Mohon tunggu...
Dina Amelia Putri
Dina Amelia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi/ FISIP/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Paksa, Bisa, hingga kamu Terbiasa

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas"

4 November 2022   20:14 Diperbarui: 7 November 2022   16:14 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada bab pertama yaitu “Islam dan Kepemimpinan Perempuan” bahwa salah satu keutamaan ajaran Islam dalam memandang manusia secara setara dengan tidak membeda-bedakannya berdasarkan kelas sosial (kasta), ras, dan jenis kelamin.

Dalam buku ini, penulis mencoba mencantumkan salah satu kutipan “Dalam Islam, yang membedakan seseorang dengan yang lain adalah kualitas ketaqwaannya, kebaikannya selama hidup di dunia, dan warisan amal baik yang ditinggalkannya setelah ia meninggal (Qs. Al-Hujurat 49:13).  “

Dan secara singkatnya, bagian pertama buku ini menjelaskan Islam memandang setiap manusia adalah sama tanpa membedakannya berdasarkan kelas sosial (kasta), ras dan jenis kelamin. Dalam Islam, yang membedakan seseorang dengan yang lainnya hanyalah kualitas dan ketaqwaannya serta amal baik.

Dalam bab pertama penulis mencoba menjelaskan apabila di dalam Islam memiliki ajaran tentang kesetaraan manusia, maka bagaimana dengan kepemimpinan perempuan dalam Islam? Konsep dasar Islam yang dimaknai bahwa Allah menciptakan manusia antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin dan pemimpin disini bisa menjadi pemimpin pemerintahan, pendidikan atau bahkan keluarga. Penulis mencantumkan kutipan hadis Riwayat Ibn Abbas “Masing-masing kamu adalah pemimpin. Dan masing-masing kamu bertanggung jawab atas yang dipimpin.” Dan penulis mencoba untuk menggambarkan perdebatan antara dua kubu, kubu yang pro terhadap perempuan dalam memimpin suatu kedudukan dan kubu kontra terhadap perempuan yang diberikan hak kursi kepemimpinan, bagi kubu kontra yang melihat bahwa apabila kepemimpinan seorang perempuan maka akan timbul persoalan teologis yang menjadi sebuah alasan. Ayat Al-Qur’an “Laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan.” (An-Nisa:34) Qawwam menjadi dasar dari kubu kontra terhadap kepemimpinan perempuan.

Para ahli tafsir klasik dan modern mencoba untuk mengartikan “Penanggung jawab, memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan, pemimpin, menjaga sepenuhnya secara fisik dan moral, penguasa, yang memiliki kelebihan atas yang lain, dan pria menjadi pengelola masalah perempuan.”

Dari pemaknaan itu yang terlihat bahwa perempuan berada pada posisi yang inferior terhadap laki-laki. Argument lain, bahwa pihak laki-laki memiliki aset kekayaan yang mampu menghidupi istri dalam bentuk maskawin dan pembiayaan keluarga dalam kehidupan sehari-hari, selain itu bahwa laki-laki dianggap memiliki kelebihan penalaran, tekad yang kuat, keteguhan, kekuatan, dan kemampuan tulisan. 

Karena itu laki-laki para nabi, ulama dan imam. 

Dan kubu pro terhadap kepemimpinan perempuan berargumen bahwa makna tersebut, yakni karena Allah telah memberikan kelebihan (kekuatan) pada yang satu atas yang lain, dan para ahli tafsir berperspektif feminis bersifat relatif dan tergantung kepada kualitas masing-masing individu dan bukan karena sifat gendernya.

Dalam buku tersebut terdapat pernyataan lain, seperti tokoh Asghar Ali Engineer yang menyatakan bahwa pernyataan Al-Qur’an karena Allah memberikan kelebihan (kekuatan) pada yang satu atas yang lain, sesungguhnya merupakan pengakuan bahwa dalam realitas sejarah kaum perempuan pada saat itu sangat rendah dan pekerjaan yang umum layaknya semua pekerjaan rumah dianggap kewajiban perempuan. 

Sementara laki-laki menganggap dirinya lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka memberi nafkah dan menuntaskan segala kebutuhan untuk perempuan dan keluarganya. Dari pernyataan tersebut.

Menurut Fazrul Rahman, beliau menafsirkan bahwa “kelebihan” yang dimiliki laki-laki bukanlah bersifat hakiki, melainkan bersifat fungsional. Sejalan dengan tafsiran Fazrul Rahman, Amina Wadud menyatakan bahwa laki-laki qawwamun atas perempuan tidaklah lahir secara otomatis, sebab hal tersebut hanya terjadi secara fungsional selama yang bersangkutan memiliki kriteria Al- Qur’an.

Penolakan kepemimpinan perempuan merujuk pada hadis, “ Tidak akan berjaya suatu kaum jika  kepemimpinannya diserahkan kepada perempuan (Lan yufliha qaumun imra’atan).” Kemudian Fatima Mernissi melakukan observasi secara mendalam tentang hadis tersebut. Dari pengamatannya,Mernissi menemukan beberapa temuan: pertama, hadis ini diucapkan Nabi untuk menggambarkan negeri Persia yang saat itu sedang berada di ujung tanduk kehancuran karena dipimpin oleh seorang perempuan yang tidak memiliki kualitas yang memadai. Kedua, hadis ini dikemukakan kembali oleh perawinya, yaitu Abu Bakrah , ketika ia melihat ada tanda-tanda perpecahan di antara umat Islam karena peristiwa Perang Shiffin (unta) antara Khalifah Ali dan Siti Aisyah. Ketiga, hadis ini hanya diriwayatkan oleh satu orang, Abu Bakrah. Menurut ahli hadis, apabila sebuah hadis hanya diriwayatkan oleh satu orang (hadis ahad) , maka hadis tersebut harus diragukan keontentikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun