Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Pencinta tulisan renyah nan inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Tembang Tak Lelo Ledung Lebih dari Sekadar Lagu Tidur?

2 September 2025   06:25 Diperbarui: 2 September 2025   06:39 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di dalam pelukan dan lantunan doa ibu, anak menemukan sekolah pertama yang mengajarkan rasa aman dan cinta. (Foto: Edi Kurniawan/Unsplash)

Di banyak rumah Jawa tempo dulu, malam bukan hanya saat tubuh beristirahat, melainkan juga waktu bagi jiwa untuk dilapisi kasih sayang.

Di dalam keheningan, seorang ibu biasanya menggendong bayinya sambil melantunkan tembang pengantar tidur: "Tak lelo, lelo lelo ledung ...."

Suara lembut itu mengalun seperti doa, menenangkan anak sekaligus mengikat batin keduanya.

Tembang sederhana itu hadir bukan sekadar sebagai lagu pengantar tidur, tetapi juga sebagai bahasa cinta yang merawat jiwa, menyelimuti anak dengan kelembutan, dan menanamkan rasa aman sejak dini.

Namun, di tengah hiruk pikuk modernitas, di mana malam sering diisi oleh cahaya layar, adakah kita masih menemukan pemandangan itu hari ini?

Padahal, di balik lantunan tembang pengantar tidur tersimpan warisan nilai yang mendalam—sebuah pendidikan awal dari ibu, guru pertama bagi anaknya.

Bukan Sekadar Lagu Tidur Biasa

Sekilas, tembang "Tak Lelo Ledung" terdengar biasa saja, hanya lantunan berulang yang menidurkan anak. Namun di balik kesederhanaannya, tersimpan makna yang dalam.

Liriknya biasanya berisi doa dan harapan orang tua: agar anak cepat tidur, sehat, kelak menjadi pribadi yang berguna, dan jauh dari mara bahaya.

Lagu ini diciptakan oleh almarhum Markasan, seorang musisi keroncong dari Jawa Tengah yang memimpin Orkes Keroncong Aneka Warna. Pada era 1960-an, "Tak Lelo Ledung" dipopulerkan pertama kali oleh Waldjinah, penyanyi keroncong legendaris Indonesia.

Salah satu baitnya berbunyi:

"Anakku sing ayu (bagus) rupane, yen nangis ndak ilang ayune (baguse).
Tak gadang bisa urip mulya, dadiya wanita (priya) utama."

Kira-kira terjemahannya sebagai berikut:

"Anakku yang cantik/ganteng, kalau menangis nanti hilang cantik/gantengnya.
Kuharap kelak bisa hidup mulia, jadilah orang yang terbaik."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun