Menyalahkan pedagang jelas tidak adil, tetapi membiarkan trotoar kehilangan fungsinya sama saja mengabaikan hak esensial warga. Tantangannya adalah menata wilayah agar semua bisa hidup berdampingan—bukan sekadar melarang, melainkan menyeimbangkan.
Menemukan Titik Seimbang di Kota
Masalah trotoar mencerminkan lemahnya tata kota. Dibutuhkan keberanian untuk menata, bukan sekadar menyingkirkan. Beberapa langkah yang bisa ditawarkan adalah sebagai berikut.
- Penegakan aturan yang konsisten
Pemerintah daerah perlu menindak tegas parkir liar di trotoar. Penerapan tilang elektronik atau denda khusus bisa memberi efek jera. - Penyediaan ruang ekonomi alternatif
Sentra PKL di dekat sekolah atau halte bisa menjadi solusi agar pedagang tetap punya tempat mencari nafkah tanpa mengorbankan hak pejalan kaki. - Desain trotoar yang inklusif
Trotoar perlu dibuat cukup lebar, dengan jalur disabilitas yang tidak terputus. Pemasangan bollard atau pot tanaman di tepi trotoar bisa mencegah kendaraan naik seenaknya. - Transportasi publik yang tertib
Angkot atau bus harus berhenti di halte resmi, bukan sembarangan. Integrasi dengan aplikasi digital dapat membantu menata lokasi naik-turun penumpang. - Edukasi dan kesadaran warga
Kampanye publik perlu digalakkan agar pemilik kendaraan sadar bahwa parkir sembarangan berarti merampas hak orang lain. - Kolaborasi komunitas dan pemerintah
Komunitas pejalan kaki, disabilitas, hingga pelajar bisa dilibatkan dalam audit trotoar. Dengan begitu, pemerintah mendengar langsung kebutuhan nyata warga.
Sayangnya, pelanggaran itu sering dianggap "biasa" karena sudah menjadi kebiasaan. Padahal, kebiasaan yang merugikan tidak pernah bisa dibenarkan—apalagi jika taruhannya keselamatan.
Dampak Nyata dan Seruan Perubahan
Trotoar yang terampas bukan hanya soal ketidaknyamanan. Setiap langkah yang terpaksa mengalah berarti ada nyawa yang dipertaruhkan. Anak-anak, orang tua, hingga penyandang disabilitas adalah pihak paling rentan.
Trotoar bukan fasilitas tambahan, melainkan hak dasar warga kota: koridor untuk berjalan dengan tenang, tanpa rasa takut. Ketika kota gagal menyediakan trotoar yang layak, itu berarti kota sedang membiarkan warganya hidup dalam risiko.
Menjaga Ruang untuk Setiap Langkah
Persoalan trotoar bukan sekadar ranah fisik, melainkan cermin penghargaan kota pada warganya. Setiap meter yang direbut berarti ada hak yang diabaikan.
Kita bisa terus beralasan—sekadar parkir sebentar, sekadar menunggu penumpang, sekadar berdagang di pinggir jalan. Namun, selama alasan itu dibiarkan, pejalan kaki akan tetap menjadi korban.
Pertanyaannya sederhana: apakah kita rela terus tinggal di kota yang menomorduakan langkah warganya atau berani memperjuangkan ruang publik yang adil untuk semua?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI