Jalanan Kota: Antara Rutinitas dan Realitas yang Pahit
Sore itu, jalanan kota tampak padat dan riuh. Namun di tengah hiruk-pikuk, ada pemandangan yang membuat langkah kaki terasa berat.
Jalur pejalan kaki yang seharusnya menjadi lajur aman, justru dipenuhi mobil pribadi yang parkir sembarangan. Angkot-angkot berderet seolah menjadikannya terminal pribadi, bukan sekadar tempat singgah.
Di sekitar area sekolah, trotoar pun berubah menjadi deretan lapak pedagang. Kehadiran mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan—mereka mencari nafkah.
Namun bagi pejalan kaki, pilihan seakan habis. Bertahan di trotoar berarti harus berdesakan; turun ke jalan raya berarti mempertaruhkan keselamatan. Sementara itu, garis kuning pemandu penyandang disabilitas terputus oleh tiang, kendaraan, dan dagangan.
Lalu, pertanyaan pun mengemuka: ke mana pejalan kaki harus melangkah?
Trotoar: Hak Dasar yang Sering Terabaikan
Trotoar adalah simbol kota yang ramah. Ia bukan sekadar beton yang ditinggikan, melainkan ruang aman bagi semua—anak-anak, orang tua, hingga kelompok difabel.
Garis kuning yang membentang di trotoar adalah lajur taktil—pengingat bahwa area tersebut ditujukan bagi mereka dengan keterbatasan penglihatan, dan bahwa warga lain wajib menjaga fungsinya tetap utuh.
Sayangnya, fungsi itu sering terampas. Jalur pejalan kaki kerap berubah menjadi arena rebutan kepentingan antara kendaraan dan pedagang. Ironisnya, area yang dirancang untuk melangkah justru membuat orang kehilangan hak untuk berjalan.
Antara Nafkah dan Hak Pejalan Kaki
Trotoar di kawasan sekolah sering menjelma menjadi akses ekonomi kecil. Pedagang hadir untuk memenuhi kebutuhan anak-anak sepulang sekolah sekaligus menopang nafkah keluarga. Kota pun tampak sebagai ruang bertahan hidup, bukan sekadar lalu lintas.
Namun, dilema muncul. Anak-anak terpaksa berjalan zig-zag di antara gerobak, orang tua menepi ke jalan raya yang berbahaya.Â