Kepada sahabat berhati sunyi di rimba, orang utan yang bijaksana,
Aku menulis surat ini sambil membayangkan matamu yang dalam---jernih sekaligus penuh rahasia. Kau bukan sekadar satwa, melainkan cermin yang memantulkan wajah kami, manusia.
Di setiap pelukanmu pada dahan pohon, aku melihat kesetiaan yang tak tergantikan; di setiap langkah pelanmu, aku belajar tentang kesabaran yang mulai hilang dari peradaban kami.
Sahabat, sejak dulu kau tinggal di hutan dengan tenang, seakan menyatu dengan desir angin dan aroma tanah basah. Kau adalah pustaka hidup yang diam-diam mengajari kami arti kebersahajaan.
Namun, kami---manusia---terlalu sering abai. Kami merambah rumahmu, menebangi atap rimba tempatmu bersarang, dan mengubah sunyi menjadi deru mesin.
Aku menulis bukan untuk membela diri, melainkan untuk meminta maaf. Maaf karena di balik kemajuan yang kami banggakan, ada tangismu yang tak terdengar. Maaf karena saat kau kehilangan pohon untuk beristirahat, kami justru menambah gedung untuk bermegah.
Maafkan Aku, Orangutan
Sahabat hutan,
Izinkan aku menundukkan kepala di hadapanmu. Karena tak ada alasan yang cukup untuk membenarkan apa yang telah kami lakukan.
Kami menebang pohon yang seharusnya menjadi tiang rumahmu. Kami membakar semak dan rawa, lalu meninggalkan abu yang menyesakkan paru-parumu.
Kami merampas ruangmu, lalu ketika kau terpaksa mencari makan di kebun atau perkampungan, kami menuduhmu sebagai pengganggu.
Maafkan kami, yang terlalu sering melihatmu hanya sebagai angka dalam laporan, bukan sebagai jiwa yang berhak hidup. Maaf karena kami lebih cepat menutup mata daripada mendengar tangisanmu yang sunyi.
Kau tak pernah meminta lebih dari sekadar tempat untuk bergelantung, sarang yang aman untuk anak-anakmu, dan pohon-pohon buah yang tumbuh tanpa gangguan. Namun, rakusnya tangan manusia tak memberi jeda.
Maafkan kami, karena di balik gedung-gedung yang menjulang, ada pohonmu yang tumbang. Di balik ladang luas yang kami banggakan, ada tanahmu yang kering dan retak. Di balik gemerlap lampu kota, ada sunyi hutanmu yang makin pudar.
Sungguh, sahabat, andai kau bisa bersuara lantang, mungkin kami tak sanggup menahan rasa malu.
Bening Matamu, Cermin Hidupku
Sahabat hutan,
Di balik rasa bersalah itu, aku belajar sesuatu dari dirimu.
Ketika aku menatap matamu, aku menemukan sesuatu yang jarang kutemui dalam mata manusia. Ada keteduhan, kesabaran, ada kebijaksanaan yang tak terucap lewat kata-kata, melainkan dari diammu.
Kau seperti guru yang tak pernah berdiri di depan kelas, tetapi pelajarannya meresap ke dalam jiwa siapa pun yang mau memperhatikan.
Aku sering berpikir, barangkali kami yang menyebut diri manusia ini terlalu sombong. Kami menyangka lebih tinggi karena bisa menulis, berbicara, dan membangun kota.
Padahal, dari cara kau merawat anakmu dengan penuh kelembutan, kami belajar tentang kasih yang murni. Dari kesetiaanmu pada hutan, kami seharusnya belajar tentang rumah yang sejati.
Kau adalah cermin---memantulkan sisi yang seharusnya ada dalam diri kami: kesabaran, ketenangan, kebersahajaan. Namun, saat kami melihatmu, yang tampak justru ironi: betapa jauh kami melenceng dari hikmah itu.
Janji Kecilku Untuk Hutanmu
Sahabat hutan,
Meski luka yang kami torehkan begitu dalam, percayalah, tidak semua manusia menutup mata. Ada tangan-tangan yang berusaha menanam kembali pohon-pohonmu.
Ada jiwa-jiwa yang rela berjalan berhari-hari di hutan hanya untuk memastikan anak-anakmu selamat. Ada suara-suara kecil yang mencoba mengingatkan dunia, meski sering kalah oleh riuh mesin.
Aku ingin berjanji---bukan atas nama semua manusia, karena terlalu muluk untuk kuwakili. Namun, atas nama hati yang masih ingin belajar.
Aku berjanji akan terus menuliskan kisahmu, agar namamu tidak sekadar tinggal dalam buku sejarah. Aku berjanji akan menyuarakan keberadaanmu, agar anak cucuku tahu bahwa kau pernah menjadi bagian dari bumi ini.
Janji yang ini mungkin kecil, tetapi nyata. Aku akan mulai dengan langkah sederhana: mengurangi kertas yang kubuang sia-sia, menolak tisu berlebihan, dan menjaga kebiasaan sehari-hari agar lebih ramah pada bumi.
Barangkali tak sebanding dengan pohon yang tumbang, tetapi semoga setidaknya menjadi tanda bahwa aku berusaha menepati janji pada sahabat hutan sepertimu.
Harapanku sederhana: semoga suatu hari nanti, hutan kembali bernapas lega. Semoga anak-anakmu bisa bergelantungan tanpa takut kehilangan cabang.Semoga manusia akhirnya mengerti bahwa menjaga kehidupanmu sama artinya dengan menjaga kehidupan kami sendiri.
Rimba yang kian menyempit, menjauhkan orangutan dari rumah sejatinya. (Foto: Reuben ST/Wikimedia Commons)
Pelukan untuk Rimba

Sahabat hutan,
Pada akhirnya, aku hanya bisa menitipkan doa dan janji sederhana dalam surat ini. Aku tahu kata-kata tidak bisa mengembalikan hutanmu yang hilang, tidak bisa menumbuhkan pohon yang sudah tumbang.
Namun, semoga kata-kata ini menjadi pengingat, bahwa masih ada hati yang ingin berusaha menjaga.
Wahai sahabat hutan, bertahanlah!
Doakan agar kami---manusia---segera belajar menjaga. Agar suatu hari anak cucu kami masih bisa menatap matamu, dan menemukan pantulan dirinya di sana.
Kami harus segera belajar, sebelum kau hanya menjadi cerita.
Dengan segala hormat dan kasih,
Seorang manusia yang sedang belajar rendah hati kepada alam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI