Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ketika Hukum Pasar "Membunuh" Kearifan Lokal

14 Juni 2018   20:35 Diperbarui: 15 Juni 2018   20:33 3469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hotel Tua Tampak Kusam, Di Belakang Hotel Baru Tampak Segar (Dokpri)

Lebaran kali ini mungkin termasuk yang paling berkesan buat saya. Saat pulang kampung kemarin, saya agak 'gumun' melihat apa yang terjadi di kota kelahiran leluhur. Malam itu saya baru tiba dari Surabaya setelah menjajal jalan tol dari Jakarta hingga berakhir di kota buaya tersebut. Sengaja saya tidak pesan hotel lewat aplikasi, biar kerasa agak tegang sedikit seperti zaman dulu waktu berburu hotel di hari menjelang lebaran.

Tujuan pertama saya adalah sebuah hotel syariah yang terletak di depan stasiun kereta api. Zaman dulu, hotel ini selalu penuh dan hanya sedikit keberuntungan bisa memeroleh kamar. Parkiran juga penuh sesak mobil-mobil dari arah Jakarta atau Surabaya yang pulang kampung tapi tidak punya tempat tinggal lagi di kampungnya karena sudah dijual dan dibagi-bagi harta warisannya. 

Mereka pulang karena ingin bersilaturahmi dengan sanak saudara yang masih tersisa sekaligus mengenang masa muda waktu tinggal di kampung dulu.

Saya pikir kondisinya masih seperti dulu, pasti penuh dengan mobil-mobil parkir dan sulit mendapat kamar. Namun begitu tiba di depan hotel, saya hanya bisa melongo. Hotel terlihat sunyi sepi, tidak tampak satu mobilpun parkir di halaman hotel. 

Saya tidak langsung masuk tapi tetap jalan terus sambil menyaksikan dua hotel baru dari jaringan hotel nasional ternama yang megah dan bertingkat tinggi di sebelahnya. Parkiran penuh diisi oleh mobil-mobil kelas menengah keluaran terbaru.

Saya kembali lagi dan memutuskan untuk tetap menginap di hotel syariah yang sejarahnya berasal dari wakaf orang-orang yang pergi haji. Suasana tampak sunyi, warung makan di depan hotel sudah lama tutup. Agak menyeramkan juga karena hanya ada satu dua orang saja yang menginap, takut ada hantu gentayangan. 

Setelah beristirahat sejenak, kami keluar hotel untuk mencari makanan khas kampung di warung langganan yang biasa saya datangi saat lebaran tiba. Makanan tersebut memang tidak ada di Jakarta atau kota-kota besar lain, hanya ada di kampung sehingga saya selalu mengusahakan untuk mampir pas libur lebaran.

Pasar Tiban Ramai Pengunjung (Dokpri)
Pasar Tiban Ramai Pengunjung (Dokpri)
Jalanan menuju warung di kampung saya macet total. Rupanya ada pasar tiban alias pasar jalanan yang menjual aneka barang kebutuhan menjelang lebaran dan ramai sekali didatangi pengunjung. Sebuah ironi ketika waktu kecil dulu mal terbesar di kota kami selalu ramai pengunjung, sekarang hanya tinggal nama saja. 

Salah satu lahan toko yang cukup luas sudah dibeli jaringan swalayan milik pengusaha nasional dan saat ini sedang dibangun cabangnya di kota kami. Sementara gerai satunya lagi di sebelah SPBU sudah lama tutup dan belum ada yang tertarik untuk mengakuisisinya.

Pasar memang kejam. Ketika biaya operasional semakin meningkat yang menyebabkan harga barang ikut naik, pengunjung beralih ke pasar di pinggir jalan yang harganya jauh lebih murah karena tidak perlu mengeluarkan biaya sewa ini itu, paling hanya untuk bayar tenda, listrik, dan preman, beres. 

Untuk belanja sehari-hari warga tinggal datang ke gerai minimarket ternama yang secara tidak langsung menghancurkan warung-warung pinggir jalan dan hanya menyisakan rokok batangan untuk dijual.

Mata saya kembali lirak lirik di kiri kanan jalan, mencari warung yang dulu menjadi langganan saya. Alangkah kagetnya saya ketika melihat warung soto taoto langganan sudah bergeser ke samping bangunan lama yang ukurannya lebih kecil, sementara bangunan lama diisi oleh warung bakso waralaba ternama. Sudah itu tutup pula, mungkin karena sudah malam dan menjelang hari lebaran.

Saya bergerak ke tempat lain yang menjual makanan sejenis. Dulu setidaknya ada tiga warung yang menjual makanan serupa, namun sepanjang jalan yang saya telusuri, semuanya sudah berubah bentuk. Ada yang menjadi kios kelontong, ada yang jadi warung sate, ada juga yang jualan soto Lamongan. 

Memang rada aneh juga, kuliner lokal menghilang, sementara justru kuliner impor masuk dan laku. Di sepanjang jalan yang dilalui tampak belasan warung bakso, sate, takoyaki, es kepal Milo, dan produk waralaba lainnya dari luar berjajar di tepi jalan dan penuh dengan pengunjung, menggusur cita rasa masakan lokal yang lambat laun mulai punah.

Pindang Tetel Kuliner yang Mulai Punah (Dokpri)
Pindang Tetel Kuliner yang Mulai Punah (Dokpri)
Bisa jadi kuliner lokal punah karena bahan bakunya memang mahal. Sudah menjadi rahasia umum kalau di kampung saya makanan dari daging sapi atau kambing merupakan makanan favorit zaman dulu. Ketika harga perkilo sapi atau kambing sudah di atas kewajaran, satu demi satu warung kuliner khas gulung tikar, berganti wajah menjadi warung makan waralaba yang lebih bersahabat dan bahanya murah serta mudah didapat.

Kembali ke hotel, tampak sekali perbedaan nyata antara hotel lokal dengan hotel milik jaringan nasional. Hotel ternama di kota kami masih relatif baru dan kinyis-kinyis, serta harganya tidak sampai dua kali lipat harga hotel lokal. Dengan menambah uang sedikit saja kenyamanannya jauh terasa. 

Di hotel ternama suasana nyaman, bebas kecoa dan semut, kamar mandi masih baru, tempat tidur masih segar dan handuk masih putih. Sementara di hotel lokal, nyamuk nekat masuk ke kamar, kadang di kamar mandi juga ada kecoa atau semut kala kita membawa makanan yang manis. Kamarnya juga sudah kusam dan berdebu karena semakin jarang ditinggali orang, mungkin hanya hantu yang masih betah di kamar itu.

Begitu pulang kembali ke Bandung, saya sempatkan mampir ke sentra batik yang ada di pinggiran kota. Suasananya juga sama, sepi pembeli. Bisa jadi mungkin karena belum lebaran, tapi tahun lalu saat saya berkunjung pun sudah demikian suasananya. 

Pembeli mulai jarang, toko-toko mulai berguguran, dan hanya beberapa merek ternama saja yang masih bisa bertahan hidup di tengah lesunya perekonomian. Sebuah paradoks dimana barang impor tapi murah dijajakan di pasar tiban pinggir jalan malah ramai pembeli.

* * * *

Zaman berubah, situasi juga berubah. Barang siapa tidak siap menerima perubahan, siap-siaplah untuk punah, tak peduli itu kearifan lokal, selama tidak bisa memenuhi hukum pasar akan tenggelam menjadi kenangan. 

Tak peduli itu kuliner sekalipun, kalau harganya sudah tidak terjangkau akan digantikan oleh makanan lain yang lebih murah walau belum tentu bergizi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun