Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Memindahkan Ibu Kota Tak Semudah Mencari Ibu Tiri

1 Mei 2019   18:23 Diperbarui: 2 Mei 2019   08:32 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stasiun Maja, Calon Ibukota Negara (Dokpri)

Cuaca di luar Jawa, berdasarkan pengalaman saya keliling Indonesia, jauh lebih panas dan menyengat dari pulau Jawa. Tidak mudah orang beradaptasi dengan lingkungan yang panas dan kering, susah air, penduduk lokal yang berbeda budaya rawan terjadinya perselisihan, seperti kasus Madura dan Dayak di awal reformasi.

Hal ini berbeda dengan pemindahan ibuk ota yang masih satu daratan, iklim relatif sama, kondisi lahan dan penduduk juga tidak terlalu jauh berbeda.

Bayangkan juga betapa repotnya memindahkan manusia beserta propertinya menyeberangi laut. Kalau masih dalam satu daratan mungkin tak begitu terasa karena bisa diangkut dengan truk, bawa mobil sendiri, dan bisa dicicil kapan saja. Berbeda bila menyeberangi lautan, butuh pelabuhan, kapal, atau bandara dan pesawat terbang yang tak mungkin dimiliki sendiri. 

Biaya angkutnya saja sudah begitu besar, apalagi biaya membangun gedung perkantoran, perumahan pegawai, beserta infrastruktur pendukungnya. Terbayang eksodus besar-besaran seperti Operasi Overlord di semenanjung Normandia ketika memindahkan ratusan ribu prajurit Sekutu dari Inggris ke daratan Eropa.

Di sisi lain hutang negara semakin menumpuk, nyaris mendekati angka 5000 Trilyun. Kita selalu terlena dengan ungkapan kalau rasio hutang dengan GDP masih di bawah 30%, padahal hutang tetaplah hutang yang harus dibayar dengan uang, bukan jaminan aset atau potensi kemampuan produksi negara. 

Infrastruktur yang ada saja belum menghasilkan revenue atau timbal balik yang menguntungkan investor, apalagi ternyata banyak yang masih setengah jalan pembangunannya. Tengok jalan tol Trans Sumatera yang masih sepotong-sepotong, tol Becakayu yang tak kunjung selesai, Bandara Kertajati yang kosong melompong.

Baca juga: Melongok Palangkaraya Sang Calon Ibu kota Negara

Memang demi pemerataan Indonesia, ibu kota harus berada di tengah dan di luar Pulau Jawa. Sayang timing-nya sudah terlambat, seharusnya dilakukan saat zaman Soekarno dulu ketika setiap pulau sama-sama masih membangun.

Sekarang Jawa sudah terlanjur menjadi center of civilization, bukan semata pusat pertumbuhan ekonomi saja. Setiap suku pasti ada perwakilannya di Jawa dan belum tentu ada di pulau lainnya. Apalagi sekarang apa-apa sudah mahal, baik tanah maupun bahan bangunan, transportasi, dan sebagainya.

Solusi jangka pendek, sebaiknya ibu kota pindah tak jauh dari Jakarta. Kita bisa mencontoh negeri jiran yang memindahkan pusat pemerintahannya tak jauh dari Kuala Lumpur, bukan ke Serawak atau Sabah yang berada di lain pulau. Juga Washington dan New York yang tak berapa jauh, atau Yangon dengan Nay Pyi Daw. Pusat bisnis tetap berada di ibu kota lama, hanya pusat pemerintahan saja yang pindah ke kota baru.

Dulu pernah ada wacana untuk pindah ke Jonggol, namun dilihat dari sisi infrastruktur masih kalah jauh dengan Maja. Saya sudah belasan kali ke Maja, dan rasanya tepat untuk menjadi pusat pemerintahan baru mengingat lahannya masih relatif lebih murah dibanding daerah Jonggol.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun