Penolakan penambahan Pasal 228A dalam revisi Tata Tertib DPR RI.
Secara konstitusional, demonstrasi adalah bagian dari hak warga negara yang dijamin oleh undang-undang. Namun, munculnya buzzer yang membentuk opini negatif terhadap aksi tersebut menjadi ancaman serius bagi demokrasi.
Buzzer dan Delegitimasi Aksi Massa
Buzzer di media sosial, terutama di TikTok dan Instagram, terlihat aktif menyebarkan narasi yang melemahkan legitimasi demonstrasi. Komentar-komentar seperti "Mahasewa," "Dibayar 50 ribu," "Dikasih subsidi listrik 50% malah demo," adalah contoh nyata bagaimana buzzer beroperasi. Pola ini mengarah pada upaya sistematis untuk membelokkan fokus masyarakat dari substansi tuntutan menjadi sekadar perdebatan soal motif demonstrasi.
Tindakan semacam ini berbahaya karena menciptakan persepsi bahwa aksi protes adalah sesuatu yang tidak autentik atau bahkan tidak diperlukan. Padahal, demonstrasi adalah bagian dari demokrasi yang sehat, di mana masyarakat bisa menyuarakan aspirasi mereka secara kolektif.
Rendahnya Literasi Membuat Propaganda Buzzer Efektif
Menurut data UNESCO, tingkat literasi di Indonesia sangat rendah, hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang memiliki kebiasaan membaca. Dengan tingkat literasi yang rendah, masyarakat cenderung menerima informasi secara mentah tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut. Hal ini membuat propaganda yang disebarkan buzzer semakin efektif dalam membentuk opini publik.
Buzzer memanfaatkan celah ini dengan menyebarkan informasi yang menggiring opini, sering kali tanpa fakta yang jelas. Akibatnya, banyak orang mempercayai narasi yang dibentuk tanpa mempertanyakan kebenarannya. Kondisi ini berkontribusi pada polarisasi masyarakat dan melemahkan daya kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Ketika Pemerintah Diduga Terlibat dalam Operasi Buzzer
Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika buzzer tidak lagi sekadar kelompok independen, tetapi diduga memiliki keterkaitan dengan pemerintah. Alih-alih menindak penyebaran hoaks dan propaganda, pemerintah justru dianggap menggunakan buzzer untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol narasi publik. Jika benar terjadi, ini adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merusak fondasi demokrasi.
Sebagai institusi yang seharusnya melindungi kebebasan berekspresi, pemerintah seharusnya berperan dalam menciptakan ruang diskusi yang sehat dan demokratis. Namun, jika pemerintah justru memanfaatkan buzzer untuk menekan kritik, maka kepercayaan publik terhadap demokrasi bisa semakin terkikis.
Manipulasi persepsi publik melalui buzzer bukan sekadar fenomena biasa di era digital, tetapi ancaman nyata bagi demokrasi. Saat narasi buzzer digunakan untuk mendiskreditkan aksi protes dan mengaburkan tuntutan masyarakat, maka hak untuk berpendapat dan menyampaikan aspirasi bisa tergerus.
Dengan rendahnya tingkat literasi di Indonesia, propaganda buzzer menjadi semakin berbahaya karena mampu membentuk opini publik tanpa perlawanan yang berarti. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah untuk membendung praktik ini, bukan tidak mungkin demokrasi akan semakin terdegradasi, digantikan oleh dominasi opini yang dikendalikan segelintir pihak demi kepentingan tertentu.
Masyarakat perlu lebih kritis dalam menyikapi informasi yang beredar dan tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang dimainkan oleh buzzer. Demokrasi yang sehat hanya bisa berjalan jika masyarakat tetap memiliki kebebasan berpikir, berpendapat, dan menuntut perubahan tanpa intervensi opini yang dimanipulasi secara sistematis.