Mohon tunggu...
Dionisius Bei
Dionisius Bei Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Filsafat

Nama: dionisius bei TTL: NAru, 27 November 1993 Alamat: Jln. Joyo Agung 100_MAlang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cinta yang Membebaskan

23 April 2021   16:28 Diperbarui: 23 April 2021   16:55 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abstraksi

Dalam tulisan ini saya fokus pada judul saya: Cinta itu Membebaskan, dengan mengambil dari beberapa kutipan, diantaranya dari buku: Rasionalitas, Menjadi-Mencintai, Dialog Filsafat-Teologi dan dari beberapa sumber lainnnya. Metode yang saya gunakan dalam penulisan ini adalah dengan membaca dan membandingkan tulisan. Dalam tulisan ada beberapa tema baru yang diangkat, yaitu relasi antara filsafat dan teologi dalam memahami dan memaknai arti cinta yang membebaskan. Cinta itu membebaskan lebih terarah kepada pemahaman manusia tentang eksistensi cinta yang sesungguhnya dan memaknai cinta sebagai sarana bagi manusia untuk mencapai kebebasan yang sejati, yaitu persatuan yang intim dan personal dengan Tuhan, Sang Cinta itu sendiri. Cinta itu membebaskan mengarahkan saya pada pengertian tentang nilai luhur dari cinta itu sendiri. Cinta yang sejati adalah cinta yang membawa setiap pribadi pada pengertian akan kebahagiaan yang sempurna, yakni kebebasan.

Kata kunci 

Cinta, Kebebasan, Eksistensi, Kodrat, Hakikat.

Pengantar 

Manusia sejatinya adalah mahkluk yang mencinta. Sebab, sejak semula diciptakan dalam kodratinya, manusia diciptakan oleh cinta, dengan cinta dan untuk cinta. Cinta membuat manusia menjadi manusiawi. Dalam hidup bersama mahkluk ciptaan lainnya manusia menemukan dan membangun cinta diantaranya serta menjadikan cinta sebagai kekuatan yang merekat dan menyatukannya.  Namun, cinta pertama-tama bukanlah lahir dari manusia itu sendiri dan bertujuan hanya pada dirinya sendiri pula. Cinta merupakan suatu persatuan yang intim dan personal antara manusia, hasil ciptaan dengan Sang Penciptanya, yaitu Tuhan, Sang Cinta itu sendiri. Maka, cinta menjadi sebuah pencarian tanpa henti manusia dan sebuah refklesi iman yang mendalam serta terjadi sepanjang perjalanan kehidupannya. Akan tetapi, untuk bisa mencapai persatuan yang intim dengan Sang Cinta, manusia mesti mengintergrasikan pencarianya itu dalam kehidupan bersama sesamanya. Manusia mesti membangun suatu relasi yang harmonis antara dirinnya dengan yang lainnya (Liyan). Sebab, cinta dari Sang Cinta yang mengada sungguh hidup dan bersemayam dalam relasi antara manusia dengan sesamanya.


Dengan mengambil tema: Cinta Membebaskan, saya ingin menggali secara mendalam nilai luhur cinta sejati dan makna dari cinta itu sendiri serta relasi cinta yang mendalam antara manusia dengan Tuhannya, yaitu Sang Cinta itu sendiri. Cinta membebaskan adalah kekuatan dan hakikat dari cinta sendiri. Sebab, kodratnya cinta itu membebaskan. Dalam membangun relasi yang intim dengan Tuhan dan sesamanya, manusia manjadikan cinta sebagai faktor pertama dan utama serta sebagai sarana pembebasan bagi dirinya dan relasinya. Cinta membawakan kebebasan yang sejati bagi manusia dan eksistensi kemanusiaannya.

Dalam membangun hubungan yang intim dan personal dengan Tuhannya, cinta yang membebaskan itu seolah membawa manusia pada dunia kontemplatif yang mesra. Sebab, dalam persatuan dengan Tuhannya, cinta manusia tidak lagi terikat pada manusiawinya dan segala macam hal duniawinya. Wudjud nyata dari cinta yang membebaskan inilah yang memberi pengaruh dan perubahan dalam relasi manusia dengan mahkluk ciptaan lainnya.

Cinta 

Cinta adalah itu yang diingini, dicari, dikejar dan dimilki oleh setiap pribadi manusia. Manusia menjadikan cinta diatas segala-galanya dalam kehidupannya, omnia vicit amor. Maka, tidak heran apabila manusia menghabiskan seluruh peziarahan hidupnya hanya untuk mencari dan mengejar cinta sejati. Cinta mengantar dan memberi pengaruh terbesar bagi manusia dalam dan untuk memperoleh eksistensi kemanusiaannya. Dalam buku Menjadi Mencintai, Prof. Dr. FX. Eko Armada Riyanto, menulis:

Cinta adalah itu yang dirindukan oleh semua orang. Segala manusia merindukannya, mengharapkannya dan jatuh bangun mewudjudkannya dan menghidupkannya. "Segala manusia" menyatakan tidak ada yang dikecualikan, dari zaman kapan pun cinta adalah kerinduan manusia. Cinta identik dengan kehidupan itu sendiri. Semua memandangnya bangkit dari keterpurukan. Semua yang memeluknya seolah seperti menyebrangi kematian kepada kehidupan.[1]

Dan memang sejatinya demikian. Cinta itu memberi kekuatan dan kebebasan kepada manusia untuk mencapai kebebasan sejati untuk mencapai kabahagiaan yang sempurna. Oleh karena cinta itu adalah sebuah kebahagiaan, maka setiap pribadi manusia dipanggil untuk mencintai. Manusia diharapkan untuk mampu melepaskan segala keterikatannya pada kekayaan, harta benda, relasi, keegoisannya dan segala macam bentuk kenikmatan kediriannya. Manusia diminta untuk bisa memiliki cinta dan membagikannya kepada sesamanya serta memberikan dirinya secara totalitas dalam eksistensinya. Dalam kehidupan nyatanya, manusia membagi cinta dalam beberapa bagiannya. 

Pertama, cinta eros. Cinta eros adalah itu yang mencintai bukan atas dasar cinta sejati dan kasih sayang yang mendalam, melainkkan atas keinginan untuk menguasai dan dorongan hawa nafsu semata. Cinta jenis ini hanya dijalani dan dihidupi dalam diri manusia yang hanya mengutamakan hawa nafsu tanpa mempertimbangkan dalam ranah logika dan perasaan. Kedua, cinta fillia. Cinta jenis ini adalah cinta yang terjalin atas dasar persahabatan dan persaudaraan. Dalam buku Relasionalitas, Romo Armada Riyanto, menullis:

Cinta adalah relasional antara Aku dan Liyan, dalam maksud cinta tidak pernah sepihak, tidak pernah berkisah pada ruang diri sendiri. Cinta adalah pengenalan terus menerus kesadaran Aku dan kesadaran akan eksistensi yang lainnya (Liyan). Cinta tidak mengabdi pada diri sendir idi satu pihak, dan menghancurkan yang lain (Liyan), dilain pihak. Cinta bukan sekedar revalitas kesadaran Aku dan Liyan. Melainkan cinta adalah sebuah perjumpaan antara Aku dan Liyan. Sebuah perjumpaan dalam artian: cinta berasal dari perjumpaan dan penyambutan.[2]

Ketiga, cinta agape. Cinta agape adalah itu yang terjalin oleh rasa cinta yang mendalam, yang personal, intim dan bahkan puncaknya adalah pemberian diri secara total. Cinta jenis ini hanya dimungkinkan apabila manusia telah selesai dengan dirinya sendiri dan mengarahkan eksistensi dirinya hanya pada kebutuhan sesamanya dan cinta pada Tuhan. Cinta ini mampu terwudjud dalam pengorbanan diri serta pemberian diri secara totalitas dan dengan kesadaran yang penuh, dan hanya Tuhan yang telah mampu mewudjudkannya. Dengan memberikan diri-Nya menjadi kurban pada kayu salib penderitaan, Tuhan menyatakan kedalaman cinta-Nya. Oleh sebab itu, semua orang berusaha untuk memilkinya dan terus mecarinya.  Maka, Romo Armada mengutip St. Agustinus, menulis:

 I heave learnet to love you late (terlambat aku mencintaimu, ya Tuhan). Penggambaran Agustinus mengejar kebenaran adalah perziarahan hidupnya untu mencintai Tuhannya. Agustinus adalah sosok yang bergulat dengan kebenaran. Kebenaran yang dimaksudkan mula-mula berkaitan dengan apa yang memenuhi kehausan akal budinya yang cemerlang. Tetapi, "kebenaran" yang sesungguhnya adalah cinta Allah sendiri, yang dia sadari terlambat mencintainya.[3]

Akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa cinta adalah sebuah pencarian tanpa henti manusia. Namun, untuk memulai menumbuhkan rasa cinta di dalan hati, kita mesti pertama-tama menjalin persahabatan dan mengenali secara nyata. Anthony de Mello Sj, dalam bukunya menulis:

 Pertama-tama anda tidak berpikir untuk menumbuhkan cinta di dalam hati anda, melainkan jumpailah orang-orang. Dari sana akan muncul ketertarikan akan belaskasihan, namun bukan cinta. Cinta tumbuh dalam hati melalui kontak batin dengan yang nyata. Yang tumbuh itu bukan cinta terhadap orang atau hal tertentu, melainkan reakitas cinta, yakni cinta sebagai disposisi atau sikap batin. Cinta yang demikian ini akan memancar keseluruhan penjuru kepada semua orang dan segal sesuatu.[4] 

Cinta yang intim dan personal dengan Tuhan Sang Cinta itu sendiri hanya dimungkinkan dalam relasi dan perjumpaan kita dengan sesama kita, yang setiap harian hidup kita, yang berada berasama-sama dengan kita. Sebab, suatu pencapaian yang sempurna mungkin akan terjadi nanti, tetapi kita mesti memulainya sejak saat ini. Maka, lebih lanjut, Anthony de Mello, menulis:

 

 

Di mana-mana orang mencari cinta karena setiap orang yakin bahwa cinta mampu menyelamatkan dunia, bahwa cinta menjadikan hidup berarti dan bermakna. Namun demikian, seedikit orang yang memahami makna cinta yang sesungguhnya dan bagaiman cinta tumbuh di dalam hati manusia. Seringkali cinta disamakan dengan sikap baik, kemurahhatian, anti kekerasan atau pelayanan. Padahal, itu semua buka cinta. Cinta bersumber dari kesadaran.[5]

 Maka, persatuan yang intim dan personal dengan Tuhan adalah sebuah kebahagian yang sejati. Sebab, kebebasan untuk mencintai Tuhan dan menjadikan-Nya sebagai pegangan hidup dibangun atas dasar kesadaran penuh. kesadaran penuh mengandaikan adanya dorongan dan kemauan pribadi serta ketotalitasan untuk mencintai dan bersatu dengan Tuhan.

Kebebasan

Kebebasan adalah itu yang ciri asali pribadi manusia. Sejatinya manusia adalah pribadi yang selalu mnginginkan, mencari dan mengejar kebebasan. Serta mau berada dalam kebebasan yang penuh. Tidak ada satupun manusia dibawah kolong langit ini yang mau dan ingin hidupnya berada di bawah tekanan ataupun penderitaan, penindasan dan di control oleh orang lain. Semuanya ingin bebas dan mau hidup dalam kebebasan. Maka, tidak perlu heran lagi bila dimana-mana terjadi konflik dan pertumpahan darah. Karena semuanya ingin memperjuangkan kebebasanya masing-masing. Di dalam negara Indonesia tercinta ini pun pernah terjadi peristiwa yang memilukan hati, yaitu peristiwa tahun 1998. Ini membuktikan bahwa kebebasan menjadi impian dan tujuan hidup setiap pribadi manusia. Dalam buku Menjadi Mencintai, Armada Riyanto, menulis:

 Ragu-ragu adala juga ekspresi kebebasan. Sebutlah pengandaian ini, orang sama sekali tidak mengalami ragu-ragu, siapakah orang ini? Dia adalah sosok yang terbelenggu. Dia terbelenggu dalam ketidaksadaran dirinya. Ia de facto tidak pernah mabuk, tetapi ia menghidupi keniscayaan. Ia bukan manusia bebas. Kebebasan selalu memiliki introduksi kebebasan akal budi dan penggapaian kebenaran.[6] 

 

 

            Namun, kebebasan sejati bukanlah pertama-tama mengarah pada kebebasan fisik semata atau kebebasan lahiriah, melainkan mesti mengarah pada kebebasan batin atau sifat batiniah manusia. Bahwa "bebas dari segala sesatu adalah hak yang besar, namun itu masih belum cukup. Itu jauh lebih kecil nilainya daripada kebebasan untuk memilki sesuatu" (Chezlaw Millosz). Dengan ini mau menyatakan bahwa kebebasan adalah sesuatu yang paling dicari oleh semua orang dan berusaha untuk memilikinya. Karena, kebebasan mengantarkan orang pada pencapaian tujuan hidup yang sempurna. Di era modernisasi ini, kebebasan dan segala macam bentuk pencarian akan kebebasan menjadi isu yang radikal dan sentral. Oleh karena adanya kesadaran akan nilai kebebasan dan betapa luhurnya suatu kebebasan, maka lahirlah berbagai jenis kebebasan di dalam dunia. Kebebasan-kebebasan tersebut antara lain: kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, pembebasan etika moralitas, kebebasan suara hati dan terakhir adalah pembebasan diri dan penentuan nasib hidupnya.

Kebebasan dalam hidup kristianitas bukanlah terletak pada kebebasan sakit fisik atau segala macam bentuk penderitaan, melainkan pada kebebasan hati untuk mengikuti dan mengimani Kristus sebagai Putera Allah. Karena:

Kebebasan yang kita cari adalah kebebasan etis.  Tetapi kebebasam sejati lebih tingi daripada kebebasan etis. Kebebasan rohani yaitu kebebasan dari kondisi-kondisi dan perbudakan-perbudakan moral yang disadari maupun yang tidak disadari, yang menghalangi kita untuk memilih yang baik. Ketika kita bertumbuh dalam kebebasan rohani, kita akan denga bebas menantukan, bukan hanya pada apa yang baik, tetapi juga pada apa yang paling baik.[7]

Cinta Membebaskan

 Kodratinya cinta membawa manusia pada kebebasan yang sejati. Sebab, cinta itu membebaskan. Mencintai mesti dilakukan atas dasar kebebasan dan sebaliknya, kebebasaan mesti diiringi dengan cinta yang mendalam, agar kebebasan yang kita jalani tidak keluar dari jalur moralitas dan kita mampu mempertanggungjawabkannya. Oleh karena cinta dan kebebasan dirindukan, dicari dan di kejar oleh setiap pribadi manusia, maka cinta dan kebebasan itu mesti keluar dari keegoisan kediriannya sendiri. Setiap orang yang dipilih untuk membagikan cinta dan mencintai, harus bisa bebas terbuka bagi semua orang dan tidak dilakukan atas keinginan atau kemauan untuk menikmati dirinya sendiri. Dalam buku Menjadi-Mencintai, Armada Riyanto, menulis:

Cinta itu membebaskan. Cinta sejati itu membebaskan. Simplisitas cinta memungkinkan orang mengalami kebebasan manusiawi yang mendalam. Ia tidak dicekam oleh ketakutan. Tidak didominasi oleh ketidakmungkinan. Cinta sejati membawa orang terbang di ketinggian kontemplasi kebenaran. Cinta itu membebaskan, karena orang tidak berada di dalam keterbatasan diri. Ia karena cinta, mentrasendensi diri, menyebrangi menjadi manusia baru sama sekali.[8]

 Cinta itu membebaskan karena dalam kebebasannya dia mampu memberikan kepada sesamanya eksistensi kedirianya secara total, bahkan dia mengorbankan nyawanya sendiri untuk orang yang dia cintai. Sebab, konsekuensi dari cinta yang sejati adalah pengorbanan itu sendiri. Inilah satu jenis kebebasan yang seringkali kita jumpai dalam keseharian kehidupan kita. Kebebasan cinta juga bisa hadir dalam sikap keragu-raguan kita setiap hari. Dalam tulisannya, Armada Riyanto, CM, mengatakan "keragua-raguan adalah juga ekspresi kebebasan" (MM 155). Maka, untuk pencapaian cinta sejati yang membebaskan, saya mesti memiliki keraguan dengan kekuatan cinta sendiri. Saya mesti selalu bertanya kepada diri saya sendiri. Kebebasan cinta seperti apakah yang telah saya berikan kepada Tuhan dan sesama saya? Apakah itu berasal dari ketulusan hati untuk mencintai sehingga mencapai pembebasan, atau malah justru karena cinta yang mendalam saya justru mengikat orang lain dan membuat hidupnya menjadi tidak bebas? Maka, pertama-tama saya mesti menjadi diri saya sendiri dalam mencintai sehingga mencapai kebebasan yang sejati.

Dalam kehidupan bersama sehari-hari, cinta yang membebaskan muncul dalam sikap, perilaku dan sifat saya, terutama dalam sikap memberi dan membagi kepada sesama dengan yang lainnya. Dalam buku Relasionalitas, Armada Riyanto CM, mengatakan:

Cinta itu terdiri dari sikap memberi. Cinta itu bukan perbuatan menikmati, mengambil atau mengurangi sesuatu. Dan, logika cinta itu luar biasa, semakin memberi semakin kelimpahan. Inilah kebenaran tentang cinta itu, yaitu cinta berupa aktivitas berbagi. Cinta itu membagikan atau memberi dirinya sendiri.[9]

Pemberian adalah merupakan suatu ekspresi dari cinta yang membebaskan. Sebab, dengan memberi saya melepaskan segala keterikatan saya dari rasa kepemilikan saya, rasa ego pribadi saya, tetapi mau membagikannya dengan sesama saya yang lainnya (Liyan). Dan pemberian yang paling pertama dan utama adalah pemberian diri saya sendiri. Pengorbanan yang total. Sebab, inilah pengorbanan terbesar tentang cinta yang, membebaskan itu. "cinta itu relasional antara Aku dan Liyan, dalam maksud relasi cinta tidak pernah sepihak, tidak pernah berkisah pada diri sendiri" (Relasionalitas 373). Maka, saya mesti sekuat tenaga menghindari keegoisan diri dan tidak mencari kenikmatan pribadi semata. Sebab itulah yang dinamakan kebebasan sejati. Dan kebebasan sejati itu adalah kebahagiaan yang sempurna.

Kekuatan dari cinta yang membebaskan adalah juga terwudjud dalam sikap saya ketika saya mampu mengampuni semua orang yang berbuat jahat terhadap saya. Sebab, ketika saya mampu mengampuni musuh saya dan memberikan cinta yang tulus padanya, saat itulah saya sungguh mengalami pembebasan dari rasa dendam dan mampu mencapai kebahagiaan yang sejati. Dalam buku Mencari Makna Hidup, Viktor E. Frankl, menulis:

Cinta merupakan satu-satunya cara manusia memahami manusia lain sampai pada pribadinya yang paling mendalam. Tidak ada orang yang sepenuhnya menyadari esensi manusia lain tanpa mencintai orang tersebut. Melalui cinta, dia bisa melihat karakter, kelebihan, dan kekurangan dari orang yang dia cintai; bahkan dia bisa melihat potensi orang tersebut yang belum dan masih harus diwudjudkan. Selain itu, dengan cinta, orang yang mencintai dapat membantu orang yang dia cintai untuk mewudjudkan semua potensi tersebut. Dengan membuat orang yang dia cintai menyadari apa yang bisa dan seharusnya dia lakukan, dia bisa membantunya untuk mewudjudkan semua potensi tersebut.[10]

 Puncak dari cinta yang membebaskan ini adalah persatuan yang intim dan personal antara manusia dengan Tuhannya, Sang Cinta itu sendiri. Dalam kebebasan cinta yang mendalam dan utuh, manusia membangun relasi yang mendalam dengan Sang Cinta itu sendiri, yang telah menjadikan cinta sebagai suatu kebebasan yang universal. Pembangunan relasional yang intim dan personal itu diwudjudnyatakan manusia dalam relasinya dengan sesamanya (Liyan) dalam sikap hidup hariannya. Manusia juga membangun itu dalam doa, meditasi, ekaristi dan juga hidup kontemplatif yang intens. Tuhan itu sungguh hadir dalam setiap pribadi yang saya jumpai dan dalam segala hal dalam kehidupan saya. Dalam injil saya dapat menemukan orang-orang yang mengalami kebebasan oleh karena kekuatan cinta. Rasul Paulus setelah mengejar dan menganiyaya jemaat Allah, mengalami cinta Allah yang melimpah serta memperoleh rahmat pertobatan. Begitupula dengan Maria dari Magdala yang dibebaskan Tuhan dari dosa besarnya. Ini semua tidak lain adalah karena rahmat dan cinta Allah yang besar dan memilki kekuatan untuk membebaskannya.

Kesimpulan 

 Akhirnya saya dapat sampai pada kesimpulan bahwa cinta itu sungguh mampu membawa kita untuk menjadi pribad-pribadi yang bebas dan cinta itu membebaskan. Cinta membebaskan dalam artian bahwa bila saya sungguh mencintai saya mesti melepaskan segala keterikatan saya pada segal macam yang menghambat kebebasan saya. Saya mesti bebas dari keterikatan harta benda, relasi, dan terlebih khusus segala ego dan keinginan pribadi saya. Saya mesti lebih mengarahkan eksistensi kedirian saya pada tujuan akhir peziarahan hidup saya, yakni persatuan yang intim dan personal dengan Tuhan Sang Cinta. Untuk memperoleh pencapaian persatuan yang intim dan mendalam ini, saya mesti memulainya sejak saat ini, disini. Dalam tindak tanduk keseharian hidup saya, saya mesti lebih terarah pada cinta yang membebaskan ini. Dengan sikap berbagi kepada sesama saya yang berkekurangan serta mereka yang menderita, saya mewudjudnyatakan cinta sejati yang membebaskan itu.

Puncak pencapaian yang sempurna dari cinta yang membebaskan ini adalah persatuan yang personal dengan Tuhan. Banyak para orang kudus telah mencapai persatuan yang indah ini. Semua ini tidak lain adalah hanya karena kekuatan dan dorongan cinta yang menggelora dalam hatinya. Tuhan senantiasa setia menanti bagi kita yang mau mencarinya. Dalam kasih dan cinta-Nya yang luhur selalu ada kebebasan bagi kita anak-anak-Nya. Maka, sebagai pribadi manusia yang mencinta, kita mesti mulai menanam dan menghidupi rasa cinta kita sejak saat ini, di dalam dunia ini.

Daftar pustaka

Riyanto, Armada. Menjadi Mencintai, Kanisius:

 Yogyakarta, 2013

 

Riyanto, Armada. Relasionalitas, Kanisius: Yogyakarta, 2018

 

Riyanto, Armada. Dialog Filsafat-Teologi: Artikel tidak di Publikasikan

 

De Mello, Anthony. Dipanggil untuk Mencinta, Kanisius: Yogyakarta, 1995

 

Frankl, Viktor E. Mencari Makna Hidup, IKAPI: Bandung, 2004 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun