Mohon tunggu...
Diorezky Yoga Pratama
Diorezky Yoga Pratama Mohon Tunggu... Pemerhati Isu Sosial

Aktif menulis untuk mendorong pembaca berpikir lebih kritis dan membuka ruang dialog yang bermakna tentang berbagai realitas sosial.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Jaringan Siapa, Data Siapa? Kedaulatan Sistem Pembayaran Nasional dalam Bayang-bayang Kepentingan Global

25 April 2025   21:57 Diperbarui: 25 April 2025   21:57 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Penggunaan Sistem Pembayaran dalam Negeri

Setiap kali melakukan transaksi keuangan di merchant favorit, kita dihadapkan pada dua pilihan sederhana: memindai kode QRIS di meja kasir, atau menggesek kartu debit berlogo prinsipal global di dompet. Dua pilihan ini tampak setara di permukaan – keduanya memindahkan uang dari kantong kita ke kasir – namun di balik layar, ada narasi besar tentang kedaulatan sistem pembayaran nasional. Dalam beberapa hari terakhir, isu tentang QRIS, GPN, dan dominasi jaringan global terus bergulir dengan simpang-siur informasi. Sebagai bagian dari masyarakat dan pengguna layanan keuangan, kita merasa penting untuk memahami dan mengkritisi perkembangan ini dari sudut pandang pribadi. Bagaimana sebenarnya upaya Indonesia membangun kedaulatan pembayaran? Mengapa kita perlu peduli siapa yang mengendalikan jaringan transaksi kita? Mari kita telusuri lebih dalam secara santai namun kritis.

Mengenal QRIS dan GPN: Standar Lokal di Bawah Bayang-Bayang Global

Pada tahun 2019, Bank Indonesia memperkenalkan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) – sebuah standar nasional untuk pembayaran digital berbasis QR code. Tujuannya sederhana namun ambisius: menyatukan berbagai aplikasi pembayaran (dari dompet digital hingga mobile banking) ke dalam satu kode QR universal. Dengan QRIS, pedagang cukup menempel satu stiker QR dan pelanggan apa pun dapat membayar dengan aplikasi pilihan mereka. Bagi kita, pengguna awam, ini jelas memudahkan. Tak perlu tanya, “Bisa pakai bank/fintech masing-masing?” – cukup scan QRIS dan pembayaran beres.

Sementara itu lebih dahulu, pada 2017, Indonesia meluncurkan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). GPN adalah infrastruktur national payment gateway yang dirancang untuk mengintegrasikan berbagai kanal pembayaran domestik. Secara praktis, GPN memungkinkan transaksi kartu debit antar bank diproses di dalam negeri. Sebelum GPN ada, transaksi kartu debit kita yang domestik sekali pun sering melalui jaringan global yang notabene berbasis di luar negeri. GPN mencoba “menasionalisasi” proses itu: “melokalisasi sistem pembayaran perbankan di Indonesia yang sebelumnya terkonsentrasi pada produk pembayaran internasional” . Dengan kata lain, GPN lahir untuk mengurangi ketergantungan pada jaringan global dalam transaksi domestik.

QRIS sebenarnya bukan berdiri sendiri, tapi salah satu bagian dari Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) — sistem pembayaran terintegrasi yang dibangun untuk memproses transaksi dalam negeri lewat infrastruktur lokal. QRIS menjadi wajah digitalnya, yang akrab kita jumpai di warung atau toko, sementara GPN adalah fondasi teknis di belakang layar yang mengatur jalur transaksi kartu dan switching antar bank. Keduanya dikembangkan agar kita tidak terus bergantung pada jaringan luar, yang selama ini mendominasi.

Dominasi Global dan Simpang Siur di Lapangan

Tidak dapat dipungkiri, dominasi global telah lama membayangi sistem pembayaran di Indonesia. Hampir setiap kartu kredit atau debit dari bank besar berlogo salah satu dari jaringan ini. Dominasi ini membawa dua wajah bagi kita sebagai pengguna. Di satu sisi, jaringan global memberi kenyamanan – kartu kita bisa dipakai dimana-mana, dari Jakarta hingga New York. Infrastruktur dan teknologi mereka sudah terbukti andal secara internasional.

Namun di sisi lain, dominasi global ini membuat kita bertanya-tanya: apakah Indonesia kehilangan kedaulatan atas sistem pembayarannya sendiri? Pertanyaan inilah yang memicu banyak isu simpang-siur. Misalnya, ketika GPN diluncurkan, beredar kekhawatiran: Apakah kartu berlogo GPN bakal diterima di merchant? Apakah nasabah perlu punya dua kartu secara terpisah? Lalu muncul diskusi tentang biaya MDR (merchant discount rate) – konon biaya transaksi via GPN lebih murah, sehingga menguntungkan pedagang kecil. Ada pula rumor bahwa bank global atau prinsipal global “tak senang” dengan GPN, walau sebenarnya mereka tetap beroperasi berdampingan dengan GPN dalam ekosistem perbankan kita.

Isu lain yang sempat ramai adalah seputar QRIS. Misalnya, sebagian pedagang kecil mengira penggunaan QRIS akan dipungut biaya tinggi, padahal untuk usaha mikro transaksinya bebas biaya MDR hingga nominal tertentu. Lalu ada cerita-cerita di media sosial: “Jika semua pakai QRIS, apakah pemerintah bisa mengintip transaksi kita?” Kekhawatiran soal privasi dan kontrol data ini wajar muncul di era digital. Di titik ini, penting bagi regulator melakukan edukasi bahwa standar QRIS justru dibuat agar transaksi digital terstandardisasi, aman, dan diawasi otoritas dalam negeri – bukan oleh perusahaan global.

Dominasi global juga disorot ketika terjadi insiden internasional, misalnya sanksi ke Rusia. Bagi sebagian pengamat di Indonesia, ini jadi lampu kuning jika (amit-amit) suatu saat terjadi gejolak geopolitik atau konflik kepentingan, apakah Indonesia juga rentan “dicabut colokannya” oleh jaringan global? Kekhawatiran inilah yang kerap diangkat dalam diskusi kedaulatan sistem pembayaran belakangan ini.

Mengapa Kedaulatan Sistem Pembayaran Penting?

Ilustrasi: Kedaulatan Sistem Pembayaran Indonesia
Ilustrasi: Kedaulatan Sistem Pembayaran Indonesia

Melihat berbagai dinamika di atas, pertanyaan krusialnya - Kenapa sih kita harus peduli pada kedaulatan sistem pembayaran? Sebagai pengguna awam, mungkin kita merasa yang penting transaksi lancar. Namun, kedaulatan di bidang ini ternyata berdampak luas ke ekonomi dan keamanan nasional. Beberapa alasannya:

  • Kontrol dan Keamanan: Dengan infrastruktur dan standar lokal, Indonesia memegang kendali penuh atas sistem pembayaran domestik. Artinya, jika terjadi krisis politik atau ekonomi, transaksi dalam negeri tetap bisa berjalan di jaringan kita sendiri. Contoh nyata adalah Rusia yang terpaksa membangun jaringan Mir setelah terkena sanksi internasional – langkah darurat untuk menghindari ketergantungan pada pengguna jaringan switching global yang diblokir. Kedaulatan memastikan kontrol ada di tangan regulator nasional, bukan di entitas luar negeri.
  • Efisiensi Biaya dan Inovasi: Jaringan pembayaran lokal cenderung bisa menekan biaya transaksi. Tanpa perantara global, biaya switching bisa lebih murah dan fee yang biasanya lari ke luar bisa dihemat. Ini berarti tarif MDR lebih rendah untuk pedagang dan potensi biaya lebih murah bagi konsumen. Di India, misalnya, kartu domestik RuPay mampu menawarkan biaya transaksi lebih efisien, sehingga cepat diadopsi luas. Hasilnya, pangsa pasar RuPay melesat di tahun 2018 – bukti bahwa inovasi lokal yang efisien akan didukung pengguna. Bagi Indonesia, efisiensi ini juga membuka ruang inovasi: perusahaan fintech lokal dapat tumbuh di atas rail (rel) QRIS atau GPN tanpa terhambat monopoli infrastruktur global.
  • Keberlanjutan Ekosistem Domestik: Dengan sistem pembayaran yang berdaulat, data dan value dari setiap transaksi sebagian besar tinggal di dalam negeri. Ini berarti bank, fintech, hingga regulator dapat memanfaatkan data tersebut untuk pengambilan kebijakan yang tepat sasaran (tentu dengan tetap menjaga privasi). Selain itu, biaya transaksi yang biasanya menjadi pendapatan prinsipal ini dapat berputar kembali di ekonomi domestik – entah dalam bentuk investasi teknologi baru atau peningkatan layanan. Ekosistem pembayaran yang mandiri juga lebih tahan banting terhadap perubahan kebijakan luar; misal, jika suatu hari mereka mengubah skema bisnis globalnya, dampaknya ke Indonesia minim karena pondasi lokal sudah kuat.

Kebijakan Regulator dan Perkembangan Terbaru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun