Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Memindahkan Ibu Kota Tak Semudah Mencari Ibu Tiri

1 Mei 2019   18:23 Diperbarui: 2 Mei 2019   08:32 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stasiun Maja, Calon Ibukota Negara (Dokpri)

Di tengah hiruk pikuk usai proses perhitungan pemilu yang masih belum usai hingga saat ini, tiada angin tiada bulan tiba-tiba Presiden Jokowi kembali melontarkan wacana pemindahan ibu kota negara. Seolah hendak menepis berbagai isu seputar pemilu, wacana ini sontak membuyarkan keramaian pasca pemilu. Apalagi ibu kota juga baru saja mengalami banjir yang cukup parah, membuat wacana pemindahan ibu kota semakin menguat. Mendadak semua hening sejenak, dan mulailah ramai-ramai para Kompasianers membahasnya.

Baca Juga: Maja Alternatif Ibu kota Negara Baru

Tentu ini merupakan sebuah keinginan yang baik mengingat ibu kota Jakarta saat ini sudah overload alias kelebihan beban yang berakibat kemacetan, banjir, sulit air, dan sampah merebak di mana-mana. 

Beban ibu kota yang memiliki multifungsi tidak hanya pusat pemerintahan namun juga sekaligus perdagangan, industri, pendidikan, hiburan, dan sebagainya ibarat tukang panggul yang harus menggendong berbagai macam jenis tas yang menggelayut di seputar tubuhnya.

Di sisi lain masih banyak ruang-ruang kosong di sudut negeri yang nyaris tak terjamah, dibiarkan begitu saja tidak diolah dengan baik. Tanah-tanah tersebut hanya dieksploitasi berbagai sumberdaya alam yang ada di dalamnya, tanpa peduli lagi bagaimana merawatnya kembali seperti didokumentasikan dalam film 'Sexy Killers'. Ruang-ruang itulah yang seharusnya diisi beban dari wilayah lain yang sudah benar-benar overload, demi pemerataan pembangunan yang selama ini cenderung terpusat di Pulau Jawa.

Banyak negara sukses memindahkan ibu kotanya, mulai dari negeri tetangga Malaysia, Myanmar, hingga Kazakhstan dan Brazil, termasuk juga di dalamnya Nigeria dan Pantai Gading. Tapi satu hal yang kita lupa, mereka itu negara kontinen alias berbasis benua, bukan negara kepulauan. Sejauh apapun pindah tidak menjadi masalah besar karena masih berada di daratan yang sama.

Berbeda dengan Indonesia, negeri kepulauan terbesar di dunia, jauh lebih besar dari Jepang dan Filipina, atau Selandia Baru yang hanya terdiri dari dua pulau besar.

Bukan salah bunda mengandung, kalau Pulau Jawa yang merupakan salah satu pulau terkecil justru menjadi tumpuan ratusan juta manusia dari pulau-pulau besar lainnya. Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua merupakan pulau-pulau besar namun penduduknya justru lebih sedikit dari pulau Jawa. 

Mau tidak mau, suka tidak suka, Pulau Jawa telah menjadi pusat peradaban di Indonesia sejak dulu kala. Sejarah lebih banyak bercerita tentang perkembangan pulau Jawa, dan Sumatera dibanding Kalimantan, Sulawesi, apalagi Papua. 

Suburnya Pulau Jawa membuat orang berbondong-bondong meramaikan pulau ini ketimbang pulau-pulau lainnya. Sekarangpun pulau Jawa masih tetap 'subur' yang menjadi daya tarik manusia di pulau lain untuk bermukim di sini.

Memindahkan ibu kota ke luar pulau Jawa sama saja memindahkan peradaban Indonesia, tak sekedar memindahkan kantor beserta isinya. Banyak hal saling terkait dengan perpindahan tersebut, mulai dari pegawai beserta keluarganya, tentu membutuhkan sekolah, pasar, dan juga transportasi penghubungnya, tidak sekedar hamparan lahan untuk perkantoran dan perumahan pegawai. Manusianya juga harus bisa beradaptasi dengan iklim yang berbeda dengan Jawa.

Cuaca di luar Jawa, berdasarkan pengalaman saya keliling Indonesia, jauh lebih panas dan menyengat dari pulau Jawa. Tidak mudah orang beradaptasi dengan lingkungan yang panas dan kering, susah air, penduduk lokal yang berbeda budaya rawan terjadinya perselisihan, seperti kasus Madura dan Dayak di awal reformasi.

Hal ini berbeda dengan pemindahan ibuk ota yang masih satu daratan, iklim relatif sama, kondisi lahan dan penduduk juga tidak terlalu jauh berbeda.

Bayangkan juga betapa repotnya memindahkan manusia beserta propertinya menyeberangi laut. Kalau masih dalam satu daratan mungkin tak begitu terasa karena bisa diangkut dengan truk, bawa mobil sendiri, dan bisa dicicil kapan saja. Berbeda bila menyeberangi lautan, butuh pelabuhan, kapal, atau bandara dan pesawat terbang yang tak mungkin dimiliki sendiri. 

Biaya angkutnya saja sudah begitu besar, apalagi biaya membangun gedung perkantoran, perumahan pegawai, beserta infrastruktur pendukungnya. Terbayang eksodus besar-besaran seperti Operasi Overlord di semenanjung Normandia ketika memindahkan ratusan ribu prajurit Sekutu dari Inggris ke daratan Eropa.

Di sisi lain hutang negara semakin menumpuk, nyaris mendekati angka 5000 Trilyun. Kita selalu terlena dengan ungkapan kalau rasio hutang dengan GDP masih di bawah 30%, padahal hutang tetaplah hutang yang harus dibayar dengan uang, bukan jaminan aset atau potensi kemampuan produksi negara. 

Infrastruktur yang ada saja belum menghasilkan revenue atau timbal balik yang menguntungkan investor, apalagi ternyata banyak yang masih setengah jalan pembangunannya. Tengok jalan tol Trans Sumatera yang masih sepotong-sepotong, tol Becakayu yang tak kunjung selesai, Bandara Kertajati yang kosong melompong.

Baca juga: Melongok Palangkaraya Sang Calon Ibu kota Negara

Memang demi pemerataan Indonesia, ibu kota harus berada di tengah dan di luar Pulau Jawa. Sayang timing-nya sudah terlambat, seharusnya dilakukan saat zaman Soekarno dulu ketika setiap pulau sama-sama masih membangun.

Sekarang Jawa sudah terlanjur menjadi center of civilization, bukan semata pusat pertumbuhan ekonomi saja. Setiap suku pasti ada perwakilannya di Jawa dan belum tentu ada di pulau lainnya. Apalagi sekarang apa-apa sudah mahal, baik tanah maupun bahan bangunan, transportasi, dan sebagainya.

Solusi jangka pendek, sebaiknya ibu kota pindah tak jauh dari Jakarta. Kita bisa mencontoh negeri jiran yang memindahkan pusat pemerintahannya tak jauh dari Kuala Lumpur, bukan ke Serawak atau Sabah yang berada di lain pulau. Juga Washington dan New York yang tak berapa jauh, atau Yangon dengan Nay Pyi Daw. Pusat bisnis tetap berada di ibu kota lama, hanya pusat pemerintahan saja yang pindah ke kota baru.

Dulu pernah ada wacana untuk pindah ke Jonggol, namun dilihat dari sisi infrastruktur masih kalah jauh dengan Maja. Saya sudah belasan kali ke Maja, dan rasanya tepat untuk menjadi pusat pemerintahan baru mengingat lahannya masih relatif lebih murah dibanding daerah Jonggol.

Jauh sebelum heboh wacana pemindahan ibu kota, saya pernah menuliskannya di sini tentang Maja sebagai alternatif pusat pemerintahan baru.

Infrastrukturnya juga sudah memadai dengan adanya stasiun KA komuter dan tak jauh dari pintu tol Cikande. Di sana juga sudah dimulai pembangunan perumahan skala besar oleh rajanya properti Ciputra sehingga pemerintah tak perlu lagi menyediakan lahan khusus perumahan bagi pegawainya. Karyawan lama juga tak perlu belui rumah baru, cukup naik KA komuter ke Maja, bebas macet dan malah kosong bila ke arah Maja di pagi hari.

Tak perlu memaksakan diri pindah pulau hanya demi pemerataan namun harus mengeluarkan biaya yang begitu besar, konon mencapai sekitar Rp 450 triliun menurut hitungan Bappenas.

Lebih baik uangnya digunakan untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa, bangun infrastruktur sekelas Pulau Jawa untuk menarik penduduk bekerja di luar Jawa. Biarlah pusat pemerintahan tetap di Jawa dan tak terlalu jauh dari ibu kota lama agar kesinambungan kerja dapat tetap berjalan selama masa pemindahan.

Jangan lagi kita menyederhanakan masalah seperti membuat kebijakan pemilu serentak yang ternyata mengabaikan faktor manusianya.

Dari sisi waktu memang efisien, tapi mengorbankan nyawa manusia hingga ratusan jumlahnya. Jangan berpikir seperti robot yang bisa dipindahkan begitu saja tanpa memikirkan manusia yang ada di dalamnya.

Lagipula pindahnya ibu kota tidak otomatis memindahkan kegiatan lainnya ke luar Pulau Jawa.

Memindahkan ibu kota tak semudah mencari ibu tiri pengganti ibu kandung. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, tidak hanya soal pemerataan tapi juga anggaran, manusia, infrastruktur, lahan, budaya, lingkungan, dan lain sebagainya. Mohon dipertimbangkan kembali untuk pindah jauh ke luar Pulau Jawa.

Sekali lagi, lebih baik pindah tak jauh dari tempat sekarang daripada memaksakan diri menyeberangi pulau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun