Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Tangisan Tak Selalu Tentang Hari Ini: Mungkinkah Itu Luka yang Belum Selesai?

30 Juni 2025   17:25 Diperbarui: 1 Juli 2025   10:31 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kadang tangisan bukan tentang hari ini. Mungkin ada luka lama yang akhirnya bersuara. (frankis_shen/Pixabay)

Percakapan dengan sahabatku yang kutuang dalam "Ketika Air Mata Sahabat Bercerita", menyisakan ruang renung dalam diriku. Waktu itu, ia menangis tanpa sebab yang jelas—hanya karena membaca puisi dan tulisan tentang inner child.

Lalu ... bagaimana dengan tangisan yang jelas penyebabnya?
Kekecewaan karena gagal, kehilangan orang terkasih, atau patah hati?
Rasa kesepian yang menggigit padahal kita tak benar-benar sendiri?
Menangis karena mendapat pujian padahal tampak bahagia?

Apakah air mata seperti itu hanya tentang momen yang sedang kita alami?
Ataukah sebenarnya, di balik setiap tetesnya, ada lapisan makna yang lebih dalam—lapisan yang menunggu untuk kita pahami dan peluk?

Pemicu Eksternal Bertemu Luka Internal
Putus cinta adalah bentuk kehilangan. Namun, bisa jadi, yang sebenarnya menggigil adalah rasa takut ditinggalkan—perasaan lama yang belum pernah sembuh.
Kegagalan mungkin tampak sederhana, tetapi rasa tak cukup, tak berharga, bisa jadi berasal dari ekspektasi yang dibebankan saat kita masih kecil.
Kesepian bisa hadir karena kita belajar menahan sunyi agar tak merepotkan orang lain.
Tangis karena dipuji bisa jadi karena rasa tak cukup mendapat pengakuan orang tua.

Kadang kita hanya tahu bahwa kita sedih, tetapi kita sendiri tak tahu mengapa bisa sedih sedalam itu. Kadang kita sendiri merasa, "Ini, kan, cuma gagal sedikit, kenapa aku rasanya sampai ingin menjerit?"; "Kenapa aku menangis, padahal aku harusnya bahagia karena pekerjaanku diapresiasi?"

Mungkin, pemicu hari ini justru mengetuk luka yang sudah lama menanti untuk disapa.

Air Mata Adalah Sinyal, Bukan Musuh
Tangisan sering kita artikan sebagai bentuk kelemahan, ketidakdewasaan, suatu hal yang seharusnya bisa kita tahan. Padahal ia adalah sinyal—suara tubuh yang mengatakan, "Aku butuh diperhatikan."

Tangis bisa datang tanpa kata, tanpa penjelasan logis, tetapi tubuh kita ingat, hati kita tahu ... dan bagian terdalam dari diri kita—diri kecil kita— mungkin sedang bersuara:

"Tolong lihat aku.
"Tolong dengarkan aku."

Jadi, ini bukan soal terlalu sensitif. Bisa jadi kita akhirnya cukup berani untuk merasa.

Menelisik Lapisan di Balik Air Mata
Air mata adalah mekanisme tubuh untuk melepaskan emosi. Ia bukan hanya reaksi, melainkan pembuka gerbang emosi yang mungkin sudah terkunci terlalu lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun