Mohon tunggu...
Dinda Fatimah Zahra
Dinda Fatimah Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Faqod Faaz, nama pena dari Dinda Fatimah Zahra Syam Alfauzan, seorang mahasiswa Sosiologi di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia yang memiliki ketertarikan dalam bidang seni dan sastra, khususnya puisi. Terinspirasi oleh keragaman budaya dan dinamika sosial, ia kerap berusaha menghadirkan tulisan-tulisan reflektif yang tajam dan penuh makna. Mau kenal lebih dekat? Yuk, kepoin akun Instagram: @difaatimah_13.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Gender dalam Film Yuni, Melawan Partriarki di Tengah Norma Sosial

5 Desember 2024   11:35 Diperbarui: 5 Desember 2024   11:55 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebebasan atas Tubuh Perempuan: Pernikahan dalam Yuni tidak hanya soal membangun rumah tangga, tetapi juga simbol kontrol patriarki atas tubuh perempuan. Penolakan Yuni terhadap lamaran adalah bentuk klaim atas haknya untuk menentukan masa depan dan tubuhnya sendiri. Feminisme radikal menekankan bahwa kontrol atas tubuh perempuan adalah inti dari patriarki. 

Dalam Yuni, Kamila Andini dengan tegas menyampaikan bahwa perempuan harus memiliki hak penuh atas tubuh dan keputusannya, bahkan ketika ini berarti melawan norma sosial.

Selain isu besar seperti pernikahan dini, Yuni juga mengangkat kritik terhadap ketimpangan gender dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan rumah tangga, ekspektasi sosial, dan beban emosional perempuan digambarkan secara subtil tetapi kuat. Feminisme postmodern mengkritik norma-norma yang tampak "biasa" tetapi sebenarnya mengekalkan ketimpangan gender. 

Film ini mengingatkan kita bahwa perjuangan feminisme bukan hanya tentang kebijakan besar tetapi juga tentang mengubah pandangan dan kebiasaan sehari-hari.

Yuni bukan hanya cerita tentang seorang perempuan muda yang melawan patriarki, tetapi juga pengingat bagi kita semua tentang pentingnya mendukung hak perempuan untuk bermimpi dan memilih jalannya sendiri. 

Kamila Andini dengan cerdas menggambarkan bahwa perjuangan gender harus dipahami dalam konteks budaya lokal yang unik. Akhir film yang ambigu, di mana Yuni meninggalkan pesta pernikahannya, menguatkan pesan bahwa perjuangan perempuan untuk kebebasan sering kali harus dilakukan dengan keberanian yang luar biasa, bahkan ketika hasilnya tidak sepenuhnya pasti.

Film ini sangat relevan dengan masyarakat Indonesia, di mana praktik pernikahan dini, ketidakadilan gender, dan kontrol atas tubuh perempuan masih menjadi isu besar. Melalui representasi budaya lokal yang autentik dan narasi yang kuat, Yuni menjadi karya penting yang tidak hanya menginspirasi tetapi juga memprovokasi diskusi tentang perubahan sosial. 

Dengan demikian, Yuni adalah lebih dari sekadar film; ia adalah pernyataan politik, sosial, dan budaya tentang pentingnya kebebasan, kesetaraan, dan hak perempuan untuk menentukan masa depan mereka sendiri.

Referensi :
Bourdieu, Pierre. Masculine Domination. 2001.
Tong, Rosemarie. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. 2009. Hooks, Bell. Feminism is for Everybody: Passionate Politics. 2000.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun