Pelukan Dua Bayi Hutan
Mereka masih terlalu kecil untuk memahami arti kehilangan. Namun, tubuh mungil itu saling merapat, tangan mungilnya melingkar, sebuah bahasa tanpa kata, "Jangan lepaskan aku."
Dalam foto di atas, Theo tampak di sisi kiri dan Putri di sisi kanan: dua bayi orangutan yang seharusnya sedang belajar memanjat pohon, menyusu pada induknya, atau bergelayut di dahan raksasa hutan Kalimantan. Nyatanya, mereka hanya punya satu sama lain.
Induk mereka telah tiada, direnggut oleh manusia. Di wajah mereka masih tersisa kepolosan, tetapi sorot matanya menyimpan tanya yang tak pernah bisa mereka ucapkan: Di mana rumah kami? Ke mana pelukan ibu pergi?
Kisah ini kuceritakan kembali dari sahabatku, Rondang S.E Siregar, seorang pejuang konservasi yang pernah merawat Theo, Putri, dan bayi-bayi orangutan lain dalam masa rehabilitasi.
Saat itu, keterbatasan fasilitas membuat para bayi hutan ini harus dibawa pulang sementara setelah jam kerja usai, agar tetap aman hingga pagi hari.
Ketika Manajer Berubah Menjadi 'Ibu'
Ketertarikan Rondang pada satwa sudah tumbuh sejak masa sekolah. Ia mengaku terinspirasi dari buku-buku legendaris, seperti My Family and Other Animals karya Gerald Durrell dan In the Shadow of Man dari Jane Goodall. Bahkan, kisah Tarzan yang dibacakan ayahnya sebelum tidur ikut membentuk passion ini.
Dedikasinya dimulai pada tahun 1996, ketika ia bergabung di Wanariset Orangutan Reintroduction Project. Di sana, ia menghadapi kenyataan bahwa orangutan yang diselamatkan memiliki latar belakang dan kebutuhan yang sangat beragam, mulai dari bayi hingga dewasa.
Tantangan terbesar dalam program rehabilitasi seringkali bukan hanya soal medis, melainkan juga emosional dan logistik. Rondang mengenang masa-masa sulit itu dengan senyum yang menyimpan kenangan.
"Pagi sampai sore saya jadi manajer, tapi sore sampai malam saya jadi 'ibu' dari bayi-bayi ini." Momen inilah yang mengubah perannya, memaksanya menyatukan profesionalisme konservasi dengan insting seorang ibu.
Malam yang Penuh Tangis
Rondang mengirimkan sebuah foto menggemaskan. "Ini Theo (kiri) dan Putri (kanan), dua bayi orangutan pertama yang kubawa pulang di hari yang sama. Atheo datang dari Banjarmasin setelah menempuh perjalanan darat selama 18 jam, sementara Putri datang dari Samarinda lewat tengah malam diantar 'ayah-ibu manusia'-nya yang telah memeliharanya selama setahun."
Bayangkan: pintu rumah kayu itu terbuka, dan dua keranjang kecil dibawa masuk. Di dalamnya, sepasang bayi hutan dengan mata yang bening, tubuh rapuh, dan hati yang penuh luka. Tidak ada lagi induk yang mengajari cara memanjat, memilih buah, atau menenangkannya saat malam tiba.
Hari pertama itu penuh tangis dan kegelisahan. Mereka butuh kehangatan, butuh rasa aman. Maka, malam itu, rumah yang biasanya sunyi berubah menjadi ruang rawat darurat.
Theo dan Putri tidur di keranjang masing-masing, tetapi tak pernah benar-benar lepas dari sentuhan. Setiap tiga jam sekali, mereka dibangunkan untuk diberi susu botol.
Kadang Rondang tertidur karena kelelahan, lalu terbangun mendapati dua bayi itu sudah merangkak naik ke tempat tidurnya, menempel di sisinya. Tangan mungil mereka memeluk erat, mencari aroma dan kehangatan yang menyerupai induknya. Mereka mencari pelukan. Mereka mencari ibu.
"Setiap orangutan memiliki 'kepribadian' unik. Mirip manusia," ujarnya.
Suara yang Tak Tersampaikan
Theo dan Putri tidak bisa bercerita. Mereka tidak bisa menyusun kalimat untuk menjelaskan duka kehilangan induk. Namun, tubuh kecil mereka sudah cukup menjadi saksi bisu.
Pelukan erat itu adalah bahasa mereka. Mencari kehangatan dan kenyamanan. Setiap tangis di malam hari adalah kisah tentang kekerasan yang tak semestinya mereka alami. Induk ditembak dan mereka terenggut paksa.
Lirih Rondang bercerita, saat sudah cukup umur dan kemampuan, mereka pun dilepasliarkan. Ketika ia sedang meneliti perilaku adaptasi orangutan, Theo, Putri, dan setiap orangutan yang pernah dirawatnya, hanya duduk diam di sampingnya, menatap dalam diam. Seolah ada ikatan kenangan malam-malam panjang di antara mereka.
Namun, justru karena kedekatan itu, pencatatan data tidak pernah berhasil. Mereka terlalu tenang jika ada dirinya. Dengan berat hati, ia membiarkan asistennya yang mengikuti "anak-anaknya" itu, sementara ia sendiri mencari orangutan lain yang dilepasliarkan di hutan.
Kenangan kecil itu menjadi bukti bahwa ikatan antara manusia dan orangutan bisa terbentuk begitu dalam, meski pada akhirnya, tetap ada perpisahan yang tak terelakkan.
Theo serta Putri hanyalah dua dari sekian banyak bayi orangutan yang bernasib sama. Habitat mereka digusur demi lahan sawit atau tambang. Mereka dijadikan peliharaan lucu, dijual dengan harga tinggi di pasar gelap.
Orangutan tidak punya suara di meja rapat, tidak punya pena untuk menandatangani kebijakan, tidak punya ruang untuk membela diri. Mereka hanya punya kita, manusia, untuk menyampaikan suara yang hilang itu.
Suara mereka adalah jeritan tanpa kata. Sementara kita, kalau masih punya nurani, tidak bisa berpura-pura tuli.
Refleksi dan Ajakan
Setelah Theo, Putri, dan yang lain dilepasliarkan, kenangan saat menjadi 'ibu' tetap membekas dalam hati Rondang. Setiap tatapan mereka adalah bisikan tak terdengar, dan itu membawa kita ke satu pertanyaan yang lebih besar: "Apakah kita cukup peduli terhadap rumah mereka, hutan yang kita rampas sedikit demi sedikit?"
Krisis ini bukan cerita satu keluarga orangutan saja. Setiap tahun, lebih dari ratusan bayi orangutan kehilangan induknya akibat deforestasi, perburuan liar, atau perdagangan ilegal.
Bayangkan: satu hutan yang seharusnya dipenuhi suara alam, kini sunyi, karena generasi muda orangutan tak punya tempat bermain dan belajar.
Satu anakan orangutan masuk pusat rehabilitasi berarti ada satu induk yang mati karena anakan orangutan melekat erat pada induknya sampai umur kira-kira 5 tahun.
Setiap kehilangan berarti satu lagi retakan di jantung ekosistem kita. Menjaga orangutan bukan semata menyelamatkan satu spesies. Menjaga mereka berarti menjaga keseimbangan hutan tropis:Â paru-paru dunia yang memberi kita udara bersih, air, dan kehidupan.
Menjaga hutan bukan pilihan, melainkan kewajiban. Menghentikan perburuan bukan sekadar hukum, melainkan moral. Ketika hutan terakhir hilang, ketika suara orangutan hanya tersisa dalam buku pelajaran, kita tidak hanya kehilangan satwa, tetapi juga kehilangan keseimbangan hidup yang menopang kita.
"Miliaran dollar sudah mengalir untuk upaya konservasi, tapi yang terjadi populasi terus menurun dan habitat makin habis. Kenyataan di lapangan, di saat habitatnya berubah, satwa ini tetap terkalahkan dari keserakahan manusia." Keresahan Rondang menutup ceritanya.
Cukup Sudah!
Suara Theo dan Putri mungkin tak akan pernah terdengar. Tetapi kita bisa memilih untuk menjadi suara mereka. Suara yang lantang mengatakan, "Cukup sudah! Hutan harus tetap ada, orangutan harus tetap hidup!"
Mulailah dari langkah-langkah nyata ini
- Cek jejak produk: Peduli pada asal-usul produk yang kita konsumsi.
- Dukung aksi konservasi: Mendukung organisasi konservasi yang bekerja di lapangan.
- Stop perdagangan satwa: Menyebarkan kesadaran bahwa orangutan bukan "peliharaan lucu", melainkan makhluk liar yang berhak hidup bebas.
Suatu hari nanti, harapan kita bersama, anak cucu kita masih bisa melihat generasi orangutan berikutnya bergelayut lincah di pepohonan, karena hutan tanpa orangutan adalah hutan yang kehilangan jiwanya. Sementara kita, manusia, akan kehilangan bagian dari diri kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI