"Makasih, Kak, enak banget kalau penumpangnya langsung siap. Kalau tidak, saya sudah dapat klakson panjang dari mobil di belakang."
Sapaan ramah itu datang dari balik kemudi mobil daring yang baru saja aku naiki di depan Stasiun Buaran. Di tengah hiruk-pikuk sore yang penat, ucapan sederhana itu membuat aku tertegun.
Aku memang sengaja bergegas mendekati mobil begitu melihat lampu sein menyala, agar tidak ada jeda yang merugikan. Bagiku, itu adalah hal kecil. Namun, bagi sang pengemudi, tindakan itu ternyata sangat berarti.
"Sama-sama, Pak. Saya pun tidak ingin klakson di belakang dikasih kesempatan ribut." Jawabanku membuat pengemudi itu tertawa kecil dan membuka percakapan yang mengalir.
Ia lalu berkata, "Sayangnya, banyak stasiun tidak menyediakan ruang sedikit pun buat mobil berhenti, ya, Kak. Padahal kalau ada jalur khusus menepi, semua orang bisa lebih tenang."
Waktu yang Sama Berharganya
Obrolan kami pun berlanjut. Pengemudi itu lalu berbagi sebuah cerita yang membuatku melongo. "Pernah, lo, ada customer pesan, padahal dia belum turun dari kereta. Masih satu stasiun lagi katanya. Jadi begitu sampai stasiun, saya harus menunggu entah berapa menit sampai dia benar-benar keluar."
Hatiku mencelos mendengarnya. "Kok tega, ya?" batinku. Waktu yang terbuang bagi driver bukan sekadar menunggu. Itu berarti kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penumpang lain, kehilangan potensi rezeki yang bisa ia dapatkan. Padahal, bagi para pengemudi, waktu adalah uang.
Seketika aku sadar, hubungan antara penumpang dan pengemudi bukan hanya transaksi biasa. Ini adalah simbiosis mutualisme yang menuntut etika.
Penumpang butuh diantar dengan aman dan nyaman, pengemudi butuh penumpang agar roda hidupnya terus berputar. Hubungan timbal balik ini hanya akan berjalan sehat jika ada rasa saling menghargai.