer, pengarang besar negeri ini contohnya, produktif menulis sekalipun dibui dengan ditemani sebatang rokok. Iwan Fals dan banyak musisi negeri ini juga menciptakan karya-karya fenomenal yang keluar setelah menghisap rokok.

Tanpa rokok, kreativitas mandek, otak jadi tumpul. Lihatlah mereka yang berhenti merokok, karyanya langsung ambyar tak keruan hasilnya.

Di sisi lain, rokok paling dibenci emak-emak dan praktisi kesehatan. Alasannya jelas, asapnya sangat mengganggu menyaingi kabut asap yang sedang melanda negeri ini, apalagi bila dilakukan di tempat umum. Rokok konon juga merusak paru-paru dan jantung dalam jangka panjang.

Sayangnya, banyak orang termasuk pakar kesehatan sekalipun menggeneralisir bahwa semua rokok itu jahat. Padahal kalau boleh jujur, seharusnya diteliti lebih dalam apakah yang menderita itu biasa menghisap rokok kretek atau filter, apalagi rokok kertas yang memang jelas-jelas dapat memicu kanker.

ilustrasi harga rokok. (sumber: kontan)
ilustrasi harga rokok. (sumber: kontan)
Belasan tahun lalu sebelum dihapus, sebuah rokok kretek menuliskan di belakang bungkusnya bahwa rokok tersebut dapat menyembuhkan batuk dan mengentalkan dahak. Itu terbukti ketika kawan saya beralih dari rokok filter menjadi kretek, batuk berdahaknya langsung sembuh dan sampai saat ini tidak berminat lagi menghisap rokok filter.

Coba lihat para kiai di ponpes, atau petani di desa yang merokok kretek, usianya rata-rata lebih dari 80 tahun dan tetap sehat. Sementara penghisap rokok filter apalagi kertas justru banyak yang akhirnya mengindap penyakit jantung, kanker, dan sebagainya.

Pemerintah sendiri bersikap banci terhadap rokok. Di satu sisi terus menghimbau untuk tidak merokok dan membatasi ruang gerak perokok di tempat umum. Namun di sisi lain pemerintah butuh cukainya untuk menghidupi negara ini. 

Tidak main-main, cukai rokok menghasilkan pemasukan negara sekitar 159 Triliun Rupiah atau sekitar 12% dari pendapatan negara sebesar 1.316 Trilyun. Pendapatan tersebut cukup untuk menghidupi kementerian besar seperti Dikbud atau PU. Bayangkan jalan yang kita lalui dibangun dari asap rokok.

Hampir separuh orang kaya Indonesia yang masuk 10 besar adalah pengusaha rokok. Ironisnya justru mereka sendiri tidak merokok hasil produksinya sendiri.

Oleh karena itu, niat pemerintah untuk menaikkan cukai sebenarnya (bukan) untuk menghambat peredaran rokok, tapi justru untuk menaikkan pendapatan negara yang mulai loyo akibat hengkangnya sejumlah industri ke negeri tetangga.

Rokok jugalah yang menghasilkan bibit-bibit unggul olahraga seperti bulutangkis dan tenis. Rokok pulalah yang menghidupi event-event olahraga dan musik di tanah air. Mana ada industri lain yang berani keluar uang banyak untuk dibakar selain rokok.

Cukai Rokok (Sumber: detik.com)
Cukai Rokok (Sumber: detik.com)
Mana berani pemerintah tegas menutup pabrik rokok, lha wong pendapatan terbesarnya berasal dari situ. KPAI saja dibuat KO gara-gara berusaha menghilangkan pengaruh industri rokok terhadap anak-anak.

Saya justru khawatir kenaikan cukai yang luar biasa akan memantik demo besar-besaran dari para penghisapnya yang rata-rata berpendapatan pas-pasan. Sudah hidup susah, rokok makin mahal pula. Semboyan yang mereka pegang adalah mangan ora mangan asal ngudud. Jadi udud adalah harga mati yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Demo berjilid-jilid bakal kembali terjadi lagi, mungkin lebih dari 7 juta orang mengingat konsumen rokok mencakup hampir separuh penduduk negeri. 

Bayangkan kalau mereka semua turun ke jalan, bukan cuma pagar tapi gedung DPR pun bisa luluh lantak dihajar pendemo. Lagipula sebagian aparatnya juga perokok sehingga bisa jadi malah berbalik mendukung demonstran.

Pemerintah seharusnya lebih selektif lagi memberlakukan kenaikan cukai rokok. Pilah mana yang berbahaya seperti rokok kertas naikkan setinggi-tingginya, tapi untuk rokok kretek apalagi yang murni tembakau sebaiknya tetap mengingat petani tembakau juga bakal kena getahnya kalau cukai naik terlalu tinggi.

Tidak perlu terlalu paranoid terhadap rokok. Cukup batasi penggunaannya pada ruang privat yang tidak mengganggu kepentingan bersama. Toh tetap ada gunanya sebatang rokok, minimal untuk membantu menciptakan ide-ide baru yang brilian.

Rokok memang dibenci sebagian masyarakat, namun kehadirannya tetap dirindukan oleh sebagian lainnya, bahkan pemerintah sekalipun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun