Guru bukan hanya fasilitator, tapi juga pelaku. Mereka membaca bersama siswa, merekomendasikan buku, dan memantik diskusi. Inilah bentuk literasi sebagai praktik sosial, bukan sekadar rutinitas sekolah.
Solusi: Bukan Anggaran, Tapi Imajinasi
Selama ini, kegagalan membangun budaya literasi sering ditimpakan pada minimnya dana. Padahal, yang lebih minim adalah imajinasi.
Kita butuh tiga hal, yaitu:
1. Relevansi: Bacaan dan kegiatan literasi harus terkoneksi dengan realitas siswa.
2. Partisipasi: Libatkan siswa sebagai pencipta, bukan sekadar konsumen bacaan.
3. Kolaborasi: Jadikan perpustakaan sebagai ruang bersama antara guru, siswa, dan masyarakat.
Jika model seperti SMPN 159 Jakarta direplikasi dan didukung kebijakan yang progresif, kita bisa menyuntikkan “nyawa” ke dalam perpustakaan sekolah yang selama ini sekarat. Perpustakaan harus jadi jantung inovasi, bukan museum buku pelajaran.
Literasi tak akan tumbuh dari ruang sunyi. Ia tumbuh dari interaksi, dari rasa ingin tahu, dan dari pengalaman bermakna. Saat perpustakaan sekolah dibangkitkan dari mati suri dan diberi nyawa baru lewat inovasi, kita sedang meletakkan pondasi peradaban yang lebih melek informasi, lebih adil, dan lebih kritis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI