"Militer cari sosok di balik petisi tolak RUU TNI, tuduh gerakan sipil dibayar" begitulah kira-kira  judul dari artikel yang diterbitkan oleh BBC News Indonesia pada 27 Juni 2025 lalu. Dalam berita tersebut juga tersiar bahwa 'kepanikan' militer bukan terjadi tanpa sebab, melainkan juga diikuti oleh kesaksian seorang tersangka kasus tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah pada 2022, yaitu Marcella Santoso.Dalam kesaksiannya, ditekankan bahwa Marcella melakukan beberapa tindakan untuk mengalihkan kasus yang sedang terjadi dengan menutupi beberapa kasus yang tidak relevan, melalui aksi demonstrasi, sampai video kritik dari influencer ternama. Hal inilah yang semakin menimbulkan kecurigaan dari masyarakat khususnya militer, bahwasannya penolakan RUU TNI (yang saat ini sudah menjadi UU) bukan murni keresahan masyarakat, melainkan ada uang yang berbicara di belakangnya. Meski Marcella membuat sebuah kesaksian lanjutan dari kesaksian sebelumnya yang menyatakan bahwa dia tidak terlibat dalam pengordinasian Revisi UU TNI dan Indonesia Gelap, akan tetapi hal tersebut semakin mengganjal di benak para militer  yang hebat ini.
Apa yang ditudingkan oleh militer memang beralasan dan masuk akal, akan tetapi tidak bisa disamaratakan. Tanpa masuk membela, Marcella dalam kesaksiannya hanya melakukan pembingkaian terhadap kasus yang sedang berjalan dengan maksud memojokkan Kejaksaan Agung. Adapun beberapa kasus tersebut adalah PT Timah, Impor Gula, dan juga ekspor CPO (kasus Marcella). Berarti sisa kasus atau aksi demonstran yang dilakukan di luar kasus tersebut bukan dikoordinasikan atau 'diatur' oleh Marcella, melainkan memang murni keresahan rakyat. Terlebih aksi demonstran seperti Penolakan Revisi UU TNI dan Indonesia Gelap sangatlah wajar untuk di tolak karena sangatlah merugikan warga negara. Dari niatan efisiensi anggaran demi 'Makan Bergizi' sampai TNI yang siap alih profesi menjadi Dirut BUMN  adalah hal yang merugikan warga negara dan pantas untuk ditolak, lalu mengapa militer kita yang hebat ini masih kekeh mencari siapa 'bohirnya'. "Nanti kami mencari tahu siapa sebenarnya aktor di belakang ini semua. Dan kenapa,  apa motivasinya,  motifnya apa, sehingga kenapa (mempermasalahkan ) Revisi UU TNI," ujar Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen TNI Kristomei Sianturi. Bukankah sudah jelas motifnya apa dan pelakunya siapa? Apakah ini adalah dalih bahwa negara sedang membuat musuh demi berlindung dari hegemoni yang tidak tepat sasaran? lebih tepatnya  negara  takut akan perlawanan.
Pada dasarnya Hegemoni adalah bentuk 'keharmonisan' yang dibangun oleh kelompok elit dan dirasakan oleh kelompok mayoritas atau yang dibuat oleh pemimpin dan dirasakan oleh masyarakat. Keharmonisan yang dimaksud di sini adalah bentuk dominasi atau pengaruh kuat yang ditunjukkan oleh kelompok elit/pemimpin sehingga tidak adanya perlawanan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas atau masyarakat. Dalam buku yang ditulis oleh Nezar Patria dan Andi Arief berjudul "Antonio Gramsci : Negara dan Hegemoni" menyatakan bahwa Gramsci mengklasifikasikan hegemoni menjadi tiga, Â yaitu Hegemoni Integral, Hegemoni Merosot, dan Hegemoni Minimum. Hegemoni Integral sendiri merujuk pada keserasian atau bentuk dominasi yang dilakukan oleh kelompok elit dapat diterima baik, sehingga menimbulkan kehidupan yang harmonis. Hal ini disebabkan oleh kelompok elit yang tidak mencantumkan atau bersifat antagonis terhadap masyarakat, sehingga segala bentuk kebijakan yang dibuat, dapat diterapkan. Kemudian Hegemoni Merosot adalah situasi dimana kelompok mayoritas atau masyarakat sudah mulai bisa berpikir dan merasa bahwa dominasi yang dibuat oleh kelompok elit terlalu kuat dan harus dilakukan disintegrasi di dalamnya untuk memecah dominasi kelompok elit. Situasi seperti ini kemudian diikuti oleh Hegemoni Minimum, dimana kelompok elit mulai melakukan tindakan represif untuk menjaga agar hegemoninya tetap bertahan dan menekan siapapun yang melakukan tindakan yang bersifat disintegrasi. Inilah yang sedang terjadi di Indonesia, ketika negara membuat kebijakan harus segera disahkan tanpa perlu pendapat warga negara, jika ada yang menentang maka harus segera 'dimusnahkan'.Â
Memang sejauh ini situasi di Indonesia masih memasuki situasi Hegemoni Merosot, terlihat dari beberapa kebijakan negara yang mulai tidak sesuai dengan warga negara dan sudah dapat dipastikan ada keinginan untuk disintegrasi atau melawan kebijakan yang telah dibuat tersebut. Hal inilah yang dialami oleh Fawwaz Farhan Farabi, mahasiswa  Fakultas  Hukum Universitas Indonesia. Pada saat mengajukan gugatan uji formil UU TNI ke Mahkamah Konstitusi, dia mendapati adanya penekanan dari pihak terkait,  yaitu TNI. Bahkan tekanan pun dirasakan oleh Fawwaz jauh sebelum pengajuan gugatan uji formil di MK. Komandan Distrik Militer Depok, yaitu Imam Widhiarto pada malam dimana mahasiswa berkumpul dan berkonsolidasi. Kehadiran Imam bukan untuk membubarkan diskusi, melainkan hanya diam dan melihat saja.Â
Bukan hanya tekanan dari militer, bahkan konstitusi juga tidak mengizinkan mahasiswa untuk bersuara dan menuntut kebenaran. Â Dari 11 gugatan yang diajukan pada sidang uji formil di MK hanya terdapat 10 gugatan yang akhirnya naik ke persidangan. Namun, semua gugatan tersebut sepakat ditolak oleh DPR dan pemerintah dengan alasan para pemohon dinilai tidak memiliki kedudukan hukum karena bukan TNI, calon prajurit TNI, atau orang yang dirugikan secara langsung dirugikan oleh disahkan UU TNI ini. Kepanikan kembali dirasakan, padahal mahasiswa dan masyarakat sipil berhak dirugikan dengan adanya kebijakan seperti ini. Mungkin perihal waktu yang tergesa-gesa dibantah oleh Supratman Andi Agtas selaku Menteri Hukum. Akan tetapi, warga negara mana yang rela jika dalam urusan sipil sekecil apapun harus melibatkan militer. Para penggugat yang notabene adalah mahasiswa memang bukanlah orang yang belum berdampak langsung dengan kebijakan ini,akan tetapi perlu disadari, mahasiswa dan pemuda setidaknya adalah orang yang peduli akan nasib bangsa ini. Seberapa urgensinya kah keterlibatan militer dalam instansi pemerintah sampai legislatif menolak, eksekutif mendukung, dan yudikatif tutup mata, serta militernya langsung ikut turun tangan. Apakah ini urgensi negara atau urgensi militer?
Penolakan, penekanan, bahkan pembungkaman, sudah menandakan bahwa negara mulai panik dan takut dengan warga negara khususnya pemuda. Hegemoni mereka (penguasa) perlahan mulai tidak terjaga, dan jalan satu-satunya adalah menuju Hegemoni Minimum dengan memberlakukan warga negara yang melakukan tindakan disintegrasi secara represif. Kekerasan sipil dimana-mana. Perlu disadari, bahwasannya hegemoni negara kian runtuh bahkan sejak 100 hari masa jabat Prabowo Subianto. Ditambah dengan kebijakan efisiensi anggaran demi ego 'Makan Bergizi' mendapati banyak penolakan, rasanya rakyat semakin pintar akan semakin 'merugikan' pemimpin negara. UU TNI dibuat bukan tanpa sebab, melainkan sebuah antivirus (virus yang dimaksud adalah mahasiswa dan motor pergerakan lainnya) untuk mengembalikan keadaan negara kembali seperti semula.
Padahal anak muda, Â mahasiswa, adalah sumber kekayaan negara di kemudian hari. Lalu mengapa negara menghindari, membungkam, dan membuat dualisme dengan menciptakan musuh dari golongan yang sama. Terlihat saat ini dari semakin maraknya dualisme persepsi di kalangan anak muda yang justru semakin menyesatkan. Seperti halnya dengan banyaknya orang yang tanpa alasan yang jelas, mendukung efisiensi anggaran hanya karena subjektif. Ketika diberi kritikan secara objektif, justru penyerangan secara personal dilayangkan. Meski begitu, saya, kami, dan beberapa anak muda yang berbeda pendapat tidak menganggap hal ini adalah hal yang serius. Kami melihat justru diskusi akan semakin bagus jika ada kubu yang berbeda. Dengan melanggengkan budaya diskusi, akan mengasah cara berpikir kritis kami. Perbedaan pendapat sangatlah wajar, itulah yang membuat saya merasa janggal, mengapa militer sampai segitunya menanggapi perbedaan pendapat terkait UU TNI. Bukankah kalian sudah dewasa, sehingga tahu bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar? Atau memang kalian yang ingin terlihat dominan sehingga hal kecil apapun tidak boleh mengganggu keputusan yang katanya bulat itu.
UU TNI adalah reaksi negatif yang diberikan oleh negara terhadap warga negara. Penekanan, penolakan, dan pembungkaman juga reaksi negatif yang diberikan oleh negara terhadap warga negara yang pintar. Karena memang prioritas kabinet tahun ini adalah makan, makan, makan. Makan duit rakyat, makan proyek asing, dan makan rakyat. Sebagaimana negara menjaga aibnya, disitulah bentuk dominasi dibuat, hegemoni terjadi, tindakan represif terhadap sipil semakin menjadi. Apa yang dicari oleh negara yang membungkam hampir seluruh warga negara, selain kekuasaan yang semakin menjadi. Negara takut kalau mahasiswa, anak muda, Â dan masyarakat sipil semakin bersuara, maka semakin terkuak aib mereka. Alhasil kekuasaan mereka akan direnggut.Â
Ketika pergerakan mahasiswa mulai mengancam stabilitas kekuasaan atau mempertanyakan legitimasi ideologi dominan, negara seringkali merespons dengan tindakan represif. Bentuk pembungkaman ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, seperti pelarangan demonstrasi, penangkapan aktivis mahasiswa, penyensoran konten media sosial, kriminalisasi pendapat, hingga kekerasan fisik. Tindakan pembungkaman ini dapat dipahami sebagai bagian dari upaya negara untuk mempertahankan hegemoni yang mulai tergoyahkan. Negara merasa bahwa aksi mahasiswa dapat membuka mata masyarakat terhadap kontradiksi dan ketimpangan dalam sistem sosial dan politik. Oleh karena itu, negara berusaha mencegah penyebaran kesadaran tersebut melalui represi.Â
Dalam konteks sosial dan politik, mahasiswa seringkali berperan sebagai kelompok yang memiliki kesadaran kritis terhadap berbagai bentuk ketidakadilan, penindasan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Mahasiswa memiliki potensi menjadi apa yang disebut Gramsci sebagai "intelektual organik", yaitu individu atau kelompok yang menyuarakan kepentingan kelas tertindas atau kelompok yang tidak memiliki kekuasaan dominan. Sebagai intelektual organik, mahasiswa tidak hanya mengkritik sistem yang ada, tetapi juga berusaha membangkitkan kesadaran masyarakat agar mampu melihat dan menolak bentuk-bentuk penindasan yang selama ini dibungkus dengan legitimasi hukum atau norma sosial.Â