Maafkan kami, karena di balik gedung-gedung yang menjulang, ada pohonmu yang tumbang. Di balik ladang luas yang kami banggakan, ada tanahmu yang kering dan retak. Di balik gemerlap lampu kota, ada sunyi hutanmu yang makin pudar.
Sungguh, sahabat, andai kau bisa bersuara lantang, mungkin kami tak sanggup menahan rasa malu.
Bening Matamu, Cermin Hidupku
Sahabat hutan,
Di balik rasa bersalah itu, aku belajar sesuatu dari dirimu.
Ketika aku menatap matamu, aku menemukan sesuatu yang jarang kutemui dalam mata manusia. Ada keteduhan, kesabaran, ada kebijaksanaan yang tak terucap lewat kata-kata, melainkan dari diammu.
Kau seperti guru yang tak pernah berdiri di depan kelas, tetapi pelajarannya meresap ke dalam jiwa siapa pun yang mau memperhatikan.
Aku sering berpikir, barangkali kami yang menyebut diri manusia ini terlalu sombong. Kami menyangka lebih tinggi karena bisa menulis, berbicara, dan membangun kota.
Padahal, dari cara kau merawat anakmu dengan penuh kelembutan, kami belajar tentang kasih yang murni. Dari kesetiaanmu pada hutan, kami seharusnya belajar tentang rumah yang sejati.
Kau adalah cermin---memantulkan sisi yang seharusnya ada dalam diri kami: kesabaran, ketenangan, kebersahajaan. Namun, saat kami melihatmu, yang tampak justru ironi: betapa jauh kami melenceng dari hikmah itu.
Janji Kecilku Untuk Hutanmu
Sahabat hutan,
Meski luka yang kami torehkan begitu dalam, percayalah, tidak semua manusia menutup mata. Ada tangan-tangan yang berusaha menanam kembali pohon-pohonmu.
Ada jiwa-jiwa yang rela berjalan berhari-hari di hutan hanya untuk memastikan anak-anakmu selamat. Ada suara-suara kecil yang mencoba mengingatkan dunia, meski sering kalah oleh riuh mesin.
Aku ingin berjanji---bukan atas nama semua manusia, karena terlalu muluk untuk kuwakili. Namun, atas nama hati yang masih ingin belajar.