Catatan penulis:Bagian ketiga dari perjalanan menyapa inner child yang lama diam. Kali ini suara datang dari seorang sahabat. Suara lirih yang akhirnya menulis surat pulang untuk diri kecilnya.
Percakapan Seorang Sahabat
Seorang sahabat mengirim pesan. Ia menulis, baru saja membaca dua artikelku— “Pulang ke Rumah Hati” dan “Tentang Sebuah Gambar yang Tak Jadi Tercipta”.
Sebuah puisi dan ulasan yang mengajak menengok inner child—bagian kecil dari diri kita yang kerap terabaikan karena sibuk menjadi “dewasa”.
“Aku baca itu malam-malam,” katanya. “dan entah kenapa ... aku menangis.” Ia bilang, puisi itu sederhana, tetapi terasa seperti suara yang selama ini ia rindukan dalam diam.
Suara yang berkata: "Tak apa kamu sedih. Aku di sini."
Kalimat berikut yang ia sampaikan, membuatku diam cukup lama:
“Mungkin aku juga harus mulai menyapa aku kecil.
Meski ia tak hadir lewat emosi yang meledak,
tetapi setiap kali membaca hal seperti ini …
selalu ada sakit terasa,
selalu ada tetes di ujung mata.”
Pengakuan Lirih Seorang Sahabat
Setelah membaca pesannya, aku terdiam.
Ternyata, rasa itu juga dialami oleh sahabatku—
seseorang yang selalu terlihat periang, penuh tawa dan canda.
Aku terhenyak.
Mungkinkah banyak dari kita yang pernah menjadi anak kecil yang tak sempat menyuarakan rasa?
Yang terlalu cepat belajar mengerti sebelum sempat dimengerti?
Yang terlalu sering memendam, hanya agar dianggap kuat?
Lalu perlahan, ia mengaku—lirih dan jujur:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!