Mohon tunggu...
Dimas Prasetyo
Dimas Prasetyo Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Menulis adalah mengeluarkan energi yang negatif dalam diri dan dijadikan sebuah rangkaian kata yang menjadi kalimat per kalimat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membakar Piagam Adalah Contoh Nyata Depresi Sudah Menyerang Anak

28 Juni 2019   15:04 Diperbarui: 28 Juni 2019   15:09 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration of Depression Photo:  unsplash.com

Kalau dahulu depresi hanya dikaitkan dengan anak anak menuju dewasa atau remaja, kini sudah merambah ke anak anak, yang dimana anak anak mulai marah dengan dirinya sendiri, tidak percaya diri lagi dan juga akhirnya melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan. Contohnya seperti video yang baru baru ini viral, bocah yang bernama Yumma yang berumur 12 tahun di daerah pekalongan. 

Seorang anak berprestasi yang membakar piagamnya. Kita bisa lihat sendiri bagaimana ia melampiaskan kekecewaannya karena tidak bisa masuk di sekolah favoritnya, dan akhirnya malah membakar semua piagamnya atas prestasi yang dia raih saat dahulu, karena sistem zonasi untuk mendaftar sekolah membuat anak ini sangat merasa sedih dan kecewa berat, karena dia tinggal yang tidak sesuai dengan zonasi yang berada di sekolah favoritnya.

Lalu kalau sudah begini salah siapa, salah anak kah?, atau salah orang tuanya yang membeli rumah yang jauh dari sekolah favoritnya, dan ketika internet mulai tersebar di indonesia, membuat video ini menjadi viral, akankah masih ada anak anak indonesia yang masih megejar cita citanya? Atau menyerah dan menjadi orang biasa saja tanpa piagam lagi yang dipajang dirumah, bahkan trauma akan saat melihat piagam? 

Gairah mencapai prestasi pasti sudah tidak ada lagi, mengejar impian sudah lah sirna, hingga indonesia kehilangan penerus bangsa karena terhalang oleh negara, tempat yang tidak mendukung, serta lingkungan yang tidak membantu sama sekali. Untuk itu terkadang banyak anak yang tidak tahu arah mau kemana dan cita cita hanyalah sebuah angan angan semata ketika sudah mencapai dewasa nanti. Karena realita yang tidak bisa dipungkiri, ternyata begitu berat dan akhirnya tidak bisa berbuat apa apa. 

Bagi orang biasa terkadang hanya pasrah yang bisa diperbuat, seperti melakukan pekerjaan dan sekolah dilakukan seperti orang lain dan selayaknya dengan orang lain, selebihnya hanya bisa berdoa dengan dibantu usaha lainnya. Melupakan segala impiannya dan mengubur semua harapan harapannya yang sudah ingin dicapai, karena dihalangi oleh regulasi, tempat dan lingkungan yang tidak mendukung serta banyak persyataran yang mungkin memberatkan sehingga akhirnya anak anak harus putus dengan impiannya.

Kejadian ini sangat bikin tercengang karena piagam yang di idam Idamkan sejak dulu, lalu setelah  ia mendapatkanhya, kini malah dibakar tanpa pikir panjang dan juga itu sebuah tindakan dalam meluapkan emosi, kekecewaaan yang amat, sampai ia berani membakar sebuah prestasi yang ia raih. Lalu apa lagi yang bisa anak ini kerjakan setelahnya? selain bersekolah yang bukan di tempat favoritnya. 

Akankah bocah ini bisa mendapatkan prestasi lagi di kemudian hari setelah dikecewakan berat oleh keadaan dan mungkn saja ia berkata, "buat apa berprestasi kalau akhirnya tidak mendapatkan apa apa, lebih baik seperti teman teman saja bermain ala kadarnya, tidak berprestasi tidak apa apa, aku ingin bahagia, itu saja".

Lalu bagaimana nasib penerus bangsa yang katanya akan menuju era digital bila anak anak sudah menyalahkan diri sendiri atau depresi sejak dini yang sekarang sudah tidak bisa lagi dihindari, bahkan lebih luas bagi anak anak polos yang hanya ingin belajar, namun terhalang oleh berbagai aturan, dan keterbatasan.  

Anak anak masih polos dalam pengetahuan psikologis sehingga rentan terkena pemikiran negatif atau ingin menyakti diri sendiri,  dan melakukan kesenangan yang membuat dirinya puas, termasuk melakukan tindakan yang tidak seharusnya, terkadang orang tua juga tidak bisa berbuat apa-apa, mungkin kalalu di kota bisa diatasi dengan berbagai kecanggihannya yang sudah modern, namun bila terjadi kejadiannya di daerah bahkan di desa, itu akan menyulitkan karena keterbatasan infrastruktur desa atau daerah dalam penanganan dan juga orang tua yang kurang paham dalam pengetahuan kesehatan. Dan balik lagi, apabila anak ini sudah kembali ceria, apakah anak ini akan kembali ke jalur prestasi atau memilih jalan hidup sebagai orang biasa?  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun