Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ketetapan MPRS XXVII/1966 dan Bayang-Bayang Feodalisme Religius: Ketika Agama Dijadikan Alat Kekuasaan

19 Oktober 2025   04:07 Diperbarui: 19 Oktober 2025   04:07 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketetapan MPRS No. XXVII/1966 dan Feodalisme Religius: Kritik Tajam atas Praktik Otoritarianisme Keagamaan yang Terselubung

Ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan Ketetapan No. XXVII/MPRS/1966 tentang agama, pendidikan, dan kebudayaan, naskah itu tidak sekadar mengatur kurikulum atau kabinet birokrasi---ia mewariskan bingkai hukum dan kebijakan yang memengaruhi relasi kekuasaan antara negara, kelembagaan agama, dan rakyat. Untuk membaca fenomena feodalisme religius di Indonesia hari ini --- yaitu pola relasi kuasa hierarkis, paternalistik, dan kadang eksploitatif antara penguasa agama dan basis pengikut/komunitas --- kita wajib menengok kembali substansi dan efek Tap MPRS 1966 serta realitas kebebasan beragama dan praktik keagamaan sekarang. 

Ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 (selanjutnya: Tap MPRS 1966) tentang agama, pendidikan, dan kebudayaan adalah titik balik kebijakan negara pasca-1965 yang menempatkan pendidikan agama sebagai urusan publik yang terstruktur secara nasional. Salah satu bunyi yang paling menentukan adalah: "Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari SD sampai dengan Universitas-Universitas Negeri."

Artikel ini mengajukan klaim kuat: feodalisme religius bukan hanya warisan budaya atau adat pesantren semata; ia juga diproduksi, distabilkan, dan kadang dirasionalisasi oleh konstruksi hukum-politik pasca-1966. Di bawah klaim itu saya sajikan bukti hukum, data tentang kebebasan beragama, observasi empiris dari dinamika pesantren dan komunitas keagamaan, serta analisa kritis mengapa Tap MPRS No. XXVII/1966 berperan, langsung maupun tidak, dalam membentuk kondisi tersebut.

1. Apa yang diatur Tap MPRS No. XXVII/1966 --- bukan hanya ritual, tapi struktur

Secara ringkas, Tap MPRS No. XXVII/1966 menempatkan agama, pendidikan, dan kebudayaan dalam ranah yang diatur ketat negara---dengan implikasi terhadap siapa yang berhak mendefinisikan "ajaran yang sah", bagaimana pendidikan agama diprogramkan, serta batasan-batasan ideologi yang diperbolehkan pasca-1965. Ketetapan ini menjadi salah satu titik balik kebijakan publik terhadap agama dan pendidikan pada masa transisi politik yang sangat geser. Dokumen teks resmi dan ringkasan akademis memperlihatkan bahwa Tap ini merombak sejumlah ketentuan sebelumnya terkait mata pelajaran agama dan kedaulatan negara atas wacana kebudayaan. 

Dari sudut kritis, ketika negara menata agama melalui ketetapan yang berorientasi stabilisasi politik, selalu ada peluang bagi aktor lokal berkuasa---ulama terpilih, pimpinan "institusi pendidikan keagamaan", kelompok agama mayor---untuk menegaskan hierarki internal mereka. Hierarki yang berulang-ulang mendapat legitimasi melalui kanal negara akan cenderung berubah menjadi struktur "feodal" di tingkat lokal: penguasa agama sebagai patron, umat/ santri sebagai klien yang bergantung.

2. Bukti empiris: Kebebasan beragama yang tergerus dan dinamika lokal

Data dan laporan internasional yang relatif mutakhir menunjukkan masalah struktural dalam kebebasan beragama di Indonesia: hambatan perizinan rumah ibadah, regulasi yang diskriminatif, serta tekanan sosial terhadap minoritas agama tercatat dalam laporan lembaga internasional selama 2024--2025. Laporan-laporan ini menunjukkan pola sistemik---bukan insiden terisolasi---yang menandakan adanya ketidakseimbangan kekuasaan institusional dalam soal agama. 

Di tingkat lokal, wacana modern tentang "feodalisme pesantren" muncul berulang kali: tuduhan adanya eksploitasi, penyerapan sumber daya, dan ketaatan tidak proporsional pada beberapa pemimpin pesantren. Tetapi penting dicatat: debat publik ini tidak monolitik. Sebagian penulis dan pengamat menolak pelabelan "feodal" sebagai simplifikasi yang mengabaikan fungsi sosial pesantren---sebagai penyedia pendidikan, perlindungan sosial, dan solidaritas komunitas---serta tradisi adab yang kompleks. Perdebatan ini memperlihatkan bahwa fenomena yang kita sebut "feodalisme religius" adalah hasil interaksi antara praktik lokal, ekonomi kepesantrenan, dan kerangka hukum-politik yang lebih luas. 

3. Bagaimana Tap MPRS 1966 berkontribusi --- tidak selalu langsung, tetapi signifikan

Ada tiga mekanisme utama lewat mana Tap MPRS No. XXVII/1966 berkontribusi pada terjadinya pola feodalisasi religius:

1. Legitimasi Negara atas Batas Ideologis --- Ketetapan yang menata "ajaran yang boleh" memberi wewenang negara untuk menjadi arbiter ideologis. Ketika negara mengkonsolidasikan batas-batas, aktor agama yang selaras dengan rezim mendapatkan akses lebih besar ke sumber daya, perlindungan hukum, dan ruang publik. Hal ini memperkuat patronase kelompok tertentu. 

2. Institutional Capture of Religious Education --- Peraturan tentang pendidikan agama yang "direformasi"  sejak 1966 (termasuk penempatan pendidikan agama dalam kurikulum formal) membuka peluang bagi institusi tertentu mengukuhkan model pedagogi yang menempatkan otoritas guru sebagai pusat kepatuhan---bukan sekadar transfer ilmu tetapi juga pembinaan loyalty struktural. Studi sejarah pendidikan menunjukkan bagaimana kebijakan ini mengubah relasi guru--murid menjadi lebih birokratis sekaligus hirarkis. 

3. Negara sebagai Penetap "Norma Kebudayaan" --- Ketika negara menstandarisasi apa yang dipandang sebagai "kebudayaan nasional" dan mempromosikan satu versi adaptif agama yang patuh pada garis negara, kelompok-kelompok yang berseberangan terpinggirkan. Dalam konteks itu, elite agama yang kooperatif menjadi gatekeeper sumber daya moral dan material di komunitasnya.

4. Konsekuensi sosial-ekonomi: ketergantungan, clientelisme, dan ketidaksetaraan

Feodalisme religius bukan sekadar soal simbolisme (gestur hormat, pengagungan). Ia menghasilkan konsekuensi nyata: akses terhadap pendidikan (termasuk beasiswa), pekerjaan lokal, bantuan sosial, dan legitimasi politik sering mengalir melalui jaringan patronase agama. Dalam kondisi ekonomi lokal yang rentan, ketergantungan pada patron agama bisa berubah menjadi eksploitasi---santri yang bekerja untuk pesantren tanpa kompensasi yang adil, atau warga yang menukar dukungan politik dengan akses program sosial---fenomena yang kerap dikritik publik. Laporan lapangan dan artikel investigatif lokal akhir-akhir ini menyoroti kasus-kasus seperti itu, meskipun data kuantitatif resmi masih terfragmentasi. 

5. Kritik teoretis: Mengapa menyamakan "Institusi Pendidikan Keagamaan" dengan "feodalisme" berisiko --- dan mengapa tetap relevan

Label "feodalisme" memudarkan kompleksitas. Institusi Pendidikan Keagamaan adalah lembaga pendidikan dengan akar sosial historis panjang; praktik adab, penghormatan, dan relasi murabbi--santri memiliki dimensi rekreatif positif. Namun, kritik yang tepat bukan meniadakan pesantren atau institusi pendidikan keagamaan yang lain; melainkan memeriksa kondisi kekuasaan dan akuntabilitas di dalamnya. Istilah "feodalisme religius" berguna ketika ia dipakai untuk menandai kondisi ketimpangan relasi kuasa---bukan untuk mendiskreditkan seluruh tradisi keagamaan.

6. Rekomendasi kebijakan: mengurai simpul kekuasaan tanpa merusak jaringan sosial

Untuk mengatasi problematika feodalisme religius yang terstruktur, diperlukan intervensi yang kombinatif:

- Reformasi regulasi pendidikan agama secara total: kebijakan harus menjamin transparansi keuangan lembaga pendidikan keagamaan, mekanisme perlindungan pekerja santri, dan standar pedagodik yang menghargai hak asasi serta otonomi siswa. (Relevansi historis Tap MPRS 1966 harus dibaca ulang demi pembaharuan.) 

- Perkuat mekanisme akuntabilitas lokal: capai keseimbangan antara otonomi keagamaan dan perlindungan hak warga melalui dewan pendidikan lokal yang melibatkan tokoh sipil, akademisi, dan perwakilan komunitas agama.

- Data dan penelitian sistemik: pemerintah dan lembaga independen harus membangun basis data tentang praktik kerja murid, kepemilikan aset institusi pendidikan keagamaan, dan aliran sumber daya agar kebijakan tak berbasis asumsi dan sentimen.

- Perlindungan kebebasan beragama universal: temuan internasional tentang tantangan kebebasan beragama menunjukkan perlunya revisi regulasi yang diskriminatif dan proses perizinan ibadah yang transparan. Laporan-laporan tahun 2024--2025 menegaskan perlunya pengawasan hak-hak dasar ini. 

7. Penutup: Membongkar warisan tanpa menghancurkan akar

Membaca Tap MPRS No. XXVII/1966 hanya sebagai artefak sejarah adalah rentan. Ketetapan itu masih membentuk ruang publik agama---secara normatif dan praktis---sehingga wacana tentang feodalisme religius harus mempertimbangkan warisan hukum-politik ini. Kritik tajam yang saya ajukan bukan untuk menghancurkan tradisi keagamaan, tetapi untuk menuntut keadilan: ketika relasi keagamaan beroperasi sebagai mesin reproduksi ketimpangan---baik secara ekonomi, politik, maupun kebebasan berpendapat---maka negara, akademisi, dan masyarakat sipil wajib memotong rantai patronase itu dengan alat kebijakan, transparansi, dan perlindungan hak asasi.

Feodalisme religius bukan mitos; ia adalah fenomena ganda: terjadi di ruang-ruang tertutup pesantren dan juga diproduksi oleh struktur legal-politik nasional yang lahir dari 1966. Mengurai simpulnya bukan pekerjaan retorika --- tetapi kerja politik dan kebijakan yang berani, ilmiah, dan berorientasi pada hak-hak warga. Tap MPRS 1966 adalah bagian dari cerita itu; memahami kandungannya dan efeknya adalah langkah awal untuk mengakhiri feodalisme yang merugikan rakyat kecil.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun