Kecenderungan untuk lebih fokus pada hal negatif daripada yang positif, yang membuat masyarakat mudah terpengaruh berita buruk atau isu kontroversial, sehingga memupuk pesimisme kolektif.
6. Bandwagon Effect
Fenomena ikut-ikutan tanpa kritis mengikuti opini mayoritas, terutama dalam situasi media sosial dan politik. Ini mempercepat penyebaran hoaks dan perilaku kelompok yang tidak rasional.
7. Sunk Cost Fallacy
Ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari keputusan atau investasi yang sudah dibuat, walau jelas tidak menguntungkan, yang berujung pada pemborosan sumber daya dan stagnasi inovasi.
Mengapa bias-bias ini begitu mudah berkembang dalam masyarakat kita? Sebab, akar penyebabnya terletak pada keterbatasan alami otak manusia dalam memproses informasi, ditambah dengan tekanan sosial, budaya, dan sejarah yang membentuk pola pikir kolektif. Di samping itu, ekosistem informasi digital dan media sosial yang kurang sehat makin memperkuat bias ini, menjebak pikiran dalam lingkaran pengulangan yang sempit dan tidak seimbang.
Dalam konteks masyarakat modern, terutama di era digital yang serba cepat ini, bias kognitif tidak hanya menjadi persoalan internal pikiran individu, tetapi juga telah menjadi ladang subur bagi praktik-praktik pemasaran yang memanfaatkan dark psychology, subliminal message, dan berbagai teknik manipulasi pikiran lainnya. Sistem pemasaran modern, dengan kecanggihan teknologi dan algoritma, secara sistematis mengidentifikasi serta mengeksploitasi kelemahan kognitif manusia demi tujuan profit semata.
Salah satu strategi yang paling masif adalah pemanfaatan confirmation bias. Melalui algoritma media sosial dan mesin pencari, pengguna diposisikan dalam ruang gema (echo chamber) yang menyajikan informasi dan iklan yang sesuai dengan preferensi dan pandangan awal mereka. Hal ini membuat seseorang semakin yakin dan sulit terpapar pada perspektif berbeda, sehingga keputusan pembelian atau pilihan politik dapat dimanipulasi secara halus tanpa disadari.
Lebih jauh, dark psychology dalam pemasaran menggunakan teknik seperti fear appeal (menanamkan rasa takut), scarcity principle (menciptakan kesan kelangkaan), dan social proof (pengaruh sosial) untuk memancing emosi dan dorongan bawah sadar yang kuat. Pesan-pesan ini tidak selalu disampaikan secara eksplisit, melainkan kerap disisipkan dalam bentuk subliminal message --- rangsangan yang berada di bawah ambang kesadaran, seperti gambar atau suara yang sangat singkat, yang merangsang impuls tanpa proses rasional penuh.
Mekanisme ini memanfaatkan otak bawah sadar, yang bertindak sebagai sistem cepat dan otomatis dalam mengambil keputusan---tempat di mana bias-bias kognitif bersemayam dan bekerja. Ketika pesan-pesan subliminal dan manipulatif berhasil menembus pertahanan sadar, mereka dapat mengarahkan perilaku konsumen dengan sangat efektif, mulai dari preferensi produk, pola konsumsi, hingga loyalitas merek. Dalam jangka panjang, hal ini menguatkan pola pikir yang didasarkan pada emosi dan insting, bukan refleksi kritis dan pertimbangan rasional.
Fenomena filter bubble dan echo chamber yang dibentuk oleh algoritma digital juga memperkuat bias availability heuristic dan anchoring bias. Dengan terus-menerus disuguhi informasi yang homogen dan berulang, masyarakat cenderung meyakini hal-hal yang paling mudah diingat dan terpapar, walaupun informasi tersebut tidak selalu akurat atau representatif. Akibatnya, pola pikir masyarakat menjadi semakin sempit dan rentan terhadap manipulasi kelompok maupun kekuasaan tertentu.