Mohon tunggu...
Dinda Putri Aprisela
Dinda Putri Aprisela Mohon Tunggu... MahasiswI Manajemen Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswi aktif di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki hobi mendengarkan musik, membaca buku dan novel, dan menonton film. Selain itu, saya juga menyukai dunia fashion, makeup, dan skincare. Saya juga aktif di organisasi internal kampus maupun eksternal. Saya berharap bisa terus berkembang dan menginspirasi banyak orang dengan ilmu dan prestasi yang saya miliki.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perpustakaan Sekolah Mati Suri? Mari Menyuntikkan "Nyawa' Lewat Inovasi Literasi

16 Mei 2025   20:39 Diperbarui: 16 Mei 2025   20:41 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://smpn159jakarta.sch.id/perpustakaan/ Input Keterangan & Sumber Gambar (Contoh: Foto Langit Malam (Sumber: Freepik/Kredit Foto))

Bagi sebagian besar sekolah, perpustakaan tak lebih dari ruang sunyi yang dihuni rak-rak tua dan buku-buku yang jarang disentuh. Tapi di SMP Negeri 159 Jakarta, paradigma itu dibalik. Perpustakaan bukan hanya hidup, ia bernapas, bergerak, dan membentuk cara berpikir siswa.

Pertanyaannya: Mengapa perpustakaan sekolah di Indonesia begitu banyak yang mati suri?

Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, fungsinya jelas: sebagai wahana pembelajaran sepanjang hayat dan pengembangan budaya baca.

Nyatanya, banyak perpustakaan sekolah justru menjadi ruang formal yang membunuh minat baca. Sunyi, steril dari aktivitas, dan terputus dari dunia nyata siswa. Inilah ironi literasi di negeri yang ingin mencetak generasi cakap abad 21.  

Literasi yang Tak Menyentuh

“Kita terlalu lama menyamakan literasi dengan sekadar membaca dan menulis,” kata Najelaa Shihab, aktivis pendidikan. Ia menegaskan bahwa literasi harus hadir sebagai ekosistem, bukan sekumpulan kewajiban. Namun ekosistem itu mati jika hanya diserahkan pada pustakawan tanpa dukungan komunitas sekolah. 

Bukti nyata bisa dilihat di SMP Negeri 159 Jakarta. Mereka menyulap perpustakaan menjadi pusat kegiatan kreatif. Dari pojok baca, senam bilangan, hingga bedah buku, semuanya didesain menyentuh dunia siswa. Bahkan matematika pun diintegrasikan lewat pendekatan literasi numerasi yang mengaitkan teori bilangan dengan sejarah peradaban.  

Apa yang dilakukan sekolah ini bukan sekadar program, ini merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem belajar yang kaku dan textbook-oriented. Literasi dibumikan, tidak lagi jadi simbol formalitas. 

Perpustakaan Sekolah: Kuburan Buku atau Jantung Inovasi?

Laporan World Bank (2023) mencatat, lebih dari 50% siswa usia sekolah dasar di Indonesia mengalami “learning poverty” yaitu tidak mampu memahami teks sederhana. Ini bukan hanya soal metode belajar, tapi juga soal akses dan ketertarikan terhadap bahan bacaan yang relevan. 

Namun, di banyak sekolah, perpustakaan masih dikelola dengan cara yang sama sejak 30 tahun lalu. Koleksi stagnan, tidak kontekstual, dan programnya nyaris tidak berubah. 

Menurut Anita Lie, pakar pendidikan Universitas Widya Mandala, literasi seharusnya menjadi proses yang melatih keterampilan berpikir kritis dan reflektif. “Kalau perpustakaan tidak memberi ruang untuk eksplorasi dan diskusi, maka ia hanya jadi tempat menyimpan buku, bukan tempat menumbuhkan pemikiran,” tegasnya. 

Model Baru: Perpustakaan sebagai Laboratorium Ide

SMP Negeri 159 Jakarta menawarkan model tandingan. Di sana, literasi bukan sekadar kemampuan teknis, tapi proses aktif menggugat, berdiskusi, dan mencipta. Perpustakaan dijadikan ruang uji coba ide, seperti: siswa menulis ulang cerita dengan sudut pandang berbeda, membuat drama dari buku fiksi, bahkan mengaitkan teorema Phytagoras dengan arsitektur modern.  

Guru bukan hanya fasilitator, tapi juga pelaku. Mereka membaca bersama siswa, merekomendasikan buku, dan memantik diskusi. Inilah bentuk literasi sebagai praktik sosial, bukan sekadar rutinitas sekolah.

Solusi: Bukan Anggaran, Tapi Imajinasi 

Selama ini, kegagalan membangun budaya literasi sering ditimpakan pada minimnya dana. Padahal, yang lebih minim adalah imajinasi. 

Kita butuh tiga hal, yaitu: 

1. Relevansi: Bacaan dan kegiatan literasi harus terkoneksi dengan realitas siswa. 

2. Partisipasi: Libatkan siswa sebagai pencipta, bukan sekadar konsumen bacaan. 

3. Kolaborasi: Jadikan perpustakaan sebagai ruang bersama antara guru, siswa, dan masyarakat. 

Jika model seperti SMPN 159 Jakarta direplikasi dan didukung kebijakan yang progresif, kita bisa menyuntikkan “nyawa” ke dalam perpustakaan sekolah yang selama ini sekarat. Perpustakaan harus jadi jantung inovasi, bukan museum buku pelajaran.  

Literasi tak akan tumbuh dari ruang sunyi. Ia tumbuh dari interaksi, dari rasa ingin tahu, dan dari pengalaman bermakna. Saat perpustakaan sekolah dibangkitkan dari mati suri dan diberi nyawa baru lewat inovasi, kita sedang meletakkan pondasi peradaban yang lebih melek informasi, lebih adil, dan lebih kritis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun