Mohon tunggu...
Dina Amelia Putri
Dina Amelia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi/ FISIP/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Paksa, Bisa, hingga kamu Terbiasa

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas"

4 November 2022   20:14 Diperbarui: 7 November 2022   16:14 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adanya kritik yang dikemukakan oleh ahli hukum berperspektif feminis terhadap hukum keluarga dalam Islam bahwa posisi perempuan pada materi hukum keberadaanya hanya menjadi objek perbincangan pengaturan, tetapi tidak dipandang sebagai subjek yang dapat mengatur dirinya, perempuan pada posisinya ini sengaja dibisukan dengan mencari argumentasi bahwa suaranya merupakan aurat yang harus dihindari dari pendengaran public sebagaimana tubuhnya harus disembunyikan dari mata public.

Beberapa pemikir muslim kontemporer menyatakan, salah satu pemicu terpuruknya dunia Islam di tengah-tengah percaturan global adalah lemahnya generasi umat Islam akibat perkawinan poligami. Poligami atau poligini adalah praktik perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan dua orang atau lebih perempuan pada saat yang bersamaan. 

Praktik ini demikian permissive (longgar) dilakukan oleh banyak laki-laki di dunia muslim, tak terkecuali Indonesia. Alasannya adalah kuatnya anggapan bahwa laki-laki memiliki dorongan seksual yang tinggi dibandingkan dengan perempuan. 

Argumentasi poligami untuk mewadahi hasrat seksual laki-laki jelas bertentangan dengan semangat Al-Qur’an , karena Al-Qur’an mengajarkan pentingnya pengendalian diri dan hawa nafsu, terutama dalam aspek seksualitas. Islam tidak menghapus serta melarang praktik poligami melainkan hanya membatasi dengan ketat praktik ini. 

Pertama, Islam memberikan batasan pada jumlah istri yang dinikahi secara bersamaan, yakni maksimal hanya empat. Kedua, adanya syarat ketat yang harus dipenuhi apabila laki-laki muslim ingin melakukan poligami, yaitu ia harus mampu bersikap adil, adil terhadap harta, waktu, dan anak. Keadilan merupakan fokus utama dalam Islam dalam menanggapi masalah ini.

Pada bab ketiga, penulis membahas tentang Perempuan, Islam, dan Negara. Pada bab ini, terdapat bagian poin pembahasan penting mengenai Feminisme dan Islam di Indonesia: Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pelembagaannya, Gerakan Perempuan dalam Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Marginalisasi dan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Pada Kelompok Agama Minoritas sebagai Tantangan Gerakan Perempuan, Patriarki dan Sektarian: Wajah Dakwah dalam Komunitas Islam, Organisasi Kekerasan dan Teror Rahim, Peran Pria dalam Perjuangan Hak-Hak Perempuan, Keperawanan (virginitas) dalam Perspektif Islam, dan yang terakhir adalah Inses (incest) dalam Perspektif Agama-Agama.

Feminisme dan Islam merupakan sebuah teori yang menjembatani kesenjangan antara konsepsi keadilan yang mempengaruhi dan menopang penafsiran dominan terhadap syariah di satu sisi dan HAM di sisi lainnya.

Ia muncul pada dasawarsa 1990 an dengan penekanan bahwa modernitas merupakan sesuatu yang kompatibel (memiliki kesesuaian) dengan Islam dan bahwa pemahaman manusia terhadap teks-teks suci Islam merupakan sesuatu yang lentur, teks dapat diinterpretasikan untuk mendorong pluralism, HAM, demokrasi, dan kesetaraan gender (Mir-Hosseini: 2010:22-23). 

Feminisme Islam mendasarkan kerangka kerjanya pada sumber-sumber utama ajaran Islam, yakni Al-Qur’an, Hadis dan seperangkat hukum Islam lainnya (Barlas: 2003: 27).

Dalam perkembangan saat ini, alat analisis feminisme yang dipergunakan adalah analisa gender. Feminisme Islam memiliki kerangka kerja yang berpegang terhadap sumber Islam, antara Al-Qur’an, Hadis dan Hukum Islam. 

Di Indonesia pertumbuhan dan perkembangan feminism yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi dilatarbelakangi pertama, situasi politik represif di bawah pemerintahan Soeharto, yang menempatkan peran perempuan semata-mata hanya sebagai istri dan ibu. 

Kedua, Indonesia meratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang mengakui hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia serta menjamin hak pendidikan dan partisipasi politik setara dengan laki-laki. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun