Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ketika Hukum Pasar "Membunuh" Kearifan Lokal

14 Juni 2018   20:35 Diperbarui: 15 Juni 2018   20:33 3469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pindang Tetel Kuliner yang Mulai Punah (Dokpri)

Mata saya kembali lirak lirik di kiri kanan jalan, mencari warung yang dulu menjadi langganan saya. Alangkah kagetnya saya ketika melihat warung soto taoto langganan sudah bergeser ke samping bangunan lama yang ukurannya lebih kecil, sementara bangunan lama diisi oleh warung bakso waralaba ternama. Sudah itu tutup pula, mungkin karena sudah malam dan menjelang hari lebaran.

Saya bergerak ke tempat lain yang menjual makanan sejenis. Dulu setidaknya ada tiga warung yang menjual makanan serupa, namun sepanjang jalan yang saya telusuri, semuanya sudah berubah bentuk. Ada yang menjadi kios kelontong, ada yang jadi warung sate, ada juga yang jualan soto Lamongan. 

Memang rada aneh juga, kuliner lokal menghilang, sementara justru kuliner impor masuk dan laku. Di sepanjang jalan yang dilalui tampak belasan warung bakso, sate, takoyaki, es kepal Milo, dan produk waralaba lainnya dari luar berjajar di tepi jalan dan penuh dengan pengunjung, menggusur cita rasa masakan lokal yang lambat laun mulai punah.

Pindang Tetel Kuliner yang Mulai Punah (Dokpri)
Pindang Tetel Kuliner yang Mulai Punah (Dokpri)
Bisa jadi kuliner lokal punah karena bahan bakunya memang mahal. Sudah menjadi rahasia umum kalau di kampung saya makanan dari daging sapi atau kambing merupakan makanan favorit zaman dulu. Ketika harga perkilo sapi atau kambing sudah di atas kewajaran, satu demi satu warung kuliner khas gulung tikar, berganti wajah menjadi warung makan waralaba yang lebih bersahabat dan bahanya murah serta mudah didapat.

Kembali ke hotel, tampak sekali perbedaan nyata antara hotel lokal dengan hotel milik jaringan nasional. Hotel ternama di kota kami masih relatif baru dan kinyis-kinyis, serta harganya tidak sampai dua kali lipat harga hotel lokal. Dengan menambah uang sedikit saja kenyamanannya jauh terasa. 

Di hotel ternama suasana nyaman, bebas kecoa dan semut, kamar mandi masih baru, tempat tidur masih segar dan handuk masih putih. Sementara di hotel lokal, nyamuk nekat masuk ke kamar, kadang di kamar mandi juga ada kecoa atau semut kala kita membawa makanan yang manis. Kamarnya juga sudah kusam dan berdebu karena semakin jarang ditinggali orang, mungkin hanya hantu yang masih betah di kamar itu.


Begitu pulang kembali ke Bandung, saya sempatkan mampir ke sentra batik yang ada di pinggiran kota. Suasananya juga sama, sepi pembeli. Bisa jadi mungkin karena belum lebaran, tapi tahun lalu saat saya berkunjung pun sudah demikian suasananya. 

Pembeli mulai jarang, toko-toko mulai berguguran, dan hanya beberapa merek ternama saja yang masih bisa bertahan hidup di tengah lesunya perekonomian. Sebuah paradoks dimana barang impor tapi murah dijajakan di pasar tiban pinggir jalan malah ramai pembeli.

* * * *

Zaman berubah, situasi juga berubah. Barang siapa tidak siap menerima perubahan, siap-siaplah untuk punah, tak peduli itu kearifan lokal, selama tidak bisa memenuhi hukum pasar akan tenggelam menjadi kenangan. 

Tak peduli itu kuliner sekalipun, kalau harganya sudah tidak terjangkau akan digantikan oleh makanan lain yang lebih murah walau belum tentu bergizi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun