Mohon tunggu...
Dinda Fatimah Zahra
Dinda Fatimah Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Faqod Faaz, nama pena dari Dinda Fatimah Zahra Syam Alfauzan, seorang mahasiswa Sosiologi di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia yang memiliki ketertarikan dalam bidang seni dan sastra, khususnya puisi. Terinspirasi oleh keragaman budaya dan dinamika sosial, ia kerap berusaha menghadirkan tulisan-tulisan reflektif yang tajam dan penuh makna. Mau kenal lebih dekat? Yuk, kepoin akun Instagram: @difaatimah_13.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Gender dalam Film Yuni, Melawan Partriarki di Tengah Norma Sosial

5 Desember 2024   11:35 Diperbarui: 5 Desember 2024   11:55 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film Yuni adalah karya Kamila Andini yang dirilis pada tahun 2021. Terinspirasi dari kisah nyata, film ini membahas isu-isu perempuan yang sering terjadi di masyarakat yang kental dengan budaya patriarki. 

Yuni tidak hanya menjadi refleksi budaya, tetapi juga menjadi terobosan dalam industri film Indonesia sebagai film pertama yang menggunakan bahasa Jaseng (Jawa Serang), yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banten. Diproduksi oleh Foucolours Films, Starvision, Akanga Film Asia, dan Manny Films, Yuni mendapatkan pengakuan internasional dengan memenangkan Platform Prize di Toronto International Film Festival (TIFF) 2021. 

Dengan penulisan cerita oleh Kamila Andini dan Prima Rusdi, serta dukungan produser seperti Ifa Isfansyah dan Chand Parwez Servia dan beberapa pemerannya Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Dimas Aditya, Neneng Risma, Vania Aurell, dll, film ini berhasil menyampaikan cerita perempuan dari sudut pandang lokal yang mendalam.

Film Yuni merupakan sebuah eksplorasi mendalam tentang realitas perempuan muda di masyarakat patriarkal, yang penuh dengan tekanan sosial dan tradisi. Yuni, seorang siswi SMA dengan kecerdasan luar biasa, bermimpi melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. 

Namun, mimpi ini berbenturan dengan ekspektasi keluarga dan masyarakat yang mendorongnya untuk menikah muda. Melalui karakter Yuni, film ini membawa penonton menyelami konflik batin seorang gadis yang mencoba melawan norma sosial sambil tetap menjaga hubungan dengan komunitasnya. 

Film ini menggunakan simbolisme visual yang kuat untuk menggambarkan tema utamanya. Warna ungu, yang menjadi elemen penting dalam film, tidak hanya mencerminkan karakter Yuni yang unik dan pemberontak, tetapi juga melambangkan ambiguitas emosinya.

 Ungu sering kali muncul dalam adegan-adegan di mana Yuni merasa terjebak antara tradisi dan impiannya, seperti ketika ia diam-diam mencoba mencicipi kebebasan melalui hal-hal kecil seperti menyanyi dan berbicara tentang cinta dengan teman-temannya. Ungu bukan hanya warna; ia menjadi representasi dari perjuangan batin yang berlapis.

Salah satu kekuatan film ini adalah penggunaan bahasa Jaseng (Jawa Serang), yang memberikan rasa autentik pada cerita. Dialog-dialog seperti, "Yuni, awakmu iso sekolah ning ora lali karo tanggung jawabmu ning omah," menggambarkan tekanan sosial yang terus-menerus dihadapi Yuni. Bahasa Jaseng memperkuat latar budaya dan mencerminkan kompleksitas kehidupan perempuan muda di pedesaan, di mana tradisi lokal sering kali menjadi penghalang bagi kebebasan individu.

 Selain itu, pilihan bahasa ini juga mengangkat identitas lokal yang jarang terwakili dalam perfilman Indonesia. Hubungan Yuni dengan keluarganya adalah gambaran nyata dari bagaimana norma patriarki diteruskan melalui struktur keluarga. Ibunya yang tampak penuh kasih sayang, tetap terjebak dalam pola pikir bahwa menikahkan anak perempuan adalah tanggung jawab utama orang tua. 

Salah satu adegan yang menyentuh adalah ketika ibunya berkata, "Nek iso lamaran iki diterima ae. Wong apik, iso jamin uripmu." Ucapan ini memperlihatkan bagaimana cinta seorang ibu bisa menjadi tekanan bagi seorang anak, terutama ketika cinta itu berbenturan dengan realitas sosial yang tidak berpihak pada kebebasan perempuan.

Film ini juga memanfaatkan simbol-simbol alam untuk menggambarkan konflik internal dan eksternal yang dialami Yuni. Adegan di mana Yuni berjalan sendirian di tengah ladang atau menatap langit malam adalah momen-momen sunyi yang penuh makna. Alam menjadi saksi bisu dari pencariannya akan kebebasan, tetapi juga menjadi pengingat akan keterbatasan ruang geraknya. 

Kontras antara keindahan pemandangan pedesaan dan tekanan sosial yang menghimpit Yuni menciptakan dinamika visual yang menggugah. Kritik terhadap sistem pendidikan juga menjadi elemen penting dalam film ini. Di sekolah, Yuni adalah siswa yang cerdas dan berprestasi, tetapi ia sering kali dihadapkan pada ekspektasi yang tidak relevan dengan pendidikannya. 

Guru-gurunya, meskipun mengapresiasi kepandaiannya, lebih sering menekankan pentingnya mengikuti norma sosial daripada mendukung mimpi Yuni. Hal ini terlihat dalam dialog, "Yuni, awakmu pintar, tapi ojo lali tanggung jawabmu ning masarakat." Kritik ini menyoroti bagaimana sistem pendidikan di daerah pedesaan sering kali memperkuat tradisi patriarkal, alih-alih menjadi alat pembebasan bagi perempuan.

Solidaritas perempuan adalah tema lain yang diangkat dengan sangat baik dalam film ini. Meskipun Yuni merasa terisolasi dalam lingkungannya, ia menemukan dukungan dari teman- temannya yang juga menghadapi tekanan serupa. 

Percakapan-percakapan mereka tentang cinta, pernikahan, dan impian menunjukkan bahwa meskipun norma sosial menekan mereka, ada harapan yang lahir dari kebersamaan. Adegan di mana mereka berbagi cerita sambil tertawa dan menangis bersama memperlihatkan kekuatan hubungan perempuan sebagai sumber dukungan emosional. 

Film ini juga berhasil membongkar mitos dan stigma yang sering kali digunakan untuk menakut- nakuti perempuan agar mengikuti norma sosial. Salah satu mitos yang diangkat adalah anggapan bahwa perempuan yang menolak lamaran akan sulit mendapatkan jodoh di masa depan.

 Dialog seperti, "Nek ditolak, iso-iso awakmu ora ono sing ngajak rabi maneh," memperlihatkan bagaimana masyarakat menggunakan rasa takut sebagai alat kontrol terhadap perempuan. Namun, Yuni, meskipun terpengaruh oleh mitos ini, tetap berusaha mempertahankan keyakinannya untuk mengejar mimpi.

Penggunaan musik tradisional dan suasana lokal juga memberikan kedalaman pada cerita. Musik latar yang sering kali menggunakan instrumen tradisional menciptakan nuansa yang melankolis namun indah, mencerminkan dualitas kehidupan Yuni. Suara gamelan yang lembut dalam adegan- adegan tertentu menjadi pengingat akan akar budayanya, sementara alunan musik modern yang sesekali muncul mencerminkan aspirasinya untuk melampaui batas-batas tradisi. 

Dengan memadukan elemen-elemen budaya lokal, visual yang kuat, dan narasi yang emosional, Yuni berhasil menjadi sebuah karya seni yang tidak hanya menghibur tetapi juga memprovokasi pemikiran. Film ini adalah refleksi mendalam tentang bagaimana perempuan muda menghadapi dunia yang penuh kontradiksi, di mana mereka harus memilih antara mengikuti impian mereka atau tunduk pada norma sosial yang membelenggu.

Adapun beberapa kutipan dari percakapan dalam film Yuni yaitu, "Wong wedok iku kudu manut, ora nglawan. Nek ora njaluk kawin saiki, kapan maneh? Wong wedok iku ra entuk telat. Yen wis ditolak loro, wedok iku ra bakal nduwe jodoh maneh. Sing penting bojone sugih, uripmu mesti gampang. Apa gunane sekolah dhuwur-dhuwur nek ujunge dadi ibu rumah tangga?" Kutipan-kutipan ini menggambarkan norma dan tekanan sosial yang kerap dialami perempuan dalam masyarakat patriarki, seperti yang dialami oleh Yuni dalam film ini.

Bagaimana Film Yuni Mengungkapkan Perlawanan Perempuan terhadap Patriarki dan Ketidakadilan Gender dalam Konteks Budaya Lokal?

Film Yuni, karya Kamila Andini, menawarkan lebih dari sekadar drama remaja tentang pencarian kebebasan. Dengan pertanyaan besar, Bagaimana perempuan melawan patriarki di tengah tekanan norma sosial dan budaya yang membelenggu? film ini mengupas perjuangan gender di Indonesia dengan mengangkat isu pernikahan dini, ketimpangan pendidikan, dan hak atas tubuh perempuan. 

Yuni berakhir dengan ironi yang menggambarkan kompleksitas perjuangan perempuan. Setelah menolak dua lamaran dan menghadapi tekanan sosial yang semakin besar, Yuni akhirnya menerima lamaran ketiga, tetapi bukan karena cinta atau keinginan pribadi. Pernikahan ini adalah kompromi pahit Yuni terhadap realitas yang tidak memberinya ruang untuk bermimpi. 

Namun, Yuni menunjukkan keberanian yang luar biasa di akhir film. Ketika ia memutuskan untuk pergi, meninggalkan pesta pernikahannya, ia mengambil langkah simbolis yang kuat untuk menolak norma sosial yang telah mengekangnya. Adegan ini tidak memberikan penutupan yang sepenuhnya bahagia tetapi mencerminkan realitas hidup banyak perempuan: perjuangan melawan patriarki sering kali berakhir dengan pengorbanan besar.

Patriarki dan Tradisi Lokal: Tradisi lokal menjadi instrumen utama patriarki dalam Yuni. Salah satu norma yang mencolok adalah kepercayaan bahwa perempuan yang menolak lebih dari dua lamaran akan menghadapi nasib buruk dan sulit menikah. Norma ini bukan hanya mitos belaka; ia mengakar dalam budaya dan menjadi alat untuk mengontrol perempuan. 

Kamila Andini menggunakan norma ini untuk menunjukkan bagaimana patriarki bekerja secara simbolik dan struktural. Dari perspektif feminisme radikal, tradisi ini adalah bentuk kekerasan simbolik yang merampas agensi perempuan, memaksa mereka tunduk pada ekspektasi masyarakat. Dengan menggambarkan Yuni yang melawan tradisi ini, film ini mengangkat pentingnya perlawanan terhadap norma-norma yang membelenggu kebebasan perempuan.

Ketimpangan Gender dalam Pendidikan: Ketegangan utama dalam Yuni adalah antara keinginan Yuni untuk melanjutkan pendidikan dan tekanan untuk menikah muda. Pendidikan adalah simbol kebebasan dan cara bagi perempuan untuk melawan patriarki, tetapi dalam masyarakat yang digambarkan dalam film, perempuan sering kali dianggap lebih baik menjalani peran domestik. 

Feminisme liberal menekankan bahwa pendidikan adalah alat penting untuk membebaskan perempuan dari sistem patriarki. Dalam Yuni, perjuangan untuk pendidikan bukan hanya soal akses tetapi juga melawan stigma bahwa perempuan tidak perlu pendidikan tinggi. Yuni menjadi simbol perempuan muda yang menolak narasi ini dan tetap teguh pada impiannya, meskipun akhirnya harus menghadapi batasan sosial yang keras.

Bahasa dan Representasi Budaya: Salah satu kekuatan unik film ini adalah penggunaan bahasa Jaseng, yang tidak hanya memperkaya representasi budaya tetapi juga menekankan konteks lokal perjuangan gender. Dengan mempertahankan bahasa lokal, Yuni menjadi film yang tidak hanya berbicara tentang feminisme secara global tetapi juga dalam kerangka budaya Indonesia. 

Namun, bahasa juga digunakan sebagai alat patriarki. Dalam dialog dan interaksi, terlihat bagaimana bahasa sering kali menguatkan norma yang menindas perempuan. Tetapi, melalui Yuni, bahasa juga menjadi alat resistensi: ia menggunakan bahasa lokal untuk menyuarakan ketidakpuasannya, menunjukkan bahwa perjuangan gender bisa dilakukan dari dalam budaya itu sendiri.

Perempuan sebagai Agen Patriarki: Yang menarik, patriarki dalam Yuni tidak hanya ditegakkan oleh laki-laki. Perempuan di sekitar Yuni -ibunya, neneknya, dan tetangganya- sering kali menjadi agen patriarki tanpa sadar. Mereka mendorong Yuni untuk menikah muda, menerima lamaran demi "kebaikan" keluarganya, dan mengabaikan aspirasinya. 

Dari perspektif feminisme postmodern, hal ini menunjukkan kompleksitas perjuangan gender. Patriarki bukan hanya tentang dominasi laki-laki, tetapi juga bagaimana norma sosial terinternalisasi oleh perempuan sendiri. Film ini mengajak penonton untuk memahami bahwa perubahan harus dimulai dengan kesadaran kolektif, termasuk dari sesama perempuan.

Kebebasan atas Tubuh Perempuan: Pernikahan dalam Yuni tidak hanya soal membangun rumah tangga, tetapi juga simbol kontrol patriarki atas tubuh perempuan. Penolakan Yuni terhadap lamaran adalah bentuk klaim atas haknya untuk menentukan masa depan dan tubuhnya sendiri. Feminisme radikal menekankan bahwa kontrol atas tubuh perempuan adalah inti dari patriarki. 

Dalam Yuni, Kamila Andini dengan tegas menyampaikan bahwa perempuan harus memiliki hak penuh atas tubuh dan keputusannya, bahkan ketika ini berarti melawan norma sosial.

Selain isu besar seperti pernikahan dini, Yuni juga mengangkat kritik terhadap ketimpangan gender dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan rumah tangga, ekspektasi sosial, dan beban emosional perempuan digambarkan secara subtil tetapi kuat. Feminisme postmodern mengkritik norma-norma yang tampak "biasa" tetapi sebenarnya mengekalkan ketimpangan gender. 

Film ini mengingatkan kita bahwa perjuangan feminisme bukan hanya tentang kebijakan besar tetapi juga tentang mengubah pandangan dan kebiasaan sehari-hari.

Yuni bukan hanya cerita tentang seorang perempuan muda yang melawan patriarki, tetapi juga pengingat bagi kita semua tentang pentingnya mendukung hak perempuan untuk bermimpi dan memilih jalannya sendiri. 

Kamila Andini dengan cerdas menggambarkan bahwa perjuangan gender harus dipahami dalam konteks budaya lokal yang unik. Akhir film yang ambigu, di mana Yuni meninggalkan pesta pernikahannya, menguatkan pesan bahwa perjuangan perempuan untuk kebebasan sering kali harus dilakukan dengan keberanian yang luar biasa, bahkan ketika hasilnya tidak sepenuhnya pasti.

Film ini sangat relevan dengan masyarakat Indonesia, di mana praktik pernikahan dini, ketidakadilan gender, dan kontrol atas tubuh perempuan masih menjadi isu besar. Melalui representasi budaya lokal yang autentik dan narasi yang kuat, Yuni menjadi karya penting yang tidak hanya menginspirasi tetapi juga memprovokasi diskusi tentang perubahan sosial. 

Dengan demikian, Yuni adalah lebih dari sekadar film; ia adalah pernyataan politik, sosial, dan budaya tentang pentingnya kebebasan, kesetaraan, dan hak perempuan untuk menentukan masa depan mereka sendiri.

Referensi :
Bourdieu, Pierre. Masculine Domination. 2001.
Tong, Rosemarie. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. 2009. Hooks, Bell. Feminism is for Everybody: Passionate Politics. 2000.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun