Mohon tunggu...
Dita Widodo
Dita Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

1996 - 2004 Kalbe Nutritional Foods di Finance Division 2004 - 2006 Berwirausaha di Bidang Trading Stationery ( Prasasti Stationery) 2006-sekarang menjalankan usaha di bidang Travel Services, Event Organizer dan Training Consultant (Prasasti Selaras). 2011 Mulai Belajar Menulis sebagai Media Belajar & Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jalan Terjal dan Kisah Ipung

24 September 2012   16:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:47 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13485311591576844592

Ibarat sebuah perjalanan, tidak semua jalan itu selalu lebar, lurus dan mulus adanya. Seringkali mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, belokan dan jalan licin serta terjal itu tetap harus kita lalui juga. Beberapa problematika yang ada di depan dalam menggelindingkan roda usaha memang menjadi PR cukup serius buat saya dan team. “Sebenarnya kalau tidak bisa mengkotak-kotakkan masalah, pastinya aku sekarang ini sedang dipusingkan oleh beberapa hal..... A, B dan C.... Kadangkala kita melihat masalah di depan begitu pelik dan rumitnya. Tapi bagaimanapun, aku yakin bahwa benang kusut itu akan bisa kami urai, sebagaimana hari-hari yang telah lalu. Pada akhirnya, Allah seringkali membukakan pintu-pintu kemudahan dengan berbagai arah yang tak diduga sebelumnya. Dan inilah doa serta harapanku saat ini. Aku cukup yakin bahwa apa yang kami usahakan belumlah maksimal. Negoisasi terakhir belum dilakukan. Do’akan semoga minggu ini ada titik-titik terang bermunculan, dan aku bisa menyingkirkan satu per satu kerikil tajam itu yah Pak..... Di hadapanNya, tak ada sesuatu yang tak mungkin. Dalam genggamanNya, sesuatu yang sulit adalah mudah adanya...” demikian curhat saya pada suami yang segera berperan sebagai sahabat terbaik di sela-sela obrolan kami kemarin. Kesulitan dan kemudahan datang dan pergi, sebagaimana malam yang berganti siang terus berputar sepanjang waktu. Tak perlu sedih berlebihan di kala cobaan hidup menimpa bagaimanapun wujudnya. Dan bergembiralah sewajarnya saat sebuah kebahagiaan menghampiri kita. Ujian dan masalah itu memang kita perlukan, agar manusia dapat terus belajar dan menyadari kelemahan di depan Tuhannya. Dialah Allah SWT, tempat segala harapan dapat kita gantungkan, dan sebaik-baik sandaran bagi setiap manusia. Mungkin inilah fakta yang disodorkan dalam hidup Ipung, di cerita Hidup Ini Keras Maka Gebuklah karya Prie GS. Sebuah novel dengan bahasa sederhana yang menjadi teramat menarik buat saya. Beberapa buku lainnya yang baru saya baca sinopsisnya seperti Pembelajaran T.P Rachmat dan Tere Liye – Berjuta Rasanya serta Melukis Pelangi – Oki Setiana Dewi tertunda sebagai bahan diskusi kami mengisi hari-hari karena saya masih saja menikmati kegembiraan Kisah Ipung dengan alur unik dan berbagai kekonyolan yang memancing tawa. Kegembiraan yang saya ciptakan sendiri ternyata cukup ampuh membantu saya mengkotak-kotakkan masalah, agar semua jadi lebih terasa mudah dan ringan adanya. Maka, demi memenuhi sebuah niat untuk menyambung kisah yang terlanjur saya bubuhkan sebuah kata ’bersambung’ pada tulisan terdahulu http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/09/22/pijatan-dan-sebuah-refleksi-hidup-ala-ipung/, saya