Mohon tunggu...
Dina Amelia Putri
Dina Amelia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi/ FISIP/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Paksa, Bisa, hingga kamu Terbiasa

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas"

4 November 2022   20:14 Diperbarui: 7 November 2022   16:14 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Identitas Buku

Judul                   :Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitias

Penulis               : Neng Dara Affiah

Penerbit             : Yayasan Pustiaka Obor Indonesia

ISBN                    : 978-602-433-55-7

Ukuran               : 14.5 x 21 cm

Halaman            : 200 halaman

Harga                  : Rp. 106.000

Tahun Terbit   : Desember 2017

Sinopsis/Pembahasan

Sebelum kita membahas dari keseluruhan buku ini, kita juga harus mengetahui apa saja yang akan dibahas dalam buku ini. Dalam buku yang berjudul Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas terdapat tiga bab, yaitu Bab Pertama : Islam dan Kepemimpinan Perempuan; Bab kedua, Islam dan Seksualitas Perempuan; Bab ketiga, Perempuan, Islam dan Negara. Saya akan membahas satu persatu dalam bab ini.

Pada bab pertama yaitu “Islam dan Kepemimpinan Perempuan” bahwa salah satu keutamaan ajaran Islam dalam memandang manusia secara setara dengan tidak membeda-bedakannya berdasarkan kelas sosial (kasta), ras, dan jenis kelamin.

Dalam buku ini, penulis mencoba mencantumkan salah satu kutipan “Dalam Islam, yang membedakan seseorang dengan yang lain adalah kualitas ketaqwaannya, kebaikannya selama hidup di dunia, dan warisan amal baik yang ditinggalkannya setelah ia meninggal (Qs. Al-Hujurat 49:13).  “

Dan secara singkatnya, bagian pertama buku ini menjelaskan Islam memandang setiap manusia adalah sama tanpa membedakannya berdasarkan kelas sosial (kasta), ras dan jenis kelamin. Dalam Islam, yang membedakan seseorang dengan yang lainnya hanyalah kualitas dan ketaqwaannya serta amal baik.

Dalam bab pertama penulis mencoba menjelaskan apabila di dalam Islam memiliki ajaran tentang kesetaraan manusia, maka bagaimana dengan kepemimpinan perempuan dalam Islam? Konsep dasar Islam yang dimaknai bahwa Allah menciptakan manusia antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin dan pemimpin disini bisa menjadi pemimpin pemerintahan, pendidikan atau bahkan keluarga. Penulis mencantumkan kutipan hadis Riwayat Ibn Abbas “Masing-masing kamu adalah pemimpin. Dan masing-masing kamu bertanggung jawab atas yang dipimpin.” Dan penulis mencoba untuk menggambarkan perdebatan antara dua kubu, kubu yang pro terhadap perempuan dalam memimpin suatu kedudukan dan kubu kontra terhadap perempuan yang diberikan hak kursi kepemimpinan, bagi kubu kontra yang melihat bahwa apabila kepemimpinan seorang perempuan maka akan timbul persoalan teologis yang menjadi sebuah alasan. Ayat Al-Qur’an “Laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan.” (An-Nisa:34) Qawwam menjadi dasar dari kubu kontra terhadap kepemimpinan perempuan.

Para ahli tafsir klasik dan modern mencoba untuk mengartikan “Penanggung jawab, memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan, pemimpin, menjaga sepenuhnya secara fisik dan moral, penguasa, yang memiliki kelebihan atas yang lain, dan pria menjadi pengelola masalah perempuan.”

Dari pemaknaan itu yang terlihat bahwa perempuan berada pada posisi yang inferior terhadap laki-laki. Argument lain, bahwa pihak laki-laki memiliki aset kekayaan yang mampu menghidupi istri dalam bentuk maskawin dan pembiayaan keluarga dalam kehidupan sehari-hari, selain itu bahwa laki-laki dianggap memiliki kelebihan penalaran, tekad yang kuat, keteguhan, kekuatan, dan kemampuan tulisan. 

Karena itu laki-laki para nabi, ulama dan imam. 

Dan kubu pro terhadap kepemimpinan perempuan berargumen bahwa makna tersebut, yakni karena Allah telah memberikan kelebihan (kekuatan) pada yang satu atas yang lain, dan para ahli tafsir berperspektif feminis bersifat relatif dan tergantung kepada kualitas masing-masing individu dan bukan karena sifat gendernya.

Dalam buku tersebut terdapat pernyataan lain, seperti tokoh Asghar Ali Engineer yang menyatakan bahwa pernyataan Al-Qur’an karena Allah memberikan kelebihan (kekuatan) pada yang satu atas yang lain, sesungguhnya merupakan pengakuan bahwa dalam realitas sejarah kaum perempuan pada saat itu sangat rendah dan pekerjaan yang umum layaknya semua pekerjaan rumah dianggap kewajiban perempuan. 

Sementara laki-laki menganggap dirinya lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka memberi nafkah dan menuntaskan segala kebutuhan untuk perempuan dan keluarganya. Dari pernyataan tersebut.

Menurut Fazrul Rahman, beliau menafsirkan bahwa “kelebihan” yang dimiliki laki-laki bukanlah bersifat hakiki, melainkan bersifat fungsional. Sejalan dengan tafsiran Fazrul Rahman, Amina Wadud menyatakan bahwa laki-laki qawwamun atas perempuan tidaklah lahir secara otomatis, sebab hal tersebut hanya terjadi secara fungsional selama yang bersangkutan memiliki kriteria Al- Qur’an.

Penolakan kepemimpinan perempuan merujuk pada hadis, “ Tidak akan berjaya suatu kaum jika  kepemimpinannya diserahkan kepada perempuan (Lan yufliha qaumun imra’atan).” Kemudian Fatima Mernissi melakukan observasi secara mendalam tentang hadis tersebut. Dari pengamatannya,Mernissi menemukan beberapa temuan: pertama, hadis ini diucapkan Nabi untuk menggambarkan negeri Persia yang saat itu sedang berada di ujung tanduk kehancuran karena dipimpin oleh seorang perempuan yang tidak memiliki kualitas yang memadai. Kedua, hadis ini dikemukakan kembali oleh perawinya, yaitu Abu Bakrah , ketika ia melihat ada tanda-tanda perpecahan di antara umat Islam karena peristiwa Perang Shiffin (unta) antara Khalifah Ali dan Siti Aisyah. Ketiga, hadis ini hanya diriwayatkan oleh satu orang, Abu Bakrah. Menurut ahli hadis, apabila sebuah hadis hanya diriwayatkan oleh satu orang (hadis ahad) , maka hadis tersebut harus diragukan keontentikannya.

Adanya faktor yang menyumbat potensi kepemimpinan perempuan, diantaranya adalah pemahaman yang salah kaprah tentang ajaran Islam. Dan faktor lainnya adalah ego kolektif masyarakat muslim yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai patriarki dan menganggap laki-laki sebagai peran utama dan perempuan sebagai pendukung.

Selanjutnya, bab kedua membahas Islam dan Seksualitas Perempuan. Dalam bab ini penulis mencoba untuk menggambarkan point penting dalam pembahasan, pada poin pertama penulis membahas dan menjelaskan bagaimana konsep perkawinan pada tiga agama antara Yahudi, Nasrani, dan Islam. Penulis mencoba memaparkan fungsi dan tujuan perkawinan, tata aturan dan pengaturan perkawinan antar agama. Poin kedua, membahas perkawinan poligami di dunia Islam dan di Indonesia. Poin ketiga, memaparkan seputar jilbab dan aurat perempuan dan poin keempat, menjelaskan perkawinan dan control atas seksualitas perempuan.

Pembahasan yang di dapat mengenai fungsi perkawinan, menurut salah satu tafsir agama adalah menciptakan ketentraman dan kedamaian di antara dua orang anak manusia, laki-laki dan perempuan pada suatu ikrar atau janji suci atas nama Tuhan. 

Namun, untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian itu, tafsir agama menempatkan perempuan pada ranah domestic dengan melekatkannya sebagai penjaga “gawang” kebahagiaan dalam rumah tangga yang terwujud dalam bentuk merawat anak, mendampingi serta melayani suami kapan pun.

Pernyataan tersebut dikuatkan kembali oleh penulis dengan mencantumkan Surah Al-Ahzab ayat 73 “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu.” 

Dalam kutipan ayat tersebut, dimaknai oleh agamawan konservatif sebagai perintah untuk perempuan berdiam diri di rumah dan jika harus keluar maka hanya dalam darurat. Lalu dengan Nasrani (Katolik), dalam ajarannya tafsir-tafsir menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap laki-laki dan mematuhinya sebagaimana ia mematuhi Yesus.

Pandangan-pandangan keagamaan itu yang mempengaruhi sudut pandang masyarakat terhadap keberadaan sosok perempuan. Perempuan hanya direduksi perannya sebagai seorang ibu dan istri, bukan untuk sebagai sosok manusia yang memiliki otonomi atas kemerdekaan dan kebebasan dirinya sendiri serta memainkan peran yang diinginkannya.

Fungsi lain dari perkawinan, untuk melahirkan keturunan. Keturunan disini bukan hanya bersifat biologis, melainkan juga untuk kepentingan meneruskan ajaran agamanya. 

Contoh yang dituliskan, agama Yahudi secara jelas menyatakan akan fungsi tersebut sebagai adanya keturunan terdapat wahana untuk meneruskan perjanjian dari generasi ke generasi yang tidak hanya merupakan sejarah dari kelangsungan hidup Yahudi, tetapi juga bagi kelangsungan teologinya. 

Ini yang disebutkan dalam kitab Taurat yang menyatakan “Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu.” (Kejadian 1:28). Selanjutnya, melihat dari agama Islam yang memandang fungsi ini sama. Di dalam Al-Qur’an Islam menyatakan bahwa kesinambungan ajaran agama Islam ditentukan oleh kelanjutan keturunanya dan keturunannya lahir dari keluarga muslim harus mematuhi agamanya.

Dalam buku ini dijelaskan pula, bahwa fungsi perkawinan sebagai melahirkan keturunan tidak lepas dari penolakan. Penolakan ini terkait bagaimana jika kedua orang tuanya menikah berbeda keyakinan? Argumentasi penolakan perkawinan beda agama karena berdasarkan pada kekhawatiran terhadap pendidikan agama anak dan kepindahannya pada agama lain.

Sebagaimana yang dijelaskan penulis, bahwa fungsi keturunan dalam agama adalah usaha untuk melestarikan ajaran agama dan meneruskan nilai-nilai agama.

Adanya kritik yang dikemukakan oleh ahli hukum berperspektif feminis terhadap hukum keluarga dalam Islam bahwa posisi perempuan pada materi hukum keberadaanya hanya menjadi objek perbincangan pengaturan, tetapi tidak dipandang sebagai subjek yang dapat mengatur dirinya, perempuan pada posisinya ini sengaja dibisukan dengan mencari argumentasi bahwa suaranya merupakan aurat yang harus dihindari dari pendengaran public sebagaimana tubuhnya harus disembunyikan dari mata public.

Beberapa pemikir muslim kontemporer menyatakan, salah satu pemicu terpuruknya dunia Islam di tengah-tengah percaturan global adalah lemahnya generasi umat Islam akibat perkawinan poligami. Poligami atau poligini adalah praktik perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan dua orang atau lebih perempuan pada saat yang bersamaan. 

Praktik ini demikian permissive (longgar) dilakukan oleh banyak laki-laki di dunia muslim, tak terkecuali Indonesia. Alasannya adalah kuatnya anggapan bahwa laki-laki memiliki dorongan seksual yang tinggi dibandingkan dengan perempuan. 

Argumentasi poligami untuk mewadahi hasrat seksual laki-laki jelas bertentangan dengan semangat Al-Qur’an , karena Al-Qur’an mengajarkan pentingnya pengendalian diri dan hawa nafsu, terutama dalam aspek seksualitas. Islam tidak menghapus serta melarang praktik poligami melainkan hanya membatasi dengan ketat praktik ini. 

Pertama, Islam memberikan batasan pada jumlah istri yang dinikahi secara bersamaan, yakni maksimal hanya empat. Kedua, adanya syarat ketat yang harus dipenuhi apabila laki-laki muslim ingin melakukan poligami, yaitu ia harus mampu bersikap adil, adil terhadap harta, waktu, dan anak. Keadilan merupakan fokus utama dalam Islam dalam menanggapi masalah ini.

Pada bab ketiga, penulis membahas tentang Perempuan, Islam, dan Negara. Pada bab ini, terdapat bagian poin pembahasan penting mengenai Feminisme dan Islam di Indonesia: Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pelembagaannya, Gerakan Perempuan dalam Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Marginalisasi dan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Pada Kelompok Agama Minoritas sebagai Tantangan Gerakan Perempuan, Patriarki dan Sektarian: Wajah Dakwah dalam Komunitas Islam, Organisasi Kekerasan dan Teror Rahim, Peran Pria dalam Perjuangan Hak-Hak Perempuan, Keperawanan (virginitas) dalam Perspektif Islam, dan yang terakhir adalah Inses (incest) dalam Perspektif Agama-Agama.

Feminisme dan Islam merupakan sebuah teori yang menjembatani kesenjangan antara konsepsi keadilan yang mempengaruhi dan menopang penafsiran dominan terhadap syariah di satu sisi dan HAM di sisi lainnya.

Ia muncul pada dasawarsa 1990 an dengan penekanan bahwa modernitas merupakan sesuatu yang kompatibel (memiliki kesesuaian) dengan Islam dan bahwa pemahaman manusia terhadap teks-teks suci Islam merupakan sesuatu yang lentur, teks dapat diinterpretasikan untuk mendorong pluralism, HAM, demokrasi, dan kesetaraan gender (Mir-Hosseini: 2010:22-23)

Feminisme Islam mendasarkan kerangka kerjanya pada sumber-sumber utama ajaran Islam, yakni Al-Qur’an, Hadis dan seperangkat hukum Islam lainnya (Barlas: 2003: 27).

Dalam perkembangan saat ini, alat analisis feminisme yang dipergunakan adalah analisa gender. Feminisme Islam memiliki kerangka kerja yang berpegang terhadap sumber Islam, antara Al-Qur’an, Hadis dan Hukum Islam. 

Di Indonesia pertumbuhan dan perkembangan feminism yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi dilatarbelakangi pertama, situasi politik represif di bawah pemerintahan Soeharto, yang menempatkan peran perempuan semata-mata hanya sebagai istri dan ibu. 

Kedua, Indonesia meratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang mengakui hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia serta menjamin hak pendidikan dan partisipasi politik setara dengan laki-laki. 

Ketiga, kebutuhan masyarakat Islam dalam menafsirkan kembali teks-teks Islam dengan cara pandang yang baru lebih ramah terhadap perempuan dan merespon masalah hak-hak perempuan dengan pendekatan agama.

Pelembagaan feminisme dan Islam dalam wujud gerakan pemikiran dan gerakan sosial dalam organisasi Islam setidaknya dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, mengintegrasikan paradigma feminisme dalam kerangka kerja organisasi Islam progresif di Indonesia. Kerja-kerja organisasi dengan fokus feminisme dan Islam dan menerjemahkan dalam bahasa sederhana, mensosialisasikannya lewat berbagai media pendidikan dan lembaga layanan perempuan korban kekerasan.

Pembahasan selanjutnya, penulis menjelaskan virginitas (keperawanan) dimana ini menjadi konsep yang dibentuk oleh konstruksi nilai dari masyarakat patriarki yang tujuannya untuk pengutamaan laki-laki dan melihat perempuan hanya dari selaput dara bukan kepribadiannya maupun pemikirannya. Keperawanan dalam Islam setidaknya diperbincangkan dalam tiga aspek: aspek pertama, berhubungan dengan status seorang perempuan yang sudah kawin atau janda. Aspek kedua, berhubungan dengan usaha menghindari praktik hubungan seksual di luar nikah. 

Aspek ketiga, berhubungan dengan konstruksi “harga” bagi seorang perempuan dalam perspektif masyarakat patriarkis. Dalam Islam, Al-Qur’an dalam Surah An-Nisaa ayat 23 secara eksplisit melarang para laki-laki mengawini ibu, anak perempuan, saudara perempuan, mertua perempuan, saudara perempuan sepersusuan, bibi, keponakan perempuan dalam hubungan sepersusuan dan seterusnya. 

Hal yang sama juga berlaku dalam ajaran agama Yahudi yang melarang para laki-laki mengawini perempuan dalam empat generasi keluarga. Jika pelarangan ini diabaikan, maka pelakunya akan dipandang telah melakukan kejahatan dan akan memperoleh hukuman yang sangat berat hingga pembunuhan. 

Kesimpulan dan Penilaian

Buku yang berjudul “Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas.” Setelah saya mencoba untuk membaca secara keseluruhan, buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca apalagi kita sebagai kaum perempuan.

Secara tidak sadar, setelah saya membaca buku ini pemikiran dan pola pikir saya seketika terbangun dalam melihat bagaimana kepemimpinan perempuan yang masih belum terlalu diakui karena masih adanya sistem patriarki, selain itu kita bisa mengambil kesimpulan bagaimana pandangan-pandangan keagamaan itu yang mempengaruhi sudut pandang masyarakat terhadap keberadaan sosok perempuan.

Perempuan hanya direduksi perannya sebagai seorang ibu dan istri, bukan untuk sebagai sosok manusia yang memiliki otonomi atas kemerdekaan dan kebebasan dirinya sendiri serta memainkan peran yang diinginkannya. 

Dan berarti kita sebagai perempuan hebat harus bisa berwawasan luas untuk memperjuangkan kesetaraan dan hak kita sebagai seorang perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun