Mohon tunggu...
Diah Prasetyanti Utami
Diah Prasetyanti Utami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 PJJ Komunikasi Universitas Siber Asia

Penikmat film, sastra dan dunia kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eksistensi Film Indonesia Sebagai Aset Soft Power Diplomacy Pada Era Double Disruption

28 Juli 2021   23:45 Diperbarui: 29 Juli 2021   20:51 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Garin Nugroho di set lokasi shooting Film “Generasi Biru” (Courtesy of SET Film tahun 2009)

Ini salah satu rahasia Film "Parasite" berhasil meraih penghargaan film terbaik di ajang penghargaan bergengsi Piala Oscar 2020. Sangat kontradiktif dengan perwakilan Indonesia yang minim dukungan Pemerintah. Mengutip pernyataan pengamat film Hikmat Darmawan bahwa Negara mengirimkan film, mengumumkan secara resmi, tapi di sisi lain tidak serius mendukung kegiatan yang harus dilakukan untuk mempromosikan film Indonesia di ajang Oscar 2020. Hal ini semacam dukungan yang setengah hati.

Unsur kolaboratif juga tidak boleh menafikan peran kritikus film. Indonesia masih kekurangan kritikus-kritikus berskala internasional yang mengulas tentang film-film Indonesia agar film Indonesia bisa dikenal dan mendapat stimulus untuk memperbaiki diri.

Keempat, masih kurangnya regenerasi sineas-sineas perfilman Indonesia. Hal ini juga berhubungan dengan masih minimnya literasi, sekolah perfilman, festival film lokal yang berkelanjutan di Indonesia. Sehingga industri film kita masih saja dalam ceruk kecil dengan istilah 4L (Lu lagi, Lu lagi) karena kurangnya percepatan regenerasi.

 

New Wave of Indonesia Cinema

Munculnya nama seperti Edwin, Joko Anwar, Mouly Surya, Kamila Andini yang digadang-gadang sebagai ‘New Wave of Indonesia Cinema’ setelah memenangkan beberapa penghargaan dalam sirkuit festival film internasional hingga tahun 2019, memang menjadi semacam ‘gula-gula’ dalam pahitnya perjuangan insan film Indonesia dalam mengukir peta dunia baru film Indonesia.

Film Indonesia yang berhasil memberi nafas baru dalam industri film Indonesia antara lain,

  • Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017). Mouly Surya membuktikan bahwa film dengan unsur lokal yang sangat kental namun dikemas dengan isu global dapat membawa nama Indonesia harum di kacah film dunia. Film ini tayang di 19 negara dan memenangkan 17 penghargaan, salah satunya Festival Film Sitges, Tokyo FILMeX, QCinema International Film Festival.  
  • Sekala Niskala (2017). Film karya Kamila Andini antara lain ditayangkan di Busan International Film Festival, Toronto International Film Festival dan menyabet penghargaan sebagai Best Feature 2017 di Asia Pasific Screen Awards dan Tokyo FILMeX.
  • Babi Buta yang Ingin Terbang (2008). Film garapan sutradara Edwin ini berhasil meraih penghargaan di Golden Horse Film Festival, Rotterdam International Film Festival, Singapore International Film Festival.  
  • Kucumbu Tubuh Indahku (2018). Film garapan sutradara Garin Nugroho ini meraih penghargaan di Venice Independent Film Critic dan Asia Pacific Screen Awards.
  • Pengabdi Setan (2017). Film ini berhasil menjadi film horor terlaris pertama pada 2017. Film karya Joko Anwar ini tidak hanya berhasil di tanah air, melainkan juga di 42 negara lainnya. Pengabdi Setan meraih beberapa penghargaan internasional seperti Film Horor Terbaik di ajang Toronto After Dark Film Festival, Overlook Film Festival, dan Popcorn Frights Film Festival.

Tapi itu saja belum cukup karena majunya industri film Indonesia membutuhkan kerja kolaborasi dan optimalisasi peran berbagai pihak. Bukan hanya bertumpu pada insan atau sineas film Indonesia semata. Membangun dan memperbaiki ekosistem film di Indonesia menjadi satu hal yang tak boleh dibantah demi meningkatkan citra Film Indonesia di mata dunia. Mengulang apa yang dikatakan Garin, negara kita butuh setidaknya lima sampai enam sutradara yang konsisten berkarya tanpa henti selama minimal 10 tahun.

Hantaman Era Double Disruption

Tahun 2019 setidaknya menjadi semacam harapan baru bagi kemajuan film Indonesia. Mengutip pernyataan Wakil Kepala Bekraf, Ricky Pesik dalam artikel katadata.co.id bahwa pertumbuhan jumlah penonton di bioskop Indonesia sangat pesat, mencapai 230 persen dalam lima tahun terakhir.

Selain itu, jumlah layar di studio juga tumbuh cepat dari 800 layar lebar (screen) menjadi 1.800 layar dalam tempo tiga tahun terakhir. Karena itu, tidak mengherankan jika semakin banyak investor dan perusahaan film mancanegara melirik pasar negara. Contohnya, produser Fox Internasional Productions dari 20th Century Fox Film Corporation terlibat dalam produksi film Wiro Sableng. Sony Pictures Entertainment sedang memproduksi film di Indonesia. Perusahaan film terbesar asal Korea Selatan, Lotte, juga sedang proses ekspansi melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun