Catatan penulis:Bagian ketiga dari perjalanan menyapa inner child yang lama diam. Kali ini suara datang dari seorang sahabat. Suara lirih yang akhirnya menulis surat pulang untuk diri kecilnya.
Percakapan Seorang Sahabat
Seorang sahabat mengirim pesan. Ia menulis, baru saja membaca dua artikelku— “Pulang ke Rumah Hati” dan “Tentang Sebuah Gambar yang Tak Jadi Tercipta”.
Sebuah puisi dan ulasan yang mengajak menengok inner child—bagian kecil dari diri kita yang kerap terabaikan karena sibuk menjadi “dewasa”.
“Aku baca itu malam-malam,” katanya. “dan entah kenapa ... aku menangis.” Ia bilang, puisi itu sederhana, tetapi terasa seperti suara yang selama ini ia rindukan dalam diam.
Suara yang berkata: "Tak apa kamu sedih. Aku di sini."
Kalimat berikut yang ia sampaikan, membuatku diam cukup lama:
“Mungkin aku juga harus mulai menyapa aku kecil.
Meski ia tak hadir lewat emosi yang meledak,
tetapi setiap kali membaca hal seperti ini …
selalu ada sakit terasa,
selalu ada tetes di ujung mata.”
Pengakuan Lirih Seorang Sahabat
Setelah membaca pesannya, aku terdiam.
Ternyata, rasa itu juga dialami oleh sahabatku—
seseorang yang selalu terlihat periang, penuh tawa dan canda.
Aku terhenyak.
Mungkinkah banyak dari kita yang pernah menjadi anak kecil yang tak sempat menyuarakan rasa?
Yang terlalu cepat belajar mengerti sebelum sempat dimengerti?
Yang terlalu sering memendam, hanya agar dianggap kuat?
Lalu perlahan, ia mengaku—lirih dan jujur:
“Aku pikir aku sudah selesai dengan semuanya.
Tapi malam itu, aku tahu.
Ada bagian dari diriku yang belum pernah benar-benar kusapa.”
Penerimaan: Surat untuk Diri Kecil
Akhirnya, ia memilih untuk menulis surat.
Bukan untuk siapa-siapa. Hanya untuk dirinya sendiri.
Atau lebih tepatnya—untuk diri kecilnya, yang dulu tak sempat bicara.
Lalu ia mengirimkannya padaku, dengan satu pesan:
"Kalau kamu merasa ini bisa menjadi pelukan untuk orang lain juga, silakan bagikan."
Dengan izinnya, aku tuangkan kisahnya.
Karena, mungkin ini juga akan menyentuh kamu yang sedang membaca.
Tak apa kita pernah merasa sedih, tetapi hanya kita yang tahu.
Tak apa kita pernah ingin menangis, tetapi air mata tak kunjung mengalir.
Tak apa kita pernah marah hingga ingin berteriak keras, tetapi yang hadir justru senyuman di bibir kita.
Semua karena kita dituntut untuk menjadi bijak bestari.Kita terima kita pernah melewati semua rasa kita seolah tak berharga.
Kita terima kita pernah dituntut untuk menjadi anak yang kuat.
Kita terima semuanya sebagai bagian dari diri kita.
Kita rengkuh semuanya sepenuh kasih.
Kita peluk semuanya dengan hangat.
... kita tak perlu lagi meringkuk dalam kegelapan.
Jalan Pulang Itu Pelan, Tetapi Nyata
Sahabat,
Surat itu bukan akhir.
Bukan juga solusi.
Ini adalah awal dari keberanian untuk duduk—menemani rasa.
Tanpa memaksanya sembuh.
Tanpa menyuruhnya cepat-cepat kuat.
Karena, bagian kecil dalam diri kita itu—inner child kita—tak minta banyak.
Ia hanya butuh tahu bahwa kamu akhirnya datang.
Duduk di sebelahnya.
Dan berkata,
“Maaf, aku baru sempat menyapamu.”
Pada akhirnya, saat air mata bicara, mungkin ada bagian diri yang ingin disapa. Peluk diri kecilmu dengan seluruh kejujuran dan penerimaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI