"Singgahan", tempat yang dikatakan sebagai tempat dengan berbagai kepercayaan yang ada. Diantara luasnya tempat yang ada di Singgahan terdapat salah satu Desa dengan diselimuti kepercayaan di dalamnya. Desa Mulyorejo, tepatnya berada di Dusun Trembul, banyaknya pepohonan di sekitar jalannya yang membuat Dusun tersebut menjadi lebih rindang. Dibalik dari sebuah Dusun seperti biasanya terdapat sebuah tradisi yang menjadi sebuah kepercayaan bagi masyarakat Trembul dan sekitarnya.
Menurut ungkapan masyarakat sekitar kawasan punden, mengatakan bahwa selain orang dari Dusun Trembul sendiri banyak masyarakat yang jauh dari lokasi punden atau Desa Mulyorejo juga mempercayai tradisi yang ada di Dusun Trembul. Tradisi dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah berjasa pada Desa Trembul.
Tradisi manganan tunggon terjadi saat dulunya terdapat dua bersaudara yakni Mbah Kusumo/Mbah Sumo dan Mbah Raminah yang melakukan perjalanan dari goa bayang ke brubulan yang dikatakan setelah dua bersaudara tersebut keluar dari brubulan, kemudian brubulan tersebut mengeluarkan air dan hingga saat ini air tersebut digunakan masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah itu kedua bersaudara tersebut melakukan perjalanan ke krepyak yang akhirnya terjadi pembabatan alas dan kedua bersaudara tersebut membuat perkumpulan dan pertapaan untuk kedua saudara tersebut. Krepyak dulunya digunakan sebagai perkumpulan dalam memperdalam ilmu agama.
Saat pembabatan alas saudara perempuannya menemukan belalang dan menyimpan belalang di kain atau dinamakan sebagai udet. Saat sedang beristirahat Mbah Kusumo meminta Mbah Raminah untuk mencari kutu di kepalanya dan Mbah Kusumo merasakan ada yang bergerak pada perut saudaranya yang dipikirnya adalah seorang bayi. Karena kekesalan dan kekecewaan yang dimiliki oleh Mbah Kusumo akhirnya membunuh saudaranya dengan patrem ke perutnya yang berakhir kematian dan dimakamkan di punden yang bernama “Tunggon”.
Setelah terbunuhnya Mbah Raminah keluarlah belalang dari udet yang berakhir penyesalan karena kesalahpahaman dan pemikiran singkat Mbah Kusumo. Mbah Kusumo menunggu ajalnya di Tunggon sambil menemani saudaranya, kemudian setelah meninggalnya Mbah Kusumo dikuburkan di samping makam saudaranya hingga sekarang ini kedua saudara tersebut menjadi leluhur Desa Mulyorejo. Legenda tersebut bukan hanya sebuah cerita tetapi menimbulkan sebuah kepercayaan yang bernama manganan tunggon yang berasal dari kata tunggoni atau menunggu yang dilakukan satu tahun sekali setelah panen raya.
Menurut ungkapan masyarakat sebelum pelaksanaan tradisi manganan tunggon dilakukan tahlilan dengan doa tahlilan pada umumnya. Siang hari dilakukan tahlilan oleh masyarakat perempuan sedangkan malamnya dilakukan tahlilan oleh masyarakat laki-laki. Dan pada hari pelaksanaan tradisi tunggon tersebut perangkat desa mengadakan perayaan untuk meramaikan acara tersebut. Menurut ungkapan kaur kesra yang ada di dusun tersebut mengatakan bahwa terdapat sebuah kepercayaan bahwa saat perayaan manganan tersebut tidak banyak yang berpartisipasi maka perekonomian desa akan mengalami paceklik atau penurunan tetapi jika sedekah bumi yang dilakukan ramai yang berpartisipasi maka dapat dikatakan makmur.
Menurut Kaur Kesra sendiri memiliki pemahaman mengenai hubungan antara perayaan dengan penurunan adalah tidak ada keterkaitan tetapi hanyalah sebuah kepercayaan masing masing individu karena setiap orang memiliki kepercayaan masing-masing sehingga narasumber hal tersebut merupakan sebuah kepercayaan masing-masing. Tradisi tentunya terdapat sebuah ritual didalamnya tidak lain pula dengan tradisi manganan tunggon yang ada di Desa Mulyorejo Dusun Trembul.
Ritual yang dilakukan yakni sebelum melakukan tradisi sedekah bumi yang ada di tunggon yakni melakukan penaburan bunga di makam krepyak dan tapaan setelah itu membakar dupa dan tabur bunga di makam Mbah Kusumo dan Mbah Raminah di tunggon. Tradisi dan ritual yang dilakukan pada manganan tunggon tersebut sudah menjadi hal wajib yang dilakukan sebelum pelaksanaan manganan tunggon atau sedekah bumi dan dipimpin langsung oleh juru kunci untuk menghormati para leluhur yang telah berjasa untuk Desa.
Seringkali makam tersebut dijadikan hal lain selain tradisi manganan atau sedekah bumi oleh masyarakat luar Desa. Menurut ungkapan dari masyarakat, makam tersebut digunakan seseorang yang memiliki hajat atau keinginan agar keinginan tersebut terkabul seseorang tersebut akan melakukan sebuah ritual di makam tersebut, ritual yang dilakukan yakni membawa sebuah tumpeng dan tumpeng tersebut dibagikan kepada masyarakat sekitar makam tersebut.
Masyarakat sekitar makam juga mengatakan dalam tradisi tidak ada larangan tetapi apabila ada seseorang yang bernazar saat melakukan ritual tersebut dan tidak melakukannya terdapat sebuah efek samping dari seseorang yang bernazar tersebut yakni sakit-sakitan bahkan meninggal. Meskipun hal tersebut hanyalah sebuah kepercayaan tetapi jika sudah diyakini dan dipercaya maka kepercayaan tersebut akan menjadi hal yang nyata.