Dunia yang kita diami ini tak pernah luput dari keganasan terorisme. Kita dapat menyaksikan langusng lewat siaran tv atau membaca langsung lewat koran dan media sosial beberapa waktu yang lalu di Makasar, tepatnya di depan Gereja Katedral Makasar telah terjadi ledakan bom bunuh diri. Pelakunya tewas dan belasan orang (14 orang) luka-luka.
Bom bunuh diri ini dilakuakn oleh sepasang suami istri yang beberapa bulan (enam bulan) lalu baru saja menikah. Tujuan mereka meledakan bom berserta dirinya tak lain ialah demi mati syahid. Hal itu diketahui lewat surat wasiat yang ditulis salah seroang pelaku kepada keluarganya, bahwa mereka siap mati syahid.
Pelaku terorisme tidak seorang diri, ia selalu bersama orang lain bahkan orang yang ia cintai, suami atau istri. Kenyataan ini merupakan jaringan yang luas. Mereka tersebar di mana-mana. Bisa jadi tetangga kita yang kita nilai baik, rajin beribadah, bersedekah, bertanggung jawab terhadap keluarga adalah bagian dari jaringan terorisme.
Mereka bahkan orang-orang yang berpendidikan, kaya, punya segalanya, beragama. Baru-baru ini (Rabu, 31 Maret 2021) di Kantor Mabes Polri seorang yang juga masuk dalam jaringan terorisme berusia 25 tahun dan berinisial ZA berusaha menyerang. Pelaku adalah seorang wanita cantik dan berpendidikan tetapi mengapa menjadi teroris?
Pertanyaan ini secara tidak langsung menarik kita pada sebuah kesimpulan bahwa fenomena nihilisme telah mejadi bagian dari keseharian hidup kita. Pelakunya bukan orang bodoh, tetapi kaum berpendidikan. Bukan tak beragama, tapi beragama.
Indonesia adalah bangsa yang beragam terdiri dari banyak agama, budaya, etnis dan suku. Kuat dalam tradisi religiusnya. Menggema dalam dialog tentang nilai-nilai luhur agama. Namun, kita tidak dapat mengelak kenyataan nihilisme hadir dengan atribut keagamaan.
Berbicara tentang agama berarti juga berbicara tentang hubungan agama dengan negara atau agama dengan ideologi. Issu agama merupakan issu yang sangat sensitif, lebih-lebih bila dikaitkan dengan negara. Sejak dulu hubungan agama dan negara selalu menjadi dilema, baik dalam lingkup nasional mau pun internasional.
Terorisme hadir dengan membawa kebanggaan terhadap agama menjadi emblem 'bungkus suci'. Inilah kenyataan nihilisme terrorisitik. Penghancuran terhadap nilai-nilai luhur agama, moral dan kebenaran metafisik yang telah sekian lama memberikan rasa aman dan kepastian kepada manusia membawa konsekwensi langsung: kegamangan, kekosongan, kegalauan, ketiadaan arti bagi sekian banyak orang.
Ketiadaan arti demikian meledakkan rasa marah, brutal, kecewa, masa bodoh dan akhirnya bermuara pada ketidakpercayaan. Kekecewaan karena telah merasa dibodohi dan dibohongi membuat orang bungkam dan lenyap keyakinan dan pegangan; kekecewaan adalah salah satu sebab utama nihilisme.
Terorisme adalah nihilisme! Terorisme adalah akibat langsung dari penyingkapan terhadap ilusi-ilusi tentang dunia atas dan segenap sistim nilainya. Pelakunya tidak peduli dan masa bodoh terhadap martabat dan hidup orang lain. Teroris tidak peduli jika orang lain mati, justru ketika melihat korban mati mereka bersorak karena telah berhasil. Mereka berhasil dengan cara mati syahid.
Narasi nihilisme -- terrorisitikÂ