Kata ombudsman mungkin tak several omnibus, yang karena arus deras adanya undang-undang tentang ketenagakerjaan. Â Omnibus Law!!!
Padahal ombudsman jauh lebih tua diakui keberadaanya di negeri ini. Â Ada undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Â Sewindu sebelumnya Gus Dur manandatangani Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional.
Secara logika tentu saja jika ada dasar hukum yang diterbitkan di negeri ini yang memuat suatu kata, dalam hal ini ombudsman, tentu saja kata itu sudah menjadi bagian dari kata resmi di negeri ini. Â Terlepas sumbernya dari negara mana, serapan maupun resapan.Â
Tetapi kenapa hingga saat ini, 25 tahun setelah kata serapan dari Swedia itu dinyatakan resmi sebagai bagian dari Bahasa Indoesia, belum juga lembaga yang menjadi Pusat Pengembangan Bahasa Indoesia mengakuinya?
Sebegitu manakutkankah makhluk bernama Ombudsman?
Dalam UU Nomor 37 Tahun 2008 dijelaskan bahwa Ombudsman adalah lembaga negara yang mandiri, tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara atau instansi pemerintah lainnya, dan memiliki kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan public oleh penyelenggara negara, pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Hukum Milik Negara (BHMN), serta badan swasta atau perseorangan yang Sebagian atau seluruh dananya berasal dari APBN/APBD.
Sementara dalam Keppres Nomor 44 Tahun 2000 ditegaskan bahwa Ombudsman Nasional sebagai Institusi Publik dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, diangkat oleh Kepala Negara dan diatur dalam Undang-Undang Dasar serta Undang-Undang Republik Indonesia sehingga memperoleh kepercayaan masyarakat, dilaksanakan oleh orang-orang dengan integritas serta akuntabilitas yang tinggi.
Jangan-jangan karena fungsi pengawasan yang tentu saja berkaitan dengan apa yang menjadi tugas pokok lembaga penanggungjawab bahasa ini pula yang menyebabkan nama Ombudsman menjadi sangar dan berbahaya. Â Bak buah simalakama, diakui menikam dari depan, gak diakui menikam dari belakang. Â Tentu bukan alasan yang tepat!!!
Semestinya lembaga Bahasa Indonesia pro-aktif sehingga masyarakat mempunyai sumber standar untuk mengartikan kata yang masih asing di telinga itu. Â Tidak harus searching ke berbagai sumber yang tidak bisa dijadikan pedoman baku.
Daripada menunggu munculnya kata ombudsman , di zaman yang serba mudah ini saaya mencoba mencari asal muasal kata yang akhirnya menjadi lembaga yang kehadirannya sangat diharapkan masyarakat ini.
Saya petik dari hasil Googling nih ....