akan menamatkanya di sini. Sebelumnya diceritakan bagaimana seorang Ipung tidak hanya berada di jalan belokan nan tajam, licin dan berliku dalam hidupnya setelah kepindahan Paulin ke Singapura, tapi bak menghantam jalan berlubang yang hampir membuatnya terjatuh. Namun bukan Ipung namanya jika ia tak bisa bangkit sendiri. Bantuan kata dan kalimat motivasi yang biasa dibaca di buku-buku yang ia lahap mungkin hanya sekian persen bekerja. Selebihnya, karena pertolongan dan sandaran pada Allah, Tuhannyalah akhirnya ia dapat kokoh berdiri. “Seluruhnya tentang kota,  cuma mengajariku untuk melihat kampung ini secara lebih berharga!”, demikian Ipung bergumam saat ia pulang ke kampung halamannya sejenak untuk rehat dan menghilangkan segala kepenatan jiwanya. Surtini, gadis tetangganya yang diam-diam menaruh hati pada Ipung, seperti mendengar kabar paling menggembirakan saat mengetahui Paulin kini telah pindah ke Singapura. ”Mbak Paulin ke luar negeri? Tidak sekolah bareng Mas Ipung lagi?” Demikian Surtini ingin mengkonfirmasi pada Minarni, Ibu Ipung. Minarni menggeleng, ada raut kesedihan di sana, seolah merasakan duka yang tengah menimpa anak laki-laki satu-satunya itu. ”Langkah Paulin masih jauh. Langkah Ipung masih jauh. Langkahmu juga masih jauh. Kalau perlu Paulin ke luar negeri yang di sana, Ipung keluar negeri yang di situ, kamu juga harus keluar negeri yang di sini! Luar negeri kan banyak!” Minarni berusaha memberikan perlakuan yang adil pada gadis manis tetangganya yang selama ini memberikan pengabdian yang tulus pada keluarganya itu. Urusan memasak, mencuci piring, dan segala macam pekerjaan dilakukan Surtini dalam membantu Minarni, seolah-olah ia telah menjadi bagian dari keluarga itu. ”Ahh Bu Lik ini...Paling kalo saya ya jadi TKI” sahut Surtini tergelak. Giginya yang rata dan gingsul kecil itu memunculkan kecantikan alamiah yang nyaris sempurna. Minarni memeluk Surtini erat. Surtini merasakan kehangatan seorang Ibu yang sangat menentramkannya. Ia tersenyum hingga ke hati. Bukan karena ketulusan cinta Minarni kepadanya. Tapi betapa pun ia mencintai Ipung. Cinta, betapapun rapat disembunyikan, ia selalu mencari jalan. ”Kenapa tidak?” Ia memutuskan untuk tetap menyimpan perasaannya serapat mungkin, termasuk terhadap Minarni sekalipun. Sebagai seorang ibu, sebenarnya Minarni telah menangkap perasaan gadis itu meski tak seorang pun memberitahu. Hari masih pagi ketika knalpot mobil menderum berhenti di depan rumah Surtini. Peristiwa aneh yang belum pernah terjadi selama ini. Jika mobil berhenti di rumah Ipung, ia dan bahkan seluruh penduduk kampung itu sudah tidak akan heran lagi.... Terlebih setelah kejadian huru-hara pawai besar-besaran saat Ibu Ipung kecelakaan, meski hanya terserempet becak di pasar Klewer...:) Singkat cerita, rupanya yang datang adalah seorang duda muda bernama Dul Manan, yang berprofesi sebagai blantik ( pedagang sapi ). Telah lama ia berminat melamar Surtini sebagai istrinya. Saat Dul Manan dan Mbah Mandor ( pengantarnya ) mengutarakan niatnya, Pakde dan Budhe Warto, orang tua Surtini hanya bisa kebingungan. Dul Manan dan Mbah Mandor adalah dua pribadi yang paling disegani di Kepatihan. Anak-anak kecil sudah akan takut mendengar reputasi horor seorang mandor tebu yang dipanggil Mbah Mandor itu. Disiplin dan kegalakannya telah dikenal seluruh penjuru Kepatihan hingga desa-desa lainnya. Diceritakan Dul Manan rajin berfoto dengan para pejabat terkenal, artis terkenal, dukun terkenal dan kyai terkenal. Foto-foto itu lalu dipasang di seluruh dinding ruang tamunya. Maka dengan cuma memasuki rumahnya, orang akan segera mengerti reputasinya.... (wew....red :)) Bisa dipastikan, blantik sukses itu pulang dengan senyum penuh kemenangan. Ia berjanji akan datang lagi beberapa hari ke depan untuk menentukan tanggal pernikahan. Surtini bahkan belum mengetahui rencana itu karena ia malah memilih mencari perlindungan di rumah Minarni. Dua hari setelah kedatangan Dul Manan, dua rumah itu, rumah Minarni dan tetangganya, Pakde Warto atau rumah Surtini sunyi senyap seperti kawasan mati. Semua menunggu reaksi Ipung yang sangat diharapkan semua orang terkait masalah Surtini. Tiba-tiba, Ipung mengajak rapat berempat ; dirinya, Minarni, Lik Wur dan Surtini. ”Ibu, Lik Wur, dan kamu Sur,...”kata Ipung memulai. Semua tegang dan menunggu. Tak terkecuali Surtini yang sudah dari kedatangan blantik itu ke rumahnya, air bening seperti terus saja merembes dari kedua ujung matanya. Ia sudah mulai merasakan kematian awal sebelum kematian yang sebenarnya.” ”Lamaran Kang Dul Manan kepadamu sepenuhnya tergantung padamu” ”Ibu, Lik Wur, dan aku, tidak punya hak untuk melarang meski kami pasti tidak setuju” ”Sulit untuk tidak merasa bahwa kamu adalah anak ibu, keponakan Lik Wur dan juga adalah adikku!”. Meski kata adik tersebut cukup mengagetkan tidak hanya Minarni, terlebih adalah Surtini sendiri, mereka tetap mendengar Ipung dengan hikmat. ”Jadi Sur, semua tergantung keputusanmu. Jika kamu merasa siap jadi istri Dul Manan, jangan khawatir, aku sendiri yang akan menjadi penerima tamu!” kata Ipung. Di kesempatan normal, ini humor yang sulit untuk tidak tertawa. Tapi di kesempatan khusus ini Surtini malah menyambutnya dengan isak sebagai pembuka deritanya. ”Tapi sebetulnya aku tak perlu banyak tanya padamu. Bukan aku tak ingin, tapi karena kamu pasti tak punya jawaban. Bukan kamu tak bisa, tapi kamu tidak mau.” demikian Ipung terus melanjutkan kata-katanya yang keluar lebih dewasa dari usianya. ”Hidup di kampung, sederhanakan kata-katamu” keluh Minarni dalam hatinya. ”Teruss...terusss! Makin ngaco pidatomu, makin seru!”batin Lik Wur. ”Maka aku akan langsung saja. Dalam hatimu, kamu pasti menolak lamaran Dul Manan!” kata Ipung dengan mimik bahkan ibunya baru pertama kali melihatnya. ”Jika itu kata hatimu, dan jika kamu memang ingin pembelaan, aku akan membela sebagai kakakmu! Untuk itu aku akan menetapkan sebuah syarat, dan syarat itu tidak akan aku rinci, tapi akan kukatakan sambil jalan saja, sesuai dengan keadaan. Ia bisa berubah setiap waktu” Semua menghela nafas. ”Barangkali kamu ingin tau nDuk?” Lik Wur mencoba memecah keheningan. Surtini diam saja. Hanya isak tangis kecil sebagai jawabnya. ”Itulah kenapa aku tak perlu bertanya Lik” jawab Ipung dengan wajah datar. Lik Wur tersenyum lebar. ”Sikap pendiam seperti inilah yang membuat Dul Manan jatuh cinta!”  