Penulis: Dina Amalia
Buku menjadi barang yang setiap waktu nggak pernah lepas dari pandangan. Entah sambil melayani pelanggan online yang ngajak berdiskusi, cek dan ricek kondisi buku yang akan dipasarkan atau sudah dipesan, sekedar merapikan posisi buku yang berantakan, ataupun sekedar lewat depan rak.
Pun saat mulung yang bekas dan lawas, puluhan buku penuhi mata tanpa sela. Begitulah kiranya hari-hari menjadi tukang buku.
Meski dominan berisi buku bekas dan lawas, berusaha menancapkan dan mengokohkan pagar komitmen yang kuat, bahwa hanya versi original yang boleh masuk tertata dan dijual.
Sebab, memposisikan diri sebagai penjual bukan hanya mau untungnya saja, melainkan juga turut menghargai karya si penulis buku-buku yang tertata walaupun dengan langkah kecil.
Sempat ada yang bertanya, "Hari-hari sama buku, pernah nggak beli dan baca buku bajakan?"
Jawabannya: tentu, pernah. Lho, kenapa? Katanya tukang buku original dan selalu menyerukan soal dampak buku bajakan?
Hipnotis: Terkecoh Harga, Buta Arah, Disesatkan Istilah
Menapaki semester awal perkuliahan, buku cetak menjadi media dan sumber utama untuk menopang pembelajaran yang wajib digunakan. Kala bertemu mata kuliah Sosiologi Komunikasi, sang dosen tegas hanya mengizinkan untuk membeli dan menggunakan buku original saat perkuliahan berlangsung.
Bukan sekedar memerintah, tetapi beliau juga memberikan bantuan akses untuk pemesanan buku original yang langsung terhubung dengan penerbit. Harga buku tersebut berkisar Rp 120.000.
Mendengar harga yang diumumkan, sebagian besar mahasiswa menggerutu karena merasa terlalu mahal hanya untuk satu buku saja. Tak sedikit pula yang langsung mengaitkan masalah pengeluaran pribadinya per bulan, jika benar-benar harus membeli bukunya.