"gitu aja ngeluh!"
"Kamu mestinya bersyukur, ada orang lain yang lebih menderita."
"Ah, aku dulu lebih menderita. Kamu lebih beruntung, jadi positif aja!"
Coba hitung, berapa kali kita merespon hal ini pada teman yang curhat tentang masalahnya. Â Jangan-jangan terlampau sering sampai tidak bisa menghitung.Â
Berapa kali pula kita mendapatkan respon demikian saat curhat pada teman. Lalu apakah yang kita rasakan? Merasa termotivasi atau justru hati menjadi ciut? Coba renungkan hal ini. Dan mari sama-sama membedah respon yang baik.
Hidup Tidak Selalu Tentang Positif, Merasa Negatif Pun Tak Apa.
toxic positivity by canva.com
ilustrasi
Sepanjang kehidupan kita, pernahkah kita merasa selalu negatif atau selalu merasa positif? Hampir tidak pernah bukan. Sebuah siklus kehidupan pasti mengalami pasang surutnya sendiri.Â
Dalam beberapa tahun seseorang bisa mengalami 'cobaan' yang membuatnya harus bekerja keras, lalu dalam beberapa tahun kemudian ia mengalami 'peningkatan' kehidupan. Jika suatu ketika kita mengalami hal positif di sela-selanya pasti ada masa yang negatif.Â
Ada satu yang lucu disini, terkadang orang yang mendapatkan hal negatif buru-buru ingin segera positif. Orang yang positif ingin selalu merasa positif. Apakah kita terlalu banyak memandang hidup seperti drama? Ataukah kita ingin mengingkari keadaan bahwa hal negatif yang sebenarnya lumrah?Â
Toxic Positivity, Saat Positif Menjadi Racun Kehidupan.
Berdasarkan laman alodokter, toxic positivity merupakan kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif. Bukannya menolak emosi negatif itu baik? Kita jadi lebih posif kan.
Menolak sesuatu itu bukan kondisi yang baik dimanapun. Contohnya ketika cinta kita ditolak gebetan, apa yang kamu atau kita rasakan? Terluka bukan. Sama halnya dengan perasaan negatif, jika ia ditolak maka ia bisa 'terluka'.Â