Kali ini Lik Wur tak dapat menahan tawanya. ”Apa tidak lebih baik Ibu juga tahu syarat-syarat itu” kata Minarni menetralisir keadaan. ”Syarat pertama dan mungkin utama” Semua tegang. Surtini terutama. ”Kami tidak boleh menolak lamaran itu!" Ketegangan yang mendadak berubah menjadi kekagetan bersama ”Maksudmu Pung?” ”Tak baik menolak seseorang yang telah meminta Bu, dan Lik Wur, juga Surtini,” jawab anak ini mantap. ”Ini buka tradisi Kepatihan. Dan bukan tradisi keluarga kita!” tambahnya. ”Terus?” kini Lik Wur tak tahan untuk tidak bertanya. ”Surtini tidak menolak, cuma memasang syarat untuk perkawinannya!” Semua mendesah lega. ”Tapi kalau syarat itu tak masuk akal, kita bisa dianggap menghina” sergah Lik Wur. Minarni terkesiap. Adiknya itu memang cerdas. Karena itu serupa dengan pertanyaannya ”Sementara kalau syaratnya ringan saja, dan Dul Manan sanggup membayarnya, syaratmu itu akan percuma saja!” semua terwakili pertanyaannya. ”Namanya juga usaha!” kata Ipung enteng, namun ingin berdebat dan bertahan. ”Kalau berhasil ya Alhamdulillah, kalau gagal ya nasib. Berarti Surtini memang berjodoh dengan Kang Dul Manan!” ”Syarat selanjutnya, jangan menunggu Dul Manan datang untuk yang kedua. Pakdhe Warto dan Surtini sendiri yang harus mendahului datang ke rumahnya!” Seluruh ruangan kaget lagi. Ini ide gila untuk seukuran tradisi Kepatihan. ”Pung?” sergah Minarni ”Bu. Setiap usaha butuh keyakinan” kata Ipung lunak dan becanda. ”Dul Manan menyerang di jantung pertahanan musuh tepat saat kita lemah. Kita akan mengembalikan serangan balik dengan cara yang sama sekali tak ia duga!” Ibunya tersenyum. Lik Wur bersorak. Surtini bingung. ”Bayangkan, diserang tapi bikin bahagia. Surtini datang ke rumahnya untuk menerima lamarannya, tetapi dengan syarat bahwa Dul Manan harus menunggu sampai Surtini lulus SMU!” Ide yang langsung membuahkan peta di setiap kepala. ”Ada tiga tahun setidaknya, waktu tunggu yang masuk akal. Malah kalau Surtini ingin lebih lama, bikin saja sekolahnya nunggak tiap tahun. Biar Dul Manan mati kaku!” Semua tertawa, senyum pertama Surtini mulai merekah. ”Jadi Sur” lanjut Ipung. ”Pakai baju terbaikmu. Ajak Pak Dhe dan Bu Dhe Warto mendampingi. Ketuk pintu rumah Dul Manan yang megah itu. Bertamulah esok pagi, pada saat yang dia tidak menduga seperti dia bertamu ke rumahmu. Ini bukan balas dendam. Tapi sekadar hubungan timbal balik.” Lik Wur tersenyum. Minarni ngeri. Surtini belum habis mengerti. “Tak perlu kamu risaukan bahwa kedatanganmu kurang ajar. Dul Manan datang ke rumahmu dengan percaya diri karena ia bermaksud baik. Kamu datang ke rumahnya juga harus percaya diri, karena maksudmu baik. Bayangkan bukan cuma menerima lamarannya, tetapi malah langsung mengantar sendiri ke rumahnya!” Lik Wur tergelak dalam hati. ”Kedatangan Kang Dul Manan ke rumah kita telah menggegerkan kampung ini dengan keluarga kita sebagai orang dungu dan seolah-olah tak berdaya. Kini buktikan, kalau kamu bisa ganti mendatangi rumahnya sebagai orang yang tak kalah berdaya!” Surtini mulai merasa terbela. Ia merasa berharga. “Dan ingat. Kita tidak sedang membalas dendam. Kita datang menawarkan sepenuhnya kebaikan. Kamu menerima lamarannya. Ia menerima syaratmu. Tak lebih! Tak ada yang keliru!”  Semua terdiam. ”Tapi kalau ternyata ia menunggu?” sela ibunya lunak. ”Ia pasti menunggu. Kalau kuat, itu nasib Surtini. Tapi ada setidaknya tiga tahun untuk melihat apakah rencana ini takdir atau bukan!” ”Dan Sur...Pak Dhe dan Bu Dhe Warto hanya mendampingi. Titik. Hanya mendampingi. Tapi kamu sendiri yang harus bicara!” ”Kamu bicara dengan gaya yang baru. Bukan gaya Surtini yang cuma lulus SMP lalu berhenti. Tapi Surtini yang bersiap masuk SMU, siap kuliah dan menjadi mahasiswi, nanti!” Surtini menahan nafas. Mahasiswi, dunia yang jauh di sana, di cakrawala. ”Dan Dul Manan tak akan menduga kalau sekolahmu bukan sekedar SMU terbelakang, tapi di Semarang. SMU Budi Luhur, SMU-ku yang hebat itu. Kamu akan satu sekolah dengan Ipung yang terkenal ini!” Sekali ini semua meledak dalam tawa lepas. ”Sebagai calon siswa Budi Luhur, begini nanti katamu pada Kang Dul Manan. Aku terima lamaranmu Mas, meski belum ada mas kawinmu!” Tawa meledak lagi. Minarni menggosok matanya. ”Tatap mata lelaki itu. Jangan angkuh, tapi jangan grogi. Biasa saja. Tapi bicaralah. Jangan menunduk terus. Duduk rileks. Tenang tapi tangguh. Jika Dul Manan menawar, dengarkan. Tapi jangan hiraukan. Satu keputusanmu. Kamu menerima lamarannya, tapi dia harus menerima syaratnya. Tak ada yang harus terluka. Bahkan seluruh dunia pun akan setuju jika kamu tanya!” ”Dan yang terpenting....” Semua menunggu. ”Kedatanganmu yang sendiri, cuma dengan orang tuamu, akan memberitahukan kepada seluruh warga Kepatihan bahwa kamu bukan keluarga Minarni. Kamu memiliki jalan hidupmu sendiri yang kami tidak mencampuri. Soal kamu menerima atau menolak, atau malah sekolah lagi, itu sepenuhnya pilihanmu sendiri!” ”Tapi Pung...” Lik Wur meningkahi. ”Kalau kemudian Dul Manan tahu skenario ini?” ”Lik, kita menyekolahkan Surtini, sama bolehnya dengan Dul Manan melamar Surtini. Soal kenapa waktunya berbarengan, itu nasib saja!” Gelak tawa lagi.... Ipung berinisiatif untuk membayar biaya sekolah Surtini dengan sebagian uang honornya sebagai jurnalis di majalah MM. Di episode sebelumnya diceritakan, semua honor dikirimkan langsung dari media tersebut ke Minarni di kampungnya melalui post. Hingga si Pak Pos sangat hafal jadwal kiriman Ipung. Minarni yang mengaku membiarkan anaknya semaunya sendiri ( tentu dengan nada bicara yang merendah) sempat menimbulkan rasa iri pada tukang pos karena menengok anaknya sendiri. Sama-sama dibiarkan, kok hasilnya berbeda...tidak seperti Ipung yang bisa membayar sekolahnya sendiri, bahkan mengirimi ibunya dengan wesel-wesel hasil honor menulisnya. ”Sekarang...latih dulu gerakanmu” Semua kaget. Antara serius dan bercanda sudah tidak bisa dibedakan lagi. ” Ayo berdiri..! Ini serius jangan dikira aku sedang bercanda. Setiap tubuh orang susah, orang malu, orang cari utang itu berbeda-beda. Kamu harus memilih sikap tubuhmu!” Wuryanto tentu saja kaget melihat keponakannya semaju ini. Tapi buat Ipung, hal itu sederhana saja. Ia mendapatkan semua cukup dari membaca buku-buku motivasi yang banyak jumlahnya itu. ”Ayo berdiri! Jalan! Ini perintah!” Demikianlah, Ipung berhasil mengeluarkan Surtini dari masalah besar yang menimpanya. Serangan balik yang sukses besar itu akhirnya membuahkan hasil yang tak terkira. Dul Manan membatalkan lamarannya, hanya karena ia sudah dihantui berbagai prahara kebangkrutan jika harus membiayai sekolah Surtini di kota Semarang. Dan itu masih dilengkapi berbagai ketakutannya jika harus menanggung biaya hidup adik-adik Surtini, termasuk biaya rumah sakit Pakde Wur yang dalam bayangannya akan dioperasi karena sakit kanker bercampur penyakit kronis lainnya. Tentu saja itu hanya lamunan seorang yang telah jatuh mental dan mendapat pinalty kick dari Surtini dengan tanpa ia sadari. Karena motivasi seorang Ipung, kelak Surtini benar-benar dapat bersekolah di Budi Luhur. Tidak diceritakan bagaimana lebih lanjut mengenai Surtini sebenarnya, namun jelas ditekankan bahwa Ipung menganggap Surtini sebagai saudara atau sebagai adiknya, tidak lebih dari itu. Di akhir cerita, Ipung juga tidak kembali pada Paulinnya. Ia mendapatkan ganti sesosok gadis cantik anak kota dengan wajah yang lebih cantik dari Paulin, bernama Ayunda. Seorang siswi pindahan dari Jakarta, karena sang ayah melebarkan sayap bisnisnya di kota Semarang. Itupun dikisahkan dengan sangat kocaknya. Suatu hari Ayunda terpaksa harus mengakui bahwa ia tertarik dan jatuh hati pada Ipung, si cowok kerempeng namun cerdas dan penuh kejutan. Ayunda, gadis yang telah menerima surat cinta dari teman-temannya hingga guru muda di Budi Luhur 5x hanya dalam hitungan seminggu, akhirnya harus mengakui ketertarikannya pada cowok ganjil bernama Ipung. Maka, diantar Marjikun, ia menyusul Ipung ke kampungnya karena saat itu Ipung sedang mudik. Masih seperti biasanya, Minarni, Ibu Ipung yang mudah grogi dengan kedatangan wanita cantik luar biasa dari kota, lama sekali ia membuka pintunya. Kedua wanita itu terdiam. ”Ibu, ini Ayunda...calon menantu Ibu.” Kata Ipung kalem. Ayunda gemetar....antara marah dan menahan tangis. Dan Ibu Ipung masuk ke dalam rumah begitu lama. Bukan karena sedang sibuk membuat minuman, tapi sibuk menata hati dan menggigil dengan tangis yang keras ; ”Kalau ibumu mati Ipung, aku akan mati dengan mata merem. Bocah itu cantik sekali. Koyo peri. Seperti londo. Dan kalau dia mau menjadi menantuku kelak, pasti bukan karena kekayaanku, karena ketampanan anakku. Karena kedua hal itu pasti tidak ada di sini. Kita bukan wong sugih. Kamu Ipung, juga tidak keren-keren amat. Sejak kecil malah ibu khawatir kamu ini malah bocah cacingan. Kalau ibu bangga padamu, itu lebih karena kamu adalah anak ibu. Ganteng tidak ganteng, gemuk atau kurus, ibu tidak urusan!” ( he he he, gueebleknya setara anaknya bukan...? red) ”Aku tidak pernah ingin jadi pacarmu” kata Ipung pada akhirnya. ”Karena menurut guru agama di kampungku, pacaran itu haram hukumnya. Itulah sebabnya tadi aku katakan ibuku, engkau adalah calon menantuku. Aku tak mau kau jadi pacarku. Tapi aku igin kau jadi istriku. Jauh-jauh kau datang dari Semarang ke Kepatihan ini, sepagi ini, untuk apa kalau sekadar hanya menjadi pacarku? Menempatkanmu sebagai calon istriku adalah penghormatan yang setimpal atas pengorbananmu ke sini. Aku melamarmu di sini. Jika tidak kau terima, cukuplah kau jadi temanku,” lanjut Ipung. Ia nyerocos tapi tenang. Tenang tapi mengancam. Degg!! Ayunda terperanjat. Kaget, pasti. Cowok gila, pikirnya. Ia marah tapi bahagia....Bahagia tapi marah....( weleh-weleh....gubrak deh! :):) red) Demikianlah...sekecil apapun hikmah yang dapat diambil, semoga kisah Ipung yang berturut-turut saya tuliskan dimana sebagiannya saya jiplak mentah-mentah demi mengurangi resiko tidak sampainya pesan yang diharapkan si penulisnya, semoga bisa membuat Anda terhibur karenanya. Sebab saya percaya bahwa membuat orang lain bergembira, sejatinya adalah menciptakan kegembiraan buat diri kita sendiri juga... :):)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun