Mohon tunggu...
Diah Prasetyanti Utami
Diah Prasetyanti Utami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 PJJ Komunikasi Universitas Siber Asia

Penikmat film, sastra dan dunia kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eksistensi Film Indonesia Sebagai Aset Soft Power Diplomacy Pada Era Double Disruption

28 Juli 2021   23:45 Diperbarui: 29 Juli 2021   20:51 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Garin Nugroho di set lokasi shooting Film “Generasi Biru” (Courtesy of SET Film tahun 2009)

Tapi kemudian datanglah pandemik Covid19 yang menghantam keras industri film Indonesia. Menurut Rhenald Kasali perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengubah lingkungan dan perilaku manusia. Dinamika perubahan itu makin cepat ketika teknologi informasi semakin bertumbuh. Kita pun masuk pada era disrupsi.

Ketika sebagian di antara kita masih berusaha beradaptasi dengan perubahan besar akibat teknologi, kita dihadapkan lagi pada perubahan besar yang dipicu pandemi Covid-19. Inilah yang disebut Era Double Disruption.

Setidaknya kecepatan produksi film Indonesia merosot hingga 40 persen dikarenakan keharusan hidup berdampingan dengan Covid19 serta munculnya 'adaptasi kebiasaan baru'. Adaptasi kebiasaan baru mengharuskan proses produksi film mematuhi protokol kesehatan ketat, aturan PSBB yang membuat perizinan shooting menjadi semakin sulit, kewajiban tidak boleh adanya kerumunan (padahal dalam produksi film biasanya melibatkan sejumlah besar crew dan pemain hingga bisa mencapai 50 orang). Belum lagi dengan penutupan bioskop yang memaksa produksi film harus beralih ke platform digital, sementara belum semua insan film siap secara kreatif terlebih dengan biaya produksi yang semakin ditekan akibat persaingan dan menurunnya investasi di industri film. Bahkan sejak adanya PPKM Darurat Jawa-Bali yang dimulai pada 3 Juli 2021 yang diperpanjang hingga 2 Agustus 2021 kembali membuat seluruh produksi shooting film di Indonesia terhenti.

Infrastruktur Pemerintah terkait regulasi platform digital juga belum tegas. Film-film kita belum terkurasi dengan baik, makin mudah dan maraknya pembajakan akibat cairnya ruang peretasan data di internet. Kendala-kendala ini meski sigap diatasi oleh semua stakeholder dalam industri film Indonesia. Kabar baiknya, migrasi film ke platform digital ini justru memberi efek positif yaitu memperlebar akses dunia global terhadap film-film Indonesia. Hal ini disebabkan distribusi berbasis internet membutuhkan waktu yang relatif lebih singkat dan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan distribusi konvensional.

 

'Local Go Global' Sebagai Aset Soft Power Diplomacy

Mengutip apa yang dinyatakan Nye, Jr. bahwa power adalah “the ability to influence the behavior of others to get the outcomes one wants”. Masih menurut Nye, ia membagi kategori power ke dalam tiga kategori, yaitu soft power, hard power dan smart power.

Soft power adalah kemampuan suatu negara atau pihak untuk membujuk pihak lain melakukan apa yang diinginkannya tanpa menggunakan paksaan (coercion), ancaman (threats), terlebih sogokan (bribes). Aspek soft power diantaranya adalah penyebaran nilai-nilai budaya, dialog ideologis, upaya-upaya untuk mempengaruhi pihak lain dengan contoh yang baik, dan ajakan untuk menerima nilai-nilai kemanusiaan yang diyakini suatu negara.

Isu ideologi di berbagai bidang seperti lingkungan, pariwisata, terorisme, kesehatan, Hak Asasi Manusia (HAM), kemiskinan, dan lain lain untuk dapat menjadi target dari diplomasi dalam hubungan internasional. Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia perlu menunjukkan keberpihakan yang nyata dalam nilai-nilai yang diyakini bangsa ini ke mata dunia. Dan itu hanya bisa diwujudkan melalui strategi soft power diplomacy, dengan film menjadi salah satu aset penting dalam menyebarkannya.

Keseriusan Pemerintah dalam mendorong pemulihan industri film Indonesia pada era double disruption ini akan menjadi nafas panjang yang menghidupkan kembali film Indonesia yang koma karena pandemik Covid19. Dengan begitu insan film Indonesia dapat terus bertumbuh menghasilkan film yang mampu bersaing di pasar global yang secara tidak langsung menjadi sarana diplomasi demi meningkatkan hubungan yang lebih harmonis di dunia internasional. Selain itu juga akan mendorong peran film sebagai media literasi dalam rangka menjaga orisinalitas dan eksistensi nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia agar terus hidup bagi generasi penerus yang terus digempur arus informasi dan budaya asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun