Mohon tunggu...
Ditta S. Suhada
Ditta S. Suhada Mohon Tunggu... -

Mahasiswa. Calon dokter, In shaa Allah.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Wajib Kerja Dokter Spesialis, Akankah Menjawab Masalah?

20 Maret 2017   20:46 Diperbarui: 24 Maret 2017   05:00 4001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini dunia kedokteran dipenuhi dengan perbincangan hangat mengenai wajib kerja dokter spesialis atau yang biasa juga kita singkat dengan WKDS. Dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis yang menyatakan bahwa “Setiap dokter spesialis lulusan pendidikan profesi program dokter spesialis dari perguruan tinggi negeri di dalam negeri dan perguruan tinggi di luar negeri wajib mengikuti Wajib Kerja Dokter Spesialis”, tidak dapat disangkal lagi bahwa ini sudah menjadi sesuatu yang harus dilakukan oleh para dokter spesialis di Indonesia. Terlebih, hal ini dikukuhkan dengan membuat pernyataan akan mengikuti Wajib Kerja Dokter Spesialis di awal pendidikannya.

Tetapi kemudian hal ini menimbulkan pertanyaan. Mengapa?

            Mari kita tengok lagi pemetaan dokter spesialis di Indonesia. Menteri Kesehatan memaparkan bahwa rasio dokter spesialis pada tahun 2015 sudah memenuhi target rencana pengembangan tenaga kesehatan, dengan rasio 12,6 per 100.000 penduduk. Meskipun jika kita tinjau lagi data dari web Departemen Kesehatan, ditunjukkan bahwa pada tahun 2015, jumlah dokter spesialis di Indonesia masih kurang (berdasarkan Permenkes No 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perijinan Rumah Sakit, di lihat dari 2490 Rumah Sakit di Indonesia).

wkds1-58cfda27727e612128b0832f.png
wkds1-58cfda27727e612128b0832f.png
Tetapi meskipun dikatakan bahwa rasio dokter spesialis di Indonesia sudah memenuhi target rencana pengembangan tenaga kesehatan, rasio itu ternyata tidak tergambarkan oleh seluruh provinsi di Indonesia. Seperti misalnya saja rasio dokter spesialis terendah hanya mencapai 3,0 per 100.000 penduduk (Provinsi Papua), sedangkan rasio dokter spesialis tertingginya mencapai 52,2 per 100.000 penduduk (DKI Jakarta).

            Dalam peta persebaran dokter spesialis yang terdapat di website departemen kesehatan yang memberikan data gambaran tahun 2013, cukup terlihat perbedaan signifikan antara jumlah dokter spesialis yang terdapat pada pulau Jawa dan Sumatera daripada daerah lainnya di Indonesia.

Mendukung pernyataan Menteri Kesehatan, di DKI Jakarta sendiri terdapat 5873 dokter spesialis dan sangat bertolak belakang dengan Papua yang hanya memiliki 197 dokter spesialis.


wkds2-58cfda6a4ef9fd911b702896.png
wkds2-58cfda6a4ef9fd911b702896.png
Melihat parahnya ketidakrataan penyebaran dokter spesialis di Indonesia, lantas apakah solusi yang ditawarkan oleh Wajib Kerja Dokter Spesialis?

            Peserta Wajib Kerja Dokter Spesialis, yang terdiri atas peserta Wajib Kerja Dokter Spesialis mandiri dan peserta Wajib Kerja Dokter Spesialis penerima beasiswa dan/atau program bantuan biaya pendidikan akan ditempatkan pada seluruh wilayah di Indonesia, dengan tiga pilihan tempat, yaitu di Rumah Sakit daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan; Rumah Sakit rujukan regional; atau di Rumah Sakit rujukan provinsi, yang ada di seluruh wilayah Indonesia, dengan jangka waktu pelaksanaan Wajib Kerja Dokter Spesialis paling singkat selama 1 tahun bagi peserta Wajib Kerja Dokter Spesialis mandiri dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi peserta Wajib Kerja Dokter Spesialis penerima beasiswa dan/atau program bantuan biaya pendidikan. Tetapi kita juga perlu menggaris bawahi, bahwa wajib kerja ini dijanjikan tetap diperhitungkan sebagai bagian dari masa kerja dokter.

            Peserta Wajib Kerja Dokter Spesialis lebih diprioritaskan lagi bagi lulusan PPDS  obsgyn, anak, bedah, penyakit dalam, serta anestesi dan terapi intensif, tentunya karena kebutuhan akan spesialisasi tersebut jauh lebih kurang di daerah. Seperti misalnya saja untuk dokter spesialis penyakit dalam, di mana Menteri Kesehatan menyatakan bahwa konsentrasi terbesar dokter spesialis penyakit dalam ada di pulau Jawa, dibandingkan dengan provinsi lain yang masih bayak kekurangan.

Menurut data Kementrian Kesehatan, di Aceh saja, yang merupakan salah satu provinsi berkembang baik di Pulau Sumatera, masih ada 22 Rumah Sakit yang kekurangan dokter spesialis penyakit dalam dan dokter yang dibutuhkan masih 24 orang lagi. Bahkan jika kita telusuri kembali data dari Kementerian Kesehatan, memang terlihat ketumpang tindihan, di mana ada rumah sakit dengan jumlah dokter spesialis penyakit dalam sesuai standar (892 rumah sakit (37,67%)), ada pula yang memiliki jumlah dokter spesialis penyakit dalam di atas standar (811 rumah sakit (34,25%)) tetapi ada juga rumah sakit yang memiliki dokter spesialis penyakit dalam di bawah standar (665 rumah sakit (28,08%)).

Padahal dari analisis 6 bulan penyelenggaraan JKN pada tahun 2014, ada 7 penyakit katastrofis yang mendominasi pembiayaan JKN, yaitu Kanker, Hemofilia, Thalasemia, Diabetes, Stroke dan Hipertensi, penyakit jantung serta penyakit gagal ginjal, yang merupakan penyakit-penyakit tidak menular dan membutuhkan seorang dokter spesialis penyakit dalam (depkes).

Tetapi apakah yang nantinya akan diterima oleh para dokter spesialis ini sesuai dengan pendidikan mereka?

            Jumlah insentif yang “dijanjikan” akan diberikan oleh Kementerian Kesehatan menurut berita dari IDI Online jumlahnya variatif, mulai dari Rp23 juta-Rp30 juta per bulan yang tergantung pada tingkat kesulitan dari setiap daerahnya, dan insentif ini masih akan ditambah lagi dengan uang insentif dari daerah, karena memang ada “keharusan” pada Peraturan Presiden untuk setiap daerah memberi kesejahteraan pada dokter spesialisnya yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Selain itu, akan ditambah juga dengan insentif pembagian jasa pelayanan pasien BPJS Kesehatan. Jadi jika melihat dari sisi kesejahteraan, seharusnya peserta Wajib Kerja Dokter Spesialis sudah terjamin. Bahkan menurut Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Poedjo Hartono, take home pay yang diterima dokter WKDS bisa mencapai Rp 80 juta per bulan (IDI Online). Tetapi juga harus kita mengerti bahwa nantinya di daerah, dokter spesialis hanya akan dapat bekerja pada 1 rumah sakit saja, bukannya 3.

Selain insentif, fasilitas untuk peserta Wajib Kerja Dokter Spesialis pun dijanjikan akan memadai, di mana tentunya akan disediakan rumah dinas dan fasilitas penunjang lainnya.

Lalu bagaimana menentukan penempatan dokter spesialis?

Wajib Kerja Dokter Spesialis memang dari awal bertujuan untuk melakukan pemerataan dokter spesialis di Indonesia, untuk itu tentunya dalam melakukan pemerataan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sudah menentukan tata cara yang seadil-adilnya.

Awalnya, untuk mengetahui kebutuhan dokter spesialis, kepala daerah yaitu Bupati atau Walikota akan menyampaikan usulan kebutuhan dokter spesialis kepada Gubernur. Usulan ini didasarkan pada kebutuhan tenaga kesehatan kabupaten atau kota yang sudah melalui dinas kesehatan provinsi.

Gubernur kemudian akan meneruskan usulan kebutuhan ini ke Menteri Kesehatan dengan didasarkan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan provinsi. Dan di akhirnya, Menteri akan menetapkan alokasi penempatan dokter spesialis setelah dilakukan verifikasi, dan di sini Menteri Kesehatan akan dibantu oleh suatu komite, yaitu Komite Penempatan Dokter Spesialis.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016, komite ini bertugas untuk membantu Menteri dalam melakukan perencanaan, penempatan, evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan Wajib Kerja Dokter Spesialis.

Adapun untuk mendapatkan keadilan, Kementerian Kesehatan telah menyusun Komite Penempatan Dokter Spesialis ini terdiri dari berbagai unsur kedokteran, yaitu dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Organisasi Profesi dan Kolegium, Konsil Kedokteran Indonesia, Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, Asosiasi perumahsakitan, dan Badan Pengawas Rumah Sakit, dengan total anggota 21 orang.

Karena lama waktu Wajib Kerja Dokter Spesialis sudah ditentukan, tentunya nanti dokter spesialis yang sudah selesai mengabdi akan dapat kembali lagi ke daerah asal mereka. Tetapi karena ini bersifat wajib bagi seluruh dokter spesialis baru, maka setiap tahunnya nantinya akan selalu ada dokter spesialis baru yang akan ditugaskan untuk mengabdi di daerah itu. Maka dari itu, diharapkan program ini akan dapat membantu mempertahankan dokter spesialis untuk tetap "exist" di daerah terpencil Indonesia.

---------------------------------------------------------

Dengan tumpang tindihnya persebaran dokter spesialis di Indonesia, dapat terlihat bahwa Indonesia memang membutuhkan suatu “paksaan” untuk dapat melakukan pemerataan. Meski hanya untuk 1 tahun. Tetapi tentunya paksaan ini dengan tidak mengesampingkan kesejahteraan para pesertanya, terbukti dari insentif dan fasilitas untuk pesertanya.

Diharapkan, dengan adanya Wajib Kerja Dokter Spesialis ini, masalah kesehatan di Indonesia juga akan ikut terselesaikan dengan merata.

---------------------------------------------------------

Sumber:

1. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis

2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Komite Penempatan Dokter Spesialis 

3. http://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/rakerkesnas_gel2_2016/Kepala%20Badan%20PPSDM%20Kesehatan.pdf

4. http://www.depkes.go.id/article/view/15091800003/menkes-buka-kongres-perhimpunan-dokter-spesialis-penyakit-dalam.html

5. http://www.depkes.go.id/article/view/X-4001/ants-grafik-kesehatan-stp.html

6. http://www.idionline.org/berita/upaya-pangkas-ketimpangan/

7. http://www.depkes.go.id/article/view/17022400008/menkes-soroti-masalah-maldistribusi-dokter-spesialis-indonesia.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun