Curhat di Medsos, Fenomena 'Oversharing' Digital
Media sosial saat ini sudah jadi semacam "buku harian terbuka." Apa saja bisa ditulis: keluh kesah pekerjaan, komentar tentang politik, hingga persoalan rumah tangga yang sebenarnya sangat pribadi.
Di satu sisi, media sosial memberi ruang lega—kita merasa didengar, mendapat simpati, bahkan dukungan. Ada semacam kehangatan ketika orang lain menuliskan komentar: "Sabar ya, kamu kuat, kok."
Namun di sisi lain, curhat di ranah publik ibarat membuka jendela rumah selebar-lebarnya: membiarkan orang lain melihat bagian dalam yang seharusnya hanya milik keluarga.
Pertanyaan yang patut kita renungkan adalah: apakah semua hal memang pantas diumbar ke ranah publik? Apakah rasa lega sesaat sebanding dengan risiko menggores harga diri keluarga yang seharusnya kita jaga?
Memahami Pepatah Mikul Dhuwur Mendhem Jero
Dalam budaya Jawa, pertanyaan semacam ini sudah lama dijawab lewat sebuah pepatah yang sederhana, tetapi dalam: mikul dhuwur mendhem jero.
Secara harfiah, mikul berarti mengangkat, mendhem berarti mengubur, sementara dhuwur dan jero mengacu pada ketinggian dan kedalaman.
Filosofi ini mengajarkan keseimbangan: di satu sisi kita menjaga wibawa keluarga, di sisi lain tetap ada ruang untuk mengurai konflik.
Dalam praktik, artinya sederhana: tidak mempermalukan keluarga di depan umum, tetapi juga tidak mengabaikan kebutuhan untuk menyelesaikan persoalan.
Tradisi lisan Jawa awalnya menekankan filosofi ini pada hubungan anak terhadap orang tua. Anak dituntun untuk selalu menjaga nama baik orang tua, sekalipun ada luka atau ketidaksempurnaan.
Namun, bila ditarik lebih luas, nasihat ini juga sangat relevan untuk hubungan dalam keluarga kecil: suami-istri yang saling menutupi aib pasangannya, orang tua yang tidak mempermalukan anaknya, atau bahkan anak yang tetap menjaga harga diri saudara kandungnya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!