Mohon tunggu...
Dita Widodo
Dita Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

1996 - 2004 Kalbe Nutritional Foods di Finance Division 2004 - 2006 Berwirausaha di Bidang Trading Stationery ( Prasasti Stationery) 2006-sekarang menjalankan usaha di bidang Travel Services, Event Organizer dan Training Consultant (Prasasti Selaras). 2011 Mulai Belajar Menulis sebagai Media Belajar & Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kompas adalah Penunjuk Arah, Bukan Komando Pastor

20 April 2014   04:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:27 2772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1397918274823750870

Sebuah kesempatan yang tak terlupakan, ketika suatu sore beberapa tahun silam saya diundang oleh seorang klien ke kantornya. Klien yang kemudian menjadi sahabat baik dan saya akrab memanggilnya dengan Mas Nn. Bapak dua anak itu bekerja di Kompas Gramedia Palmerah di bagian produksi. Kariernya yang telah menginjak usia15 tahun di perusahaan tersebut dan selalu memilih shift malam, menjadikan saya pun menemui beliau ketika matahari telah tenggelam.

Awalnya saya amat terheran-heran ketika beliau bilang ; “Selama hampir 15 tahun bekerja di sini saya belum sekalipun kerja siang. Pernah ditawari jam kerja siang, tapi saya sudah terlanjur nyaman dengan shift malam. Meskipun begitu, saya ndak seperti kalong juga. Tidak sepenuh hari saya tidur. Sebagian waktu saya pakai untuk bisnis kecil-kecilan. Memasok toples-toples kue ke para langganan. Sisanya ya buat tidur dan main sama anak.”

Hari itu mungkin mata saya baru terbuka. Bahwa ternyata di kolong langit ini, ada juga pilihan hidup yang demikian uniknya. Dan apa pun yang menjadi pilihan, jika dilakukan dengan suka cita, maka hasilnya juga adalah ‘bahagia’.

Maka raut wajah ceria dan gembira itulah yang saya dapatkan ketika beliau menyambut saya di ruang tamu kantor Kompas Gramedia Palmerah. Beliau lalu mengajak saya menuju ruang kantornya di lantai atas melalui lift. Dari situ ada semacam lorong cukup luas menyerupai jembatan, dimana di bawahnya terdapat  mesin-mesin produksi yang supercanggih. Kemudian ada ruang luas lainnya yang berisi gulungan besar kertas-kertas sebagai persediaan.

Tentu sebuah pemandangan luar biasa untuk saya yang baru masuk percetakan sebesar itu. Melihat gulungan polos masuk ke mesin lalu terlihat tinta aneka warna tercetak di sana, hingga lembaran itu terpotong-potong secara otomatis sungguh menakjubkan mata. Saya berujar : “Mas, ini super keren pabriknya! Pasti ini mesin super canggih yang digunakan ya!”

Dengan bangga Mas Nn menjawab : “Yak, benar. Mesin kami memang tercepat dan tercanggih se-Asia Tenggara. Diperlukan manusia-manusia yang cermat dan teliti sebagai operatornya. Karena bisa dibayangkan sekali buat kesalahan, berapa ribu eksemplar bakalan jadi korban dan menimbulkan kerugian bagi perusahaan ”.

Kunjungan pabrik yang tak pernah saya rencanakan. Dan sesuai instruksi yang tertera bahwa dilarang mengambil gambar, maka saya pun sudah harus cukup puas dengan mendapat kesempatan baik dengan pernah melihat proses produksi secara cuma-cuma :D

***

Dari dahulu, saya tidak pernah percaya dengan omongan miring sebagian orang yang pernah saya dengar tentang Kompas yang menurut mereka adalah singkatan Komando Pastor. Ketika itu saya hanya yakin bahwa surat kabar sekaliber Kompas, dimana menjadi icon koran di Indonesia, pasti mempunyai banyak kompetitor yang ingin menjatuhkan. Dan sebagaimana lagu lama, isu-isu sara seringkali digunakan oleh oknum-oknum yang tak sedia bersaing secara sehat dan jujur.

Selama ini saya melihat Kompas termasuk amat terpercaya, dengan penyajian berita-berita yang berimbang. Kompas juga dianggap sebagai media yang diakui kredibilitasnya di kalangan luas. Ukuran sederhananya begini. Jika sebuah iklan lowongan pekerjaan dimuat di harian Kompas, setiap kepala sudah akan berpersepsi ‘positif’ bahwa iklan itu memang benar adanya. Perusahaan yang beriklan juga perusahaan bonafide yang tidak akan main-main.

Namun tentang Komando Pastor itu, saya sekadar bereaksi mendiamkan saja. Lebih karena sebuah keyakinan bahwa berdebat tanpa ilmu adalah sebuah hal yang sia-sia belaka. Pun saya belum terpikir untuk mengklarifikasi sejarah Kompas Gramedia kepada Mas Nn klien saya itu, karena dari beberapa pertemuan yang pernah terjadi, kami sudah riuh membicarakan hal-hal yang amat menarik lainnya.

Pengalaman belasan tahun bekerja di media jelas mempunyai segudang cerita yang super menarik. Dari mulai menyingkirkan pesaing bisnis yang melakukan cara-cara tidak elegan hingga berbagai catatan riak yang pernah terjadi dalam perjalanan usaha itu, sebagai karyawan senior, ia memiliki banyak catatan tentangnya. Kesimpulannya bahwa sebuah kesuksesan usaha selalu mendapatkan tantangan sesuai dengan kapasitasnya menanggung resiko. Bila usaha dijalankan dengan professional dan memiliki karyawan yang berdedikasi tinggi, maka semua masalah mampu dihadapi dan perusahaan akan terus bergerak maju, bertumbuh dan membesar.

***

Sebagaimana hari-hari akhir pekan lainnya, hiburan termurah dan termudah kami adalah, mengunjungi toko buku langganan : Gramedia Matraman, atau Gramedia Mall Metropolitan Bekasi. Kebetulan keluarga kecil kami sudah cukup bahagia dengan menengok jendela dunia melalui buku, jika belum ada kesempatan menyusuri berbagai ranah yang memungkinkan untuk ditapaki. Membaca menjadi ruang meriah yang terus menyegarkan inspirasi dan membangun spirit bagi kami semua dalam menapaki hari yang berjalan.

Dan di dua pekan lalu, salah satu buku yang sampai ke tangan kami adalah : Jakob Oetama – Bekerja dengan hati. Buku cukup tipis berisi 188 halaman ini bertutur tentang seorang wartawan miskin yang berhasil menjadi konglomerat dunia ini layak disimak oleh siapa pun kita, yang adalah Bapak Jakob Oetama.

Buku yang diberi pengantar oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta – Sultan Hamengku Buwono X ini ternyata berisi banyak hal positif yang amat berguna untuk kita, para generasi bangsa tanpa kecuali. Terlebih bagi setiap kita yang memilih menjalankan usaha sendiri, atau berwirausaha.

Salah seorang tokoh penting dalam pendirian Kompas adalah Petrus Kanisius Ojong, sahabat yang dianggap guru oleh Pak J.O, panggilan akrab Pak Jakob Oetama.  Ketika Pak Ojong meninggal dunia di 31 Mei 1980, Jakob Oetama yang kini telah menjadi seorang konglomerat di dunia media itu benar-benar kehilangan sahabatnya hingga ia berujar ; “Orang inilah yang mengubah hidup saya”.

Di kota Magelang, 500meter sebelah timur Candi Borobudur inilah seorang Jakob Oetama, orang yang dianggap sebagai icon dunia jurnalisme di Indonesia pada 27 September 1931 dilahirkan. Menyimak perjalanan hidup JO, saya kembali teringat sebuah novel karya Budayawan Indonesia, Bung Prie GS yang berjudul Hidup Ini Keras maka Gebuklah!.

Soedirman itu jenderal, Soeharto juga jenderal. Keduanya dari desa. Soekarno itu presiden, Susilo Bambang Yudoyono juga presiden. Keduanya juga dari desa. Mereka semua, asalnya dari desa. Kesimpulannya, semua orang hebat adalah wong ndeso. Karena itu kamu jangan minder, meskipun kamu wong ndeso.”

Jakob Oetama pastilah juga satu di antara sekian orang desa yang mampu menjadi manusia hebat. Selain bisnisnya yang terus mengakar kuat dan meluas serta bertumbuh membesar, berbagai penghargaan telah diraihnya. Dari mulai gelar World Enterpreneur of the Year 2006 dari Ernst & Young, hingga penghargaan Doctor Honoris Causa dari UGM. Banyak pihak bahkan menyebut bahwa beliau layak diberi gelar Guru Bangsa.

Meski demikian J.O yang banting setir dari profesi seorang guru menjadi wartawan karena minatnya yang amat besar di dunia tulis menulis, dikenal amat sederhana dalam gaya hidupnya, amat rendah hati dan memiliki sifat ‘ngemong’ ( membimbing, mengayomi). Seperti  Yeni Abdurrahman Wahid yang mengakui termotivasi oleh kesederhanaan Jakob.
Saya terkesan akan kesederhanaan dan kesahajaan beliau, padahal beliau itu orang yang sangat mumpuni, mahaguru. Seperti dikatakan tadi, sosok yang luar biasa sekali pencapaiannya, semua orang mengakui, tetapi beliau tidak pernah besar kepala. Beliau ingin mengabdikan hidupnya untuk orang banyak, betul-betul jadi inspirasi bagi kita.”

Kompas Gramedia, usaha yang dirintis bersama sahabatnya itu memiliki pondasi yang kuat. Pondasi itu termuat dalam visi dan misinya : “Menjadi perusahaan yang terbesar, terbaik, terpadu, dan tersebar di Asia Tenggara melalui usaha berbasis pengetahuan yang menciptakan masyarakat terdidik, tercerahkan, menghargai kebhinekaan, dan adil sejahtera.”

Lalu darimana asal-usul nama Kompas sebenarnya? Buku ini bercerita dengan amat jelas. Ketika itu, tahun 1964, Jenderal A. Yani sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat mengusulkan supaya kalangan Katolik mendirikan sebuah harian atau surat kabar untuk mengimbangi kekuatan PKI saat itu. Saat itu hubungan PKI dan tentara tengah memburuk.

Menanggapi ide Jend. A. Yani, beberapa tokoh Katolik terkemuka seperti Ojong, Jakob, R.G. Doeriat, Frans SEda, Policarpus Swantoro, dan R. Soekarsono mengadakan pertemuan dengan beberapa wakil elemen hierarkis dari Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI). Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan untuk mendirikan Bentara Rakyat yang berarti pegawai rakyat. Dan keputusan it uterus bergulir kepada persiapan-persiapan, hingga akhirnya mereka menghadap Bung Karno.

Bung, kita sudah siap menerbitkan koran,” kata Seda.

“Namanya apa?” tanya Soekarno.

“Bentara Rakyat.”

“Boleh saya usul satu nama?” tanya Soekarno lagi.

“Boleh.”

“Saya usul namanya Kompas, artinya penunjuk arah,” kata Soekarno.

Usai pertemuan itu, Seda kembali ke kantor redaksi. Ia menceritakan hasil pertemuannya dengan Bung Karno. Dan kesepakatan redaksi nama Kompas digunakan sebagai pengganti Bentara Rakyat.

Penggantian nama itu mulanya memang menimbulkan banyak protes. Orang Medan waktu itu marah, sebab Kompas itu katanya identic dengan ngompas yang artinya memeras. Ada juga yang menjadi bahan olok-olok lantaran pendirinya Partai Katolik, sehingga Kompas diplesetkan menjadi Komando Pastor. Lainnya mengatakan Kompas artinya Komando Pak Seda. ( Jakob Oetama – Bekerja dengan Hati halaman 60-61 ).

Islam sendiri jelas-jelas dengan bening memberikan arahan ; “Ambillah hikmah darimana pun itu berasal”.
Maka,  siapa pun Anda, jika sedia membaca dengan hati buku ini, maka dengan jernih niscaya akan menemukan butir-butir mutiara hidup yang amat berarti.  Fokus dalam bekerja, gigih, ulet, sabar dalam berusaha, sederhana dan rendah hati meski berada di puncak sukses, bekerja dengan hati, dst. Ya, teramat banyak pembelajaran yang hanya memberi energi positif untuk terus berusaha berjuang menjadi sebaik-baik manusia menurut ukuranNya yang adalah manusia bermanfaat bagi sesama, terlebih bagi negeri ini.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun