Mohon tunggu...
divayanayusanta
divayanayusanta Mohon Tunggu... Mahasiswa

saya memilihi hobi yaitu futsal dan jalan-jalan. saya orang yang suka bersosialisasi, mudah bergaul, ramah, penuh rasa empati, namun saya terkadang mudah cemas terhadap suatu hal. konten yang paling saya sukai mengenai hal-hal lucu, saya juga suka konten cerita film.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Perbedaan Brahman dengan Sang Hyang Widhi Wasa dalam Perspektif Hindu

10 Maret 2025   09:16 Diperbarui: 10 Maret 2025   09:16 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama Hindu dikenal sebagai salah satu agama tertua di dunia dengan sistem kepercayaan yang sangat kaya dan kompleks. Di dalamnya, terdapat beragam konsep tentang Tuhan yang terus berkembang seiring waktu dan tempat. Di tingkat global, salah satu konsep ketuhanan yang paling utama adalah Brahman. Di Indonesia, terutama di Bali, konsep ketuhanan ini bertransformasi dan dikenal dalam sebutan Sang Hyang Widi Wasa.

Kedua istilah ini sering dianggap sama, karena keduanya merujuk pada Tuhan dalam Hindu. Namun, sebenarnya, baik secara filosofis, historis, maupun budaya, terdapat sejumlah perbedaan penting antara Brahman dan Sang Hyang Widi Wasa yang menarik untuk ditelaah lebih dalam.

Dalam filsafat Hindu, terutama dalam ajaran Vedanta, Brahman adalah realitas tertinggi yang tidak berwujud, tidak berawal, dan tidak berakhir. Brahman bukan hanya pencipta alam semesta, tetapi juga meliputi dan melampaui seluruh eksistensi. Ia bukan makhluk atau entitas personal, tetapi kesadaran murni, esensi dari segala yang ada.

Dalam kitab suci Upanishad, yang merupakan bagian dari Veda, Brahman dijelaskan sebagai sesuatu yang tak bisa dipahami oleh pancaindra manusia. Ia disebut "neti neti" yang berarti "bukan ini, bukan itu," karena Brahman tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata atau gambaran apapun. Dalam ajaran Advaita Vedanta, Brahman dan Atman (jiwa individu) adalah satu. Ini melahirkan keyakinan bahwa seluruh makhluk hidup pada hakikatnya adalah bagian dari Brahman.

Sebagai contoh, dalam Chandogya Upanishad, terdapat pernyataan terkenal: "Tat Tvam Asi" Engkau adalah Itu. Artinya, jiwa manusia tidak terpisah dari Brahman, melainkan identik dengannya. Ini adalah inti dari pencarian spiritual dalam Hindu: menyadari kesatuan dengan Brahman.

Sementara, istilah Sang Hyang Widi Wasa berasal dari bahasa Sanskerta dan Kawi. "Sang Hyang" berarti "Yang Suci," sedangkan "Widi" berasal dari "widya" yang berarti pengetahuan atau kebijaksanaan. Secara harfiah, Sang Hyang Widi Wasa dapat diartikan sebagai "Tuhan yang Maha Bijaksana dan Mengatur Segala Sesuatu."

Konsep ini berkembang secara khas di Indonesia, khususnya di Bali, sebagai respons terhadap kebutuhan akan penamaan Tuhan yang lebih sesuai dengan nilai-nilai lokal dan juga dengan semangat nasionalisme. Sejak masa kolonial hingga era kemerdekaan, umat Hindu Indonesia mulai memperkuat pemahaman monoteistik mereka sebagai bentuk penyesuaian terhadap nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila.

Pada tahun 1950-an, para pemuka agama Hindu di Bali mulai menggunakan istilah Sang Hyang Widi Wasa sebagai penyebutan resmi untuk Tuhan dalam agama Hindu. Istilah ini kemudian diterima secara luas dan digunakan dalam doa-doa, upacara, serta pendidikan agama Hindu di Indonesia.

Perbedaan Brahman Dengan Sang Hyang Widhi?

Meskipun Brahman dan Sang Hyang Widi Wasa sama-sama merujuk pada Tuhan dalam agama Hindu, keduanya memiliki perbedaan yang cukup mencolok jika ditinjau dari sisi asal usul, sifat, serta pendekatan filosofis dan kulturalnya. Brahman merupakan konsep ketuhanan yang berasal dari tradisi filsafat Hindu di India, terutama dalam kitab-kitab suci seperti Veda dan Upanishad. Konsep ini bersifat sangat abstrak, tidak berwujud, dan tidak bisa dipersonifikasikan. Sebaliknya, Sang Hyang Widi Wasa adalah istilah yang lahir di Indonesia, khususnya Bali, sebagai hasil adaptasi teologis terhadap nilai-nilai lokal dan nasional, terutama setelah kemerdekaan Indonesia.

Dari segi sifat, Brahman dipahami sebagai realitas tertinggi yang tidak bisa dijangkau oleh pikiran manusia, melampaui segala bentuk dan nama. Ia tidak digambarkan secara visual atau dalam bentuk tertentu, dan tidak memiliki kepribadian seperti Tuhan dalam agama-agama monoteistik lain. Sementara itu, Sang Hyang Widi Wasa cenderung dipersonifikasikan. Dalam praktik keagamaan umat Hindu di Indonesia, Sang Hyang Widi sering dimanifestasikan dalam bentuk dewa-dewi seperti Brahma, Wisnu, dan Siwa, serta unsur-unsur alam sebagai simbol kekuatan ilahi.

Perbedaan lainnya terletak pada fungsi dan tujuannya. Brahman lebih banyak dibahas dalam konteks pencarian spiritual dan pemahaman filosofis yang mendalam. Fokusnya adalah pada penyatuan jiwa individu (Atman) dengan realitas mutlak (Brahman), yang menjadi inti dari pencapaian moksha atau kebebasan rohani. Sementara itu, Sang Hyang Widi Wasa berperan sebagai sebutan resmi untuk Tuhan dalam kehidupan beragama Hindu di Indonesia, yang menekankan pada monoteisme dalam kerangka sosial-politik Pancasila. Dengan demikian, Brahman lebih menekankan dimensi metafisik dan universal, sedangkan Sang Hyang Widi lebih kontekstual dan membumi, mengakomodasi kebutuhan budaya dan keberagamaan masyarakat Hindu Indonesia.

Perbedaan antara Brahman dan Sang Hyang Widi Wasa mencerminkan kekayaan dan keluwesan ajaran Hindu dalam menjelaskan konsep ketuhanan. Brahman merupakan konsep universal yang bersifat abstrak dan filosofis, sementara Sang Hyang Widi Wasa adalah bentuk konkret dan kontekstual dari Tuhan yang disesuaikan dengan budaya dan nilai-nilai lokal di Indonesia.

Meskipun berbeda dalam penyebutan dan pendekatan, keduanya bermuara pada satu esensi: pengakuan akan keberadaan Tuhan yang Maha Esa, pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta. Dengan memahami perbedaan ini, kita tidak hanya bisa memperluas wawasan keagamaan, tetapi juga menghargai bagaimana ajaran spiritual bisa beradaptasi dengan konteks sosial-budaya dan tetap menjaga kedalaman maknanